Yah, sedih dan senang akan silih berganti, bukan? Karena keduanya bersifat sementara saja. Memilih uring-uringan menolak nilai rapor anak karena tidak seperti yang diharapkan atau merangkulnya untuk membesarkan hatinya dengan berfikir positif. Â Mungkin bakat dan minatnya bukan di bidang mata pelajaran sekolah, tapi cerdas di bidang seni atau olahraga?
Pertanyaanya pada Anda yang seumur dengan penulis, yang hampir menginjak kepala 5 ini, sudahkah Anda pada level selalu memilih berpikir positif terhadap stimulus dari luar?
Kalau belum selalu, maka sama dengan jawaban penulis yang masih terus belajar denganÂ
sabar kearah sana.Marilah kita berusaha untuk menjalankan anjuran Nabi agar belajar sepanjang masa dengan membaca buku-buku, menonton konten youtube/televisi, mendengarkan radio tentang bagaimana membentuk pribadi dengan pola pikir yang selalu positif.
Jika memungkin menuliskannya kembali di buku harian atau jika berani mengunggah di sosmed sebagai upaya mengikat ilmunya sembari berbagi memenuhi dunia maya dengan tulisan-tulisan positif. Selai itu, kita berusaha untuk berkonstribusi di tengah-tengah postingan yang cenderung hoax dan penuh dengan fitnah.
Dan yang penting juga adalah berusaha berlatih untuk mempraktekan di dunia nyata agar menjadi watak dan perilaku kita sehari-hari. Penulis menyadari proses ini tidaklah gampang. Bukankah ada pitutur Jawa, "ngelmu iku kelakone nganthi laku?"
Jika berhasil, maka kita akan bisa menjadi pribadi yang selalu dapat mengatur fluktuasi ke-enam emosi dengan aplitudo yang cenderung datar. Atau dengan kata lain tidak bergejolak secara ekstrim dalam mengarungi hidup sehari-hari. Karena ilmu yang tiap hari kita dapatkan dapat dilakukan secara nyata dalam tindak-tanduk (kelakuan) kita sebagaimana pitutur Jawa di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H