Selain memfasilitasi rubrik Ekonomi, Fiksiana, Gaya HIdup, Hiburan, dan Humaniora, Olahraga, dan Politik, serta keberadaan Ruang Kelas dan Teknologi, juga mengangkat isu terkini seperti hadirnya vaksin Sinovac, kelompok dengan disabilitas yang belum mendapat akses bantuan sosial dan juga akses pekerjaan, 'reshuffle kabinet terbatas' yang muncul pada topik pilihan di minggu ini, Kompasiana punya kekuatan untuk mengangkat isu-isu yang mewakili dinamika sosial politik dan ekonomi di negeri ini.
Gerak komunitas, pada umumya dalam aspek literasi sudah kita kenal. Bravo untuk itu. Dan, bukan tidak mungkin, komunitas Kompasiana juga dapat menjadi 'beyond' isu literasi. Bisa saja, komunitas Kompasiana bahkan menjawab isu sosial melalui kerja nyata dan penggalangan gerakan sosial, kebutuhan solidaritas sosial dalam masa pandemi, yang telah alami berubahnya tatanan sosial ekonomi. Â Mengapa tidak?Â
Pada akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, senang tidak senang, Kompasiana adalah bagian dari media, salah satu pilar demokrasi Indonesia. Ya, kesadaran kita bahwa Kompasiana adalah media alternatif untuk menjadi pilar demokrasi yang membanggakan adalah harapan kita. Dan, karenanya, kemampuan Kompasiana untuk mengangkat isu dan perdebatan atas persoalan dan proses demokratisasi di negeri ini melalui pemikiran lintas generasi menjadi sangat kritikal.Â
Negeri ini baru saja menyelenggarakan perhelatan Pilkada serentak pada 9 Desember kemarin, bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Internasional. Ini semestinya bukan kebetulan yang biasa.
Ini merupakan penanda penting tentang betapa keduanya adalah isu dalam pilar demokrasi yang perlu kita amati dan jaga. Keduanya bukan hanya sekedar topik yang Kompasianer perlu respons untuk memenangkan poin dan K-rewards, karena keduanya seharusnya bukan ritual demokrasi biasa.
Pasalnya Indonesia yang mencatat tingkat positif infeksi COVID-19 sebesar 13%, jauh lebih tinggi dari batas 5% yang WHO gunakan sebagai batas, serta tingkat kematian akibat COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara ini telah menyelenggarakan Pilkada serentak yang melibatkan lebih dari 100 juta pemilih. Dikhawatirkan akan terjadi klaster baru Pilkada. Juga, banyak media nasional dan internasiol menuliskan dinamika Pilkada serentak dan gerakan anti korupsi di Indonesia saat ini.
Pilkada yang melibatkan pencalonan yang dinyatakan oleh Alzaeera.com dan Bllomberg.com sebagai lahirnya era dinasti kepemimpinan dengan keterlibatan sekurangnya 20% adalah dari dinasti kepemimpinan di tingkat lokal. Pilkada ini melibatkan pencalonan keluarga terdekat presiden Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka, yang mencalonkan diri menjadi walikota Solo, dan juga Bobby yang mencalonkan diri menjadi Walikota.Â
Yoes Kenawas, candidate doctor pada Northwestern University di Amerika serkiat menyebutkan setidaknya terdapat 146 kandidat dari kalangan dinasti berbagai pemimpin politik Indonesia.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiatri, menyatakan bahwa tahun ini menggambarkan kegagalan parti politik untuk merekrut pimpinan daerah yang berasal dari kader internal partai. Banyak calon pimpinan daerah bukanlah berasal dari mereka yang punya keterkaitan erat dengan masyarakat pemilih.
Tentu saja ini menjadi 'santapan' media. Pilkada juga melibatkan sembilan dari 34 provinsi memilih gubernurnya. Ini tentu bukan hal kecil. Angka ini meningkat dari jumlah candidat berjumlah 52 orang di tahun 2015. Ia juga menyebutkan bahwa tren ini menunjukkan bahwa ruang bicara masyarakat sipil di Indonesia makin sempit. (Aljaeera.com, 8 Desember 2020).
Sementara itu, turunnya prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi yang lesu setelah Revisi Undang-undang KPK di akhir tahun 2019 dan berita tertangkapnya dua menteri untuk isu yang sangat politikal, yaitu korupsi sumber daya alam dan korupsi atas dana bansos memancing komentar dan perdebatan yang disinyalir banyak pihak sebagai penangkapan bermuatan politik.