Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Arem-arem dari Sisa Makanan Natal dan Tahun Baru

26 Desember 2020   19:01 Diperbarui: 26 Desember 2020   21:30 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Arem-arem (Selerasa.com)

Selalu ada Menu Kesayangan di Hari Natal

Natal tahun 2020 ini memang berbeda, pandemi Covid-19 membuat pertemuan keluarga tidak bisa dilakukan seperti tahun sebelumnya. Namun demikian, makanan khas Natal tetap terhidang di banyak rumah.

Bila di masa lebaran, makanan khas di wilayah Indonesia adalah opor ayam dan sambal goreng. Di masa Natal, menu opor ayam dan sambal goreng rupanya juga ditemukan di kalangan keluarga nasrani yang ada di Jawa. Sementara warga yang tinggal di atau berasal dari luar Jawa akan menghidangkan menu khas wilayah masing-masing. 

Seorang kawan yang berasal dari Minahasa menghidangkan ayam woku dan ikan kuah asam dan juga Klapertaart. Beberapa kawan yang di Jakarta menghidangkan makanan menu peranakan seperti Macaroni Schotel dan Poffertjes. Jadi, menu makanan Natal memang sangat bervariasi.

Nah, untuk menu opor ayam dan sambal goreng, tentu kita tidak asing lagi. Di saat-saat lebaran, opor ayam dan sambal goreng ati ayam atau ati akan berlebih karena lauk pauk tersebut menjadi favorit keluarga. Juga, tamu akan datang mengalir. Belum lagi tetangga akan mengirim menu serupa. 

Opor ayam dan sambal goreng ati akan melebihi jumlah dan kapasitas perut keluarga. Alhasil, sisa opor ayam dan sambal goreng ati akan menjadi hidangan hari Raya ke 2, atau bahkan sampai hari raya ke 3 hingga kami akan minta ampun untuk tidak memakannya lagi karena bosan. 

Namun, Mbok Ah selalu tidak kalah akal. Ia lalu akan membuat arem-arem dari nasi yang dikaru (dimasak dengan santan di panci dengan bumbu daun salam dan sedikit garam), yang ditata di atas daun pisang seperti lemper. 

Opor ayam dan sambel goreng disatkan (dikeringkan) kuahnya. Pilih daging ayam yang ada pada opor, pisahkan tulangnya dan disuwir. Juga disatkan sambal goreng. 

Jadi, kita punya dua pilihan rasa; arem-arem dengan isi ayam, dan arem-aram dengan isi ati (ayam atau sapi). Keduanya siap jadi isi, tanpa harus dibumbu lagi. Cukup hanya disatkan. Untuk lebih jelasnya, baiklah, kita coba membuatnya.

Bahan

  1. Untuk bahan nasinya, siapkan kilogram beras, cuci bersih. Bisa juga dipakai nasi sisa atau bisa juga mi instan sebanyak 2 sd 3 bungkus (Sisihkan bumbunya yang ada di sachet karena kita tidak membutuhkannya)
  2. Butir kelapa untuk santan (Kurangi santan bila kita pakai nasi sisa)
  3. Beri garam 1 sendok teh dan beberapa (2 atau 3 ) lembar daun salam
  4. Daun pisang yang sudah dicuci dan dilap
  5. Lidi atau tusuk gigi baru

Cara Membuat 

  1. Rebus santan, daun salam, dan garam sampai mendidih
  2. Masukkan beras, masak sampai menjadi nasi aron
  3. Angkat dan sisihkan
  4. Apabila menggunakan nasi sisa, kamu dapat mengurangi takaran santan. Rebus nasi sampai santan menyusut
  5. Siapkan daun pisang
  6. Letakkan 2 sendok makan nasi aron, lalu ratakan
  7. Kemudian isi 2 sendok teh sambal goreng ati. Bungkus dan semat ujung daun pisang dengan lidi
  8. Terakhir, kukus sampai matang

Belakangan, karena saya mengurangi konsumsi daging dan lebih banyak mengkonsumsi sayur dan protein nabati. Maka oseng-oseng tempe, oseng-oseng tahu, atau pun oseng-oseng pare bisa pula menjadi isi arem-arem. Rasanya tetap lezat.

Untuk makanan semacam ayam betutu dan ayam woku yang bersisa juga bisa dimanfaatkan untuk arem-arem.  Memang, karena mengolahnya tanpa merubah bumbu, rasa aslinya tetap ada. Dan, ini adalah justru menyenangkan karena praktis. 

Bedanya, setelah dibungkus daun menjadi arem-arem, makanan itu menjadi lebih praktis sebagai suguhan teman teh, tapi tetap mengenyangkan. Karena mengenyangkan, arem-arem juga sering menjadi makan bekal sekolah atau ke kantor. 

Di Jawa, banyak hal memang ditabukan, termasuk membuang makanan. Bahkan kalau ada tersisa sebutir nasi di piring kita, eyang saya atau Mbok Ah, staf domestik di rumah orangtua saya akan mengingatkan Mengko pitike mati atau "nanti ayamnya mati". Juga membuang makanan adalah menyia-nyiakan rezeki. 

Repotnya, di masa itu, komposisi nasi untuk setiap porsi makanan kami perlu signifikan. Paling tidak nasi akan memenuhi dari piring. Ini tentu tanggung jawab berat bagi anak --anak seusia SD atau SMP. Alhasil, makan habis tak bersisa adalah merupakan tanggung jawab yang lumayan berat di masa kecil.

Pembuang Sisa Makanan akan Mendapat "Hukum Rimba"

Membuang makan memang seharusnya tidak kita lakukan, ini selalu jadi pesan ibu saya (almarhumah), "Lebih baik makan secukupnya, masih ada orang yang lapar yang bisa memanfaatkan makanan yang kalian sia-siakan. Ambil makanan secukupnya. Jangan serakah".

Kecenderungan menyisakan makanan memang sering terjadi belakangan ini, khususnya di kota besar, dengan pola hidup yang juga memberi kesempatan orang makan di luar atau jajan dan tidak makan hidangan yang dimasak di rumah. Juga, pengadaan makanan untuk keperluan pesta memiliki kecenderungan bukan saja berlebihan, tetapi juga "jor-joran". 

Terdapat gaya hidup yang mengukur kehebatan suatu perhelatan dari makanan yang dihidangkan. Misalnya, di Jakarta, makanan pesta pernikahan dengan harga Rp 300.000 sd Rp 500.000,- per orang adalah banyak terjadi. 

Selain harga yang tinggi, jumlah makanan juga dibuat berlebih. Hal seperti ini terkesan tidak perduli dengan situasi masyarakat sekitar yang masih banyak kekurangan, termasuk dalam hal makanan sehari-hari.

Ada satu hal menarik soal pantangan membuang makanan di wilayah lain. Saya coba bagi cerita di Papua. Kebetulan pada beberapa minggu di bulan Desember ini saya melakukan riset dan penumpulan data terkait konservasi, pertanian dan mata pencaharian untuk wilayah Papua. 

Penelitian ini sebetulnya telah direncanakan sejak tahun yang lalu. Diawali dengan kajian pustaka, pengumpulan data lapang seharusnya dilaksanakan pada bulan Januari 2020. 

Rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal waktu karena satu dan lain hal. Selanjutnya keterlambatan menjadi lebih panjang karena persoalan pandemi Covid-19. Karena saya dan tim penelitian tidak mendapat izin terbang ke Papua dan wilayah mana pun. Akhirnya, kami pun melakukan pengumpulan data sejak bulan Desember. Itu pun dilakukan dengan secara daring.

Bayangkan, pengumpulan data yang semestinya dilakukan di hutan Papua dan dengan metodologi partisipatoris, termasuk di dalamnya pengumpulan data untuk analisis waktu dan transek melintasi hutan, akhirnya harus dilakukan secara daring. 

Persoalan koneksi internet di pedalaman hutan Papua adalah isu khusus. Akhirnya diputuskan bahwa narasumber dari kalangan petani perlu didatangkan ke kota yang memiliki koneksi internet agar kami dapat mewawancarainya dan melakukan proses partisipatoris melalui beberapa focused group discussions. Ini tidak mudah. Dan jangan dikira penggunaan daring adalah murah. Mendatangkan petani sebagai narasumber dari desa dekat hutan di Papua artinya mengundang nara sumber ke suatu tempat di kota yang berkoneksi internet.

Suatu saat saya akan tulis proses dan metode pengumpulan data lapang partisipatoris secara daring itu. Namun kali ini, saya akan sedikit menyentuh bagaimana isu sisa makanan dalam konteks Papua.

Saya beruntung dapat mewawancarai enam orang dari kalangan The Mahuze. Ya, The Mahuze. The Mahuze adalah Marga Mahuze yang menjadi bagian film dokumenter dari Dandhy Laksono. 

Bila Anda pernah menonton the Sexy Killer, Anda tentu tahu siapa Dandhy Laksono. Sementara the Sexy Killer berkisah tentang eksploitasi pertambangan, the Mahuze membagi kisah suatu marga yang mempertahankan tanah leluhur untuk keturunannya.

Di film The Mahuze kita bisa melihat betapa marga tersebut menghormati sumber makanan. Digambarkan sagu adalah makanan masyarakat Papua yang tumbuh di wilayah adat Dusun Sagu di Papua. 

Bagi masyarakat Marga Mahuze, sagu adalah makanan yang disediakan alam. Oleh karenanya, sagu tidak perlu ditanam. Sagu tumbuh subur di wilayah yang dekat dengan perairan. 

Untuk suatu keluarga, menebang satu pohon sagu akan cukup untuk memberi makan satu keluarga selama enam bulan. Oleh karenanya, Marga Mahuze menjaga keutuhan Dusun Sagu. 

Mereka hanya makan secukupnya. Dan, bukan hanya itu, seseorang yang menyisakan sagu ketika memakannya, dan membuang sagu akan mendapat hukuman berat. 

Mama Maria Mahuze mengatakan, "Siapa yang membuang sagu, maka ia akan mendapatkan hukum rimba". Mama Maria Mahuze menyampaikannya dengan serius. Di sini, hukum rimba adalah dibunuh. 

Jadi, bila ada acara makan atau pesta dan tersisa sagu, masyarakat Marga Mahuze akan menyimpan sisa makanan dan membawanya pulang. Pantang bagi mereka membuang makanan.

Bisa dibayangkan pula mengapa mama-mama Papua begitu marah bila kebun sagunya diganggu orang, baik itu dari marga lain di Papua atau pun dari kalangan pendatang. Mungkin saja ini juga jadi sebagian penyebab persoalan konflik di wilayah ini.

Kita memang belum bisa mengelola makanan dan sisanya dengan baik. Selain kita perlu melatih diri untuk memasak secukupnya, kita pun perlu untuk memanfaatkannya bila berlebih. 

Selain masih banyak orang yang membutuhkan, kita perlu kiat mendaur ulang makanan. Juga, mungkin kita perlu belajar serius soal cara mengelola konsumsi makanan kita, termasuk juga mengelola sampahnya dari negara-negara yang sudah berhasil mengelola sampah. 

Lihat saja Jepang, kalau pewarna alam dari bahan tanaman dan daun sudah menjadi tren di banyak negara dan juga mulai diperkenalkan di Indonesia melalui eco-print, Jepang bahkan telah menggunakan sampah makanan menjadi pewarna tekstil dan sepatunya. 

Converse dan All Star, dua merek sepatu mencoba proses pewarnaan dengan pewarna dari bahan sisa makanan (sayur dan buah-buahan) untuk sepatunya. Warna kol ungu, misalnya menjadi pewarna sepatu yang dianggap menarik. Tentu ini membutuhkan penelitian dan teknologi yang memadai.

Mungkin hal ini masih jauh dari bayangan kita, tetapi saya yakin suatu saat kita perlu mengeksplornya.

Baiklah, untuk saat ini paling tidak kita bisa mencoba berbagai macam arem-arem dari makanan sisa pesta kita.

Selamat Natal pembaca dan Kompasianer. Semoga Natal membawa kedamaian di bumi dan di hati kita. 

Kita pun akan menyambut Tahun Baru sebentar lagi. 

Dan, ingat, jangan buang sisa makanan pesta Tahun Baru ya. Semoga tahun 2021 menjadi tahun yang lebih baik. 

Pustaka : Converse, the Mahuze

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun