Mama Maria Mahuze mengatakan, "Siapa yang membuang sagu, maka ia akan mendapatkan hukum rimba". Mama Maria Mahuze menyampaikannya dengan serius. Di sini, hukum rimba adalah dibunuh.Â
Jadi, bila ada acara makan atau pesta dan tersisa sagu, masyarakat Marga Mahuze akan menyimpan sisa makanan dan membawanya pulang. Pantang bagi mereka membuang makanan.
Bisa dibayangkan pula mengapa mama-mama Papua begitu marah bila kebun sagunya diganggu orang, baik itu dari marga lain di Papua atau pun dari kalangan pendatang. Mungkin saja ini juga jadi sebagian penyebab persoalan konflik di wilayah ini.
Kita memang belum bisa mengelola makanan dan sisanya dengan baik. Selain kita perlu melatih diri untuk memasak secukupnya, kita pun perlu untuk memanfaatkannya bila berlebih.Â
Selain masih banyak orang yang membutuhkan, kita perlu kiat mendaur ulang makanan. Juga, mungkin kita perlu belajar serius soal cara mengelola konsumsi makanan kita, termasuk juga mengelola sampahnya dari negara-negara yang sudah berhasil mengelola sampah.Â
Lihat saja Jepang, kalau pewarna alam dari bahan tanaman dan daun sudah menjadi tren di banyak negara dan juga mulai diperkenalkan di Indonesia melalui eco-print, Jepang bahkan telah menggunakan sampah makanan menjadi pewarna tekstil dan sepatunya.Â
Converse dan All Star, dua merek sepatu mencoba proses pewarnaan dengan pewarna dari bahan sisa makanan (sayur dan buah-buahan) untuk sepatunya. Warna kol ungu, misalnya menjadi pewarna sepatu yang dianggap menarik. Tentu ini membutuhkan penelitian dan teknologi yang memadai.
Mungkin hal ini masih jauh dari bayangan kita, tetapi saya yakin suatu saat kita perlu mengeksplornya.
Baiklah, untuk saat ini paling tidak kita bisa mencoba berbagai macam arem-arem dari makanan sisa pesta kita.
Selamat Natal pembaca dan Kompasianer. Semoga Natal membawa kedamaian di bumi dan di hati kita.Â
Kita pun akan menyambut Tahun Baru sebentar lagi.Â