Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di KLHK

Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Parman (11)

26 Januari 2022   05:52 Diperbarui: 26 Januari 2022   05:58 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1994 adalah tahun saat angkatanku harus tampil dipangung "politik" kampus. Aku yang sudah bergabung di salah satu organisasi extra sejak awal masuk, tepatnya 1 minggu setelah OSPEK diminta ikut kontestasi Ketua Senat Mahasiswa FKT UGM.

Saat kampanya, isu yang aku angkat tentang kebijakan Dekanat yang mensyaratkan mahasiswa yang ber-IP tinggi saja yang bisa Praktek Umum (PU) Luar Jawa di Perusahaan swasta Hak Pengusaahaan Hutan (HPH) atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Waktu itu IPK tidak sampai 3. Bahkan pada semester awal pernah Nasakom (Nasib satu koma).

Jadi aku berusaha meraih suara mahasiswa Nasakom yang tidak memenuhi persyaratan PU Luara Jawa di HPH atau HTI. "Akan aku perjuangan agar diskriminasi tentang kebijakan syarat PU Luar Jawa itu dijabut!!!" Kataku penuh semangat.

Perhitungan suara pemilihan Ketua Senat Mahasiswa FKT UGM periode tahun 1994 - 1995 sudah selesai dan Sugiato sebagai peraih suara terbanyak. Sedangkan pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dimenangkan Teguh, menang tipis dengan saingan terberatnya, Agus.

Teguh menang 1 suara, yang ternyata 1 suara Teguh itu berasal dari Agus."Aku janjane wegah dadi ketua, mulo suaraku tak pasrahno Teguh wae," kata Agus yang sering dipangil Picus ini.

"Piye to koe ki. Tiwas modalku entek okeh ben koe iso menang je Cus," protes Oka.

Seminggu setelah hari pencoblosan masing-masing wakil mahasiswa ini menyusun draf rencana kerja selama 1 periode kepengurusan. Dua rencana kerja prioritas adalah studi banding ke beberapa instansi kehutanan di Jakarta dan pendampingan desa binaan di Gunungkidul

Setiap organisasi dalam menjalankan rencana kerja membutuhkan dana. Kemampuan untuk menyusun proposal, meyakinkan donatur, dan mengelola dana yang didapatkan menjadi pelajaran berharga bagi seorang mahasiswa yang tidak didapatkan di bangku kuliah. Kemampuan ini disebut soft skill yang sangat berguna saat menjalani dunia kerja kelak.

Dengan mencurahkan segenap kemampuan, akhirnya proposal kepada para donatur selesai. Parman dan Sugiarto menghadap ke Pak Agus selaku Pembantu Dekan III, "ini pak proposalnya sudah final. Koreksian yang terakhir dari Bapak sudah kami perbaiki," kata Parman.

Setelah dibaca, Ia pun berkata,"oke, sabtu saya ke Jakarta. Nanti saya sampaikan ke beberapa alumni di sana. Tolong difotokopi 3 kali," kata Dosen yang dulu seorang aktivis mahasiswa.

"Iki aku nyumbang buat beli tiket ke Jakarta untuk 5 orang, untuk baliknya dan biaya selama di Jakarta tergantung donatur nanti. Tapi tiket bus atau kerete ekonomi loh ya, dudu pesawat."

Seminggu setelah proposal dibawa ke para alumni di Jakarta, saat para senator sedang ngobrol-ngobrol di bawah pohon Gmelina depan sekretariat Senat, dari pintu Dekanat terlihat Pak Agus mendatangi kami.

"Kemarin aku dah dapat jawaban dari Pak Suaman. Ini alamat dan nomor telponnya. Segera hubungi Beliau."

"Siap pak kami tindaklanjuti dan trimakasih banyak atas dukunganya."

"Coba kamu hubungi sekarang pake telpon Dekanat. Gak iso mangan koe nek telpon Jakarta neng wartel jam yah mene to?"

"Siap pak!" Jawab ku sambil bergegas ke ruang Dekanat.

Hasil komunikasi dengan Ir. Suaman, Direktur Produksi perusahaan HTI yang areal konsesinya di Kaltim. Kami besok harus sudah di Jakarta, karena lusa Pak Suaman ke Kaltim untuk kunjungan lapangan.

Setelah melaporkan  ke Pak Agus, Parman minta rapat mendadak dengan semua anggota Senat. Disepakati untuk berangkat nanti malam dengan kereta api ekonomi dan selama di Jakarta menginap di saudaranya Davis.

Tiket kereta api ekonomi Solo Balapan jurusan Pasar Senin berangkat dari Stasiun Lempuyangan pukul 17.00 WIB sudah di tangan.

Kereta api Solo Balapan tiba di Stasiun Pasar Senen pukul 03.10 WIB, namun  sudah ramai. Ini adalah fenomena nyata bahwa warga Jakarta ini memang harus bekerja keras mengais rezeki di pagi hari. Untuk menunggu sampai jam kantor, kami istirahat, sholat dan mandi di mesjid stasiun.

"Rumah saudaraku kalau dari sini 3 kali naik kendaraan umum. Mending kita ke kantor pak Suaman dulu yang ada dekat sini, baru ke Saudaraku. Besok kita baru ke Gedung Manggala Wanabakti," usul Davis.

Pukul 08.00 WIB kami tiba di kantor Pak Suaman. Satpam meminta untuk mengisi daftar tamu dan menunggu beberapa saat. Tidak lama kemudian Pak Suaman menyapa, "jam berapa dari Jogja? Ayo masuk kita ngobrol di ruang saya saja."

Ruangan kerja Pak Suaman cukup luas dan tersedia meja dan kursi rapat untuk 10 orang. Setelah duduk, Sugiarto pun memperkenalkan semua anggotanya dan menyampaikan tujuan studi banding ini.

"Saya sudah baca proposal kalian dari pak Agus. Saya sangat mendukung kegiatan ini. Kita memang harus berani dan proaktif di era persaingan yang semakin ketat seperti sekarang."

Dialog tentang dunia kehutanan nasional pada umumnya dan karakter lulusan kehutanan dikupas tuntas oleh pensiunan Dephut yang sudah malang melintang di beberapa tempat penugasan di seluruh Indonesia.

Menjelang waktu istirahat siang, mereka diajak makan siang di rumahnya yang tidak jauh dari kantor. Setelah maksi dan sholat akhirnya mereka berpamitan dan pak Suaman memberikan amplop kepada Sugiarto.

"Ini gak bayak, tapi cukuplah untuk membantu kegiatan kalian selama di Jakarta dan beli tiket pulang ke Jogja."

Sepanjang jalan dengan mengendarai Taxi, kami kagum melihat gedung pencakar langit dan keramaian Ibu Kota.

"Jan-jane aku ki mikir bahwa dana pembangunan nasional ini kan dari migas dan hasil hutan berupa kayu dari Sabang sampai Merauke to?" Tanya Joko kritis.

"Maksudmu pembangunan hanya terpusat di Jakarta dan tidak merata ke seluruh pelosok negeri?" Tanya Sugiarto yang sering membaca Majalah Prisma terbitan Fakultas Ekonomi.

"Ya betul."

Sesampai di depan rumah yang dituju, ada gerobak jamu. "Kita minum jamu dulu yuk. badan rasanya lungkrah, lemah, dan kurang bertenaga nih," bujuk Parman.

Hari kedua diagendakan mendatangi 3 instansi yang berkantor di Manggala Wanabakti, Gedung kebanggaan rimbawan Indonesia. Acara hari ini pukul 08.00-10.00 bertemu dengan Kapus Humas Dephut, 10.00-12.00 dengan Dirut Perhutani, dan setelah Ishoma dengan Dirut Inhutani I. kami pulang ke Jogjakarta dari Stasiun Pasar Senin pukul 18.30.

Mereka berhasil ketemu dengan Kapus Humas yang berkantor di lantai dasar blok I. Namun gagal dengan 2 Dirut perusahaan BUMN kehutanan karena kesibukanya masing-masing. Kantor Perhutani di blok VII lantai 8 ditemui Direktur Produksi. Sedangkan di Inhutani I diterima oleh Kabiro Personalia di blok IV lantai 4.

Mereka mengenakan jas almamater sehingga mudah dikenali oleh para senior yang banyak bekerja di sana. Mereka diajak ke ruangannya namun sayang acaranya sangat padat.

Inti dari pertemuan itu, bahwa Sarjana Kehutanan kedepan harus mampu menjawab permasalahan sektor kehutanan yang semakin komplek. Angka kerusakan hutan yang semakin bertambah dan issue global tentang perubahan iklim.

"Kalian harus menguasai bahasa Inggris, entengan dan suka membantu, bisa bekerjasama dalam teamwork, mempunyai jiwa leadership, kemampuan networking dan berkomunikasi dengan banyak pihak." Kata Kapus Humas yang merupakan senior mereka.

Laporan kegiatan Studi Banding dapat diserahkan ke PD III 3 hari setelah pulang dari Jakarta. Sisa dana dari Ir. Suaman digunakan untuk tambahan kegiatan-kegiatan yang sudah direncakan dalam program kepengurusan.

Saat menyusun laporan kami sepakat bahwa bekal seorang sarjana itu tidak hanya IP yang tinggi saja, namun soft skill dengan aktif di organisasi kemahasiswaan merupakan sebuah keniscayaan. Namun yang belum terjawab adalah tantangan yang berat sebagai forester dalam mengelola hutan kedepan yang belum kami dapatkan secara explisit kemarin.

"Apakah pengelolaan hutan sekarang dengan sistem TPTI belum dijalankan secara benar di lapangan sehingga kelestarian hutan tropis di pulau Sumatera dan Kalimantan terancam habis?" Tanya Sugiarto kritis.

"Bisa jadi. Aku jadi ingat apa yang disampaikan Prof. Simon, bahwa kerusakan hutan jati di Jawa butuh 100 tahun. Sedangkan ancaman kerusakan hutan tropis kita mungkin hanya butuh 25 tahun saja," jawab Parman.

Bersambung.......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun