Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di KLHK

Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ngelmu Iki Kelakone Kanthi Laku

7 Mei 2022   18:34 Diperbarui: 7 Mei 2022   19:46 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup sehat lahir dan bathin dapat ditunjang oleh pola makan, pola pikir, pola hidup, dan yang terbaru adalah pola nafas yang baik. Sebagaimana motto hidup sehat di era dilan di tahun 90-an yang terkenal dengan "di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa sehat." Yah waktu itu Menteri Pemuda dan Olahraganya Dr. Abdul Gafur Tengku Idris selalu menyuaran moto ini.

Tiga pola hidup yang baik di atas tentu tidak lah mudah dijalani dalam hidup sehari-hari. Istilah kerennya "taken for granted" atau dalam bahasa jawanya, sak dek sak nyet. Agar menjadi kebiasaan atau merupakan watak kita, maka membutuhkan proses latihan, perjuangan dan kedisiplinan secara terus menerus dalam waktu yang lama.

Sebagaimana yang pernah saya tulis di Kompasiana dengan judul, "Puasa Pikiran di Bulan Ramadan" tanggal 18 April 2022, bahwa "makanan" pikiran kita masuk ke otak dalam jumlah sangat banyak dalam setiap menitnya.  Orang menyebutnya "monkey thinking", karena bersifat acak, berubah-ubah dalam waktu yang sangat cepat. Detik ini mikirin masa kini, tidak lama kemudian ke masa lalu, dan kemudian ke masa depan.

Sekarang mikirin hal-hal yang positif karena baru dapat SK kenaikan pangkat dan merasa bahagia, tidak lama kemudian dapat kabar dari WAG keluarga ada keluarga yang sakit, dan tidak lama lagi teringat peristiwa masa lalu dengan keluarga yang sakit tersebut, dan seterusnya-dan seterusnya.

Khalil Giran berkata "ketika kita bercengkrama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di pembaringan." Atau sebangun dengan petuah orang tua Bali, "amongken liange, amonto sebete," yang kurang lebih artinya sebesar apa kesenanganmu, sebesar itu pulalah kesedihanmu.

Menurut Psikolog Paul Ekman, bahwa manusia memiliki enam emosi dasar, yaitu marah, jijik, takut, sedih, terkejut, dan bahagia. Dari keenam emosi dasar tersebut, empat cenderung bersifat negatif nomer 1 samapai 4, satu netral dan yang terakhir bersifat positif. Jadi benar jika hidup di dunia ini penuh dengan kesedihan.

Dalam sehari setiap manusia akan mengalami ke-enam emosi tersebut secara bergantian secara fluktuatif, dan sumber utamanya adalah dari pikiran kita. Oleh karena itu pola pikir harus terus dilatih agar kita memiliki sifat atau watak yang dapat mengelola pikiran dengan baik. Dengan demikian maka fluktuasi perubahan enam emosi dalam merespon setiap stimulus/situasi dan kondisi luar dapat dikendalikan.

Selain itu selalu berharap kepada Nya, Sang pembolak-balik hati ini agar selalu mendapatkan perlindungan dari bisikan setan yang membisikan hati kita selalu waswas dalam menjalani hidup. Baik bisikan masa lalu yang menyedihkan maupun masa depan yang menakutkan.

Sebagaimana latihan fisik untuk menguatkan otot-otot tubuh, untuk selalu berpikiran positif pun perlu melatih "otot-otot" kesabaran kita. Kesabaran untuk selalu mensyukuri segala karunia yang telah diberikan dan sekaligus cobaan-Nya agar kita naik kelas, merupakan satu paket sepanjang hayat.

Kita sebagai manusia diberi kebebasan memilih untuk bersikap/berfikir terhadap apa yang kita terima/stimulus dari luar dengan segala konsekuensinya. Menerima segala keputusan-Nya yang akan berbuah kebahagiian atau menolaknya yang berbuah kesengsaraan.

Masih ingat lagu "Badai Pasti Berlalu"?

Yah, sedih dan senang akan silih berganti, bukan? Karena keduanya bersifat sementara saja. Memilih uring-uringan menolak nilai rapor anak karena tidak seperti yang diharapkan atau merangkulnya untuk membesarkan hatinya dengan berfikir positif.  Mungkin bakat dan minatnya bukan di bidang mata pelajaran sekolah, tapi cerdas di bidang seni atau olahraga?

Pertanyaanya pada Anda yang seumur dengan penulis, yang hampir menginjak kepala 5 ini, sudahkah Anda pada level selalu memilih berpikir positif terhadap stimulus dari luar?

Kalau belum selalu, maka sama dengan jawaban penulis yang masih terus belajar dengan sabar kearah sana.

Marilah kita berusaha untuk menjalankan anjuran Nabi agar belajar sepanjang masa dengan membaca buku-buku, menonton konten youtube/televisi, mendengarkan radio tentang bagaimana membentuk pribadi dengan pola pikir yang selalu positif.

Jika memungkin menuliskannya kembali di buku harian atau jika berani mengunggah di sosmed sebagai upaya mengikat ilmunya sembari berbagi memenuhi dunia maya dengan tulisan-tulisan positif. Selai itu, kita berusaha untuk berkonstribusi di tengah-tengah postingan yang cenderung hoax dan penuh dengan fitnah.

Dan yang penting juga adalah berusaha berlatih untuk mempraktekan di dunia nyata agar menjadi watak dan perilaku kita sehari-hari. Penulis menyadari proses ini tidaklah gampang. Bukankah ada pitutur Jawa, "ngelmu iku kelakone nganthi laku?"

Jika berhasil, maka kita akan bisa menjadi pribadi yang selalu dapat mengatur fluktuasi ke-enam emosi dengan aplitudo yang cenderung datar. Atau dengan kata lain tidak bergejolak secara ekstrim dalam mengarungi hidup sehari-hari. Karena ilmu yang tiap hari kita dapatkan dapat dilakukan secara nyata dalam tindak-tanduk (kelakuan) kita sebagaimana pitutur Jawa di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun