Hal ini patut kita renungkan, mengingat fenomena 10 hari terakhir bulan ramadhan saat ini tak seperti dulu lagi. Antara memburu persiapan hari raya dan segala pernak-perniknya atau meningkatkan kualitas ibadah dengan mengisi waktu hanya untuk beribadah kepada Allah semaksimal mungkin.
Sebagai masyarakat yang berbudaya, setiap orang memiliki cara tersendiri untuk menghabiskan sisa ramadhannya, baik budaya individu atau budaya masyarakat sekitar. Kita tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan yang terjadi disekitar kita saat ini, namun alangkah baiknya apabila kita sebagai kaum muslimin menghidupkan kembali budaya di 10 hari terakhir bulan ramadhan dengan manfaatkan semaksimal mungkin untuk beribadah kepada sang pencipta.Â
Disadari atau tidak, sebenarnya kaum muslimin tidak perlu begitu heboh dalam mempersiapkan hari lebaran, cukup dengan sederhana dan apa adanya. Akan tetapi entah karena kemajuan zaman dan pengaruh pemikiran budaya barat umat islam sendirilah yang berlomba-lomba untuk memaksimalkan penyambutan lebaran. Hari-hari awal ramadhan yang biasa kita lalui dengan memaksimalkan ibadah dan bacaan al-quran, tergantikan dengan persiapan hari raya di dapur, toko, supermarket, pasar dan jalanan. Waktu kita jadi sibuk dengan membuat hidangan dan sebagainya.
Kita tidak memungkiri keistimewaan hari raya sebagai hari kemenangan umat islam setelah melalui satu bulan ramadhan dengan berpuasa, karena hari raya adalah hari bersilaturrahmi, bermaaf-maafan. Namun marilah kita meminimalisir hal-hal yang kurang penting agar 10 hari terakhir ramadhan kita tak terbuang dengan sia-sia, kita utamakan ramadhan sebagai jembatan mendulang paha dan ampunan Allah subhanahu wata'ala karena kita tidak pernah tau apakah kesempatan itu bisa kita dapatkan diramadhan selanjutnya atau bahkan kita tak dapat bersua kembali dengan bulan yang agung dan mulia ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H