Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sudahlah, Setop Politisasi Kebijakan Tanggap Covid-19!

13 September 2020   11:08 Diperbarui: 14 September 2020   06:48 3068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta Tetapkan PSBB (Total) Tahap Dua 

Jumlah kasus pasien positif COVID-19 di Indonesia, khususnya di Jakarta makin meningkat, seakan tak terkendalikan. Bahkan, diberitakan oleh banyak media bahwa 59 negara melarang warganya untuk keluar ataupun masuk dari dan ke Indonesia (Tempo.com). 

Sebagai warga Jakarta, saya melihat keputusan Gubernur DKI untuk melakukan PSBB tahap 2 yang lebih menuntut kedisplinan warga adalah masuk akal. Bagaimana tidak. Mayoritas kasus COVID-19 di Indonesia ada di Jakarta dan kasus harian di Indonesia telah pernah mencapai 3.861. 

Sementara itu, 96% dari kabupaten/kota di Indonesia telah terinfeksi, 183 tenaga kesehaatan kita meninggal, dan terdapat 1.011 klaster.  Ini adalah data dan status pada 9 September 2020 (Kompas.com). 

Adapun, standar occupancy rate rumah sakit kita telah mencapai 49,8%, sedikit lagi menuju batas atas standar darurat yang ditetapkan WHO, yaitu sebesar 60%. Untuk Jakarta, jumlah tempat tidur yang tersedia di Rumah Sakit makin terbatas dan diperkirakan akan mengalami kolaps di bulan Oktober 2020. 

Gemesnya, masih terdapat publik yang menganggap berita kematian tenaga kesehatan itu adalah bohong, dan bahkan menuduh para dokter dan tenaga kesehatan itu hanya ingin mengeruk keuntungan finansial (health. detik.com). 

Di sisi lain, di In****ret terdekat yang jaraknya hanya 200 meter dari rumah kami, saya masih bertemu dengan begitu banyak orang yang tidak peduli. Mereka tidak mengenakan masker, memadati toko swalayan In****ret yang berukuran kecil, tidak menjaga jarak dan beberapa di antaranya batuk sembarangan. Saya kuatir, suatu saat akan bermunculan klaster warung-warung swalayan ini, setelah klaster keluarga dan klaster restoran terjadi. 

Keputusan untuk menjadikan Jakarta pada PSBB tahap kedua itu, sayangnya, memunculkan polemik yang tidak produktif. Beberapa pihak melihat keputusan ini hanya untuk kepentingan politik pejabat Jakarta saja. 

Di sisi lain, ada pendapat bahwa keputusan ini memiliki latar belakang politik, khususnya terkait kepentingan dan persaingan antara Anis Baswedan VS Jokowi. Intinya, seakan terdapat politik rivalitas. 

Saya percaya, keputusan PSBB di Jakarta ini merupakan keputusan bersama antara Jokowi dan Anies Baswedan. Pada video di atas, sayapun mendengar pernyataan Anies Baswedan terkait telah bertemunya ia dengan Presiden terkait keputusan PSBB total kedua ini.  Juga, beberapa berita menyebutkan bahwa tim Gugus Tugas mengakui bahwa pemerintah pusat telah menyetujui PSBB tersebut. Tentu saja. Aturan yang ada menyebutkan bahwa semua PSBB harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. 

Posisi Jakarta yang merupakan Ibu Kota RI adalah sangat penting untuk melakukan pembatasan ketat. Terlebih dengan adanya 59 negara yang 'memblack list' Indonesia dalam daftar negara yang tak boleh dikunjugni warganya.  Ini sesuatu yang serius.  Saya duga, anjlognya IHSG di Bursa Efek Jakarta setelah pengumuman Gubernur DKI terkait PSBB merupakan dampak kolektif dari kinerja pengendalian COVID-19 selama ini, pelarangan 59 negara pada warganya untuk keluar/masuk Indonesia, dan pengumuman PSBB yang tidak disertai dengan strategi komunikasi yang memadai. 

Hanya saja, terkesan ada ruang (yang dibiarkan) abu-abu yang terbuka dari keputusan ini sehingga polemik terus terjadi. Yang membuat saya malas, siapapun yang mendukung kebijakan PSBB di Jakarta akan dilihat sebagai pihak yang berseberangan dengan Jokowi. 

Misalnya, karena saya melihat kebijakan PSBB Total (tahap kedua) kali ini sangat urgen, bisa saja ini dibaca seakan saya menolak (atau bahkan anti) Jokowi, dan sebalinya pro Anis Baswedan. Sampai-sampai, seorang kawan saya yang biasanya kritispun kali ini menuliskan "Gua ga akan berkomentar soal PSBB Total Kedua" di salah satu akun media sosialnya. Membosankan. 

Pada PSBB kedua ini, 'working from home' adalah kebijakan utama. Terdapat daftar bisnis dan layanan publik utama yang masih boleh beroperasi. Tempat wisata ditutup. Reuni dan acara kumpul keluarga dan kawan dilarang. Transportasi umum dibatasi. Sistem ganjilgGenap ditiadakan. Operasional tempat ibadah dan tempat makan diatur kembali.

Klaster Tempat Makan.

Jakarta adalah kota metropolitan dengan begitu banyak deretan resto dan kafe. Saya kira masyarakat perlu lebih menyadari akan risiko makan-makan bersama di resto. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa banyak kasus COVID-19 muncul setelah acara makan-makan. Bahkan ditengarai telah ada  klaster resto di beberapa kota. 

Pandemictalks yang biasa menyiarkan podcast tentang COVID-19 melalui Instagram memberitakan bahwa terdapat risiko tinggi penyebaran masif COVID-19 di tempat makan. Ini mereka sebut sebagai Klaster Tempat Makan, yaitu ketika terjadi satu orang positif COVID-19 menulari pengunjung atau staf tempat makan lain. 

IG pandemicstalk
IG pandemicstalk
Kajian mereka mencatat terdapat 20 kasus positif dari Warung Soto Lamongan di Yogyakarta, 20 kasus di Rumah Makan Bu Fat di Semarang, 15 kasus di Rumah Makan Rawon di Probolinggo dan 8 kasus positif ditemukan di Rumah makan Bahrein di Bogor (Pandemicstalk, 12 September 2020).

IG pandemicstalk
IG pandemicstalk
Kita tengok apa yang kawan-kawan dekat kita tayangkan di media sosialnya. Foto-foto mereka yang berkumpul makan bersama, dan tentu dengan melepas masker,di suasana kafe dan resto tampak banyak bermunculan. 

Lucunya, banyak kawan yang berbondong-bondong pergi ke mall pada akhir pekan ini. Mereka berfoto dan menambahkan 'caption', "Mumpung masih satu hari lagi menuju PSBB 14 September 2020, ngemal dulu ah". 

Artinya, bagi banyak kalangan PSBB hanyalah aturan administratif dan tidak punya esensi pandemi.  Mereka belum berpikir bahwa berdiam di rumah dan jaga jarak itu bisa kita mulai saat ini karena akan menyelamatkan banyak orang.  Protokol seharusnya dilakukan tanpa harus menunggu penetapan dimulainya PSBB. 

Kinerja Kebijakan Tanggap Pandemi COVID-19.

Sejak awal pandemi, implementasi Indonesia pada tanggap COVID-19 memang mengundang sorotan publik. Suatu studi, yang diklaim sebagai studi akademis pertama yang dilakukan terkait tanggap COVID-19 di awal masa pandemi di Indonesia "Review and analysis of current responses to COVID-19 in Indonesia: Period of January to March 2020" oleh Djayantee, et all, mengkaji konten media terkait penanganan COVID-10 di Indonesia sejak Januari sampai Maret 2020. 

Studi ini melihat pelaksanaan 6 strategi prioritas WHO dalam penanganan COVID-19 yang harus dilakukan negara-negara anggota PBB, yaitu 1) memperluas, melatih, dan memobilisasi tenaga kesehatan; 2) mengimplementasikan sistem untuk mencari kasus yang dicurigai; 3) mempercepat ketersediaan dan produksi alat uji; 4) mengidentifikasi fasilitas yang dapat ditransformasikan menjadi pusat kesehatan untuk tanggap COVID-19; 5) membuat rencana karantina kasus, dan 6) meminta pemerintah untuk memberikan perhatian pada upaya untuk menekan penyebaran virus.

Temuan studi di atas mencatat beberapa hal.

Pertama, Indonesia dinilai tidak melakukan pembatasan perjalanan dan karantina secara tepat waktu pada mereka yang masuk/keluar Indonesia, bahkan dari negara yang sedang dihantam virus, yaitu Cina.

Kedua, Indonesia melaporkan telah mempersiapkan fasilitas kesehatan khusus untuk merawat pasien COVID-19, namun pergerakan jumlah kasus terus meningkat. Diduga ada persoalan tentang transparansi data yang menghambat kemampuan negara untuk memahami keseluruhan persoalan.

Ketiga, ada kesan pemerintah Indonesia kurang belajar dari kegagalan banyak negara yang tidak siap dalam melakukan tanggap COVID-19. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 telah menerbitkan panduan penanganan kasus dan cukup banyak peraturan bersamaan dengan pendirian Gugus Tugas. 

Bebarapa hal terpenting yang dicatat adalah kebijakan relokasi anggaran yang difokuskan pada tanggap covid-19, kebijakan sekolah dari rumah, pengaturan BPJS dalam konteks tanggap COVID-19, dan serangkaian kebijakan fiscal. 

Hal yang penting dicatat adalah penunjukan Jenderal Doni Monardo, Kepala BNPB sebaga Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 sementara juru bicara Gugus Tugas adalah, Achmad Yurianto, seorang dokter. 

Keempat, lembaga pemerintah seperti Kementrian Kesehatan adalah ujung tombak. Sementara itu, Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia menjalankan peran mengawasi perkembangan ekonomi. Sementara itu harapan pada Kementrian Desa tertuju pada masyarakat yang rentan dan terpencil.

Kelima, sementara efektivitas keputusannya belum dapat dinilai, Indonesia membuat keputusan politik yang tidak popular dengan melibatkan TNI dan POLRI dalam pengendalian COVID-19. 

Memang, penggunaan aset militer seperti pesawat terbang dan mobilisasi militer untuk mempersiapan RS Darurat Wisma Atlet sangatlah membantu ketika sistem tidak berfungsi. 

Oleh karenanya, peran TNI yang tidak biasa ini dianggap penting. Studi ini mencatat suatu hal yang menarik tentang peran tenaga kesehatan yang juga diberi label militerisme 'garda depan'.

(Warga) Indonesia Terlalu Sibuk Berpolitik dan Main Politisasi 

Berbeda dengan New Zealand, Vietnam dan bahkan Singapura, selama ini Indonesia dikenal kurang mengindahkan pertimbangan sains dan teknologi serta pertimbangan sosial dalam membuat keputusan terkait pengelolaan pandemic COVID-19. Beberapa studi, termasuk yang dibuat oleh LIPI menyoroti kepemimpinan politik Presiden Jokowi dalam menangani COVId-19 (lipi.go.id). 

Sebelum pandemi COVID-19 merebak, terdapat cukup banyak rencana Presiden Jokowi yang dinilai ambisius , di antarnya hendak menggulirkan berbagai proyek infrastruktur besar dan rencana pemindahan Ibu Kota Baru ke Kalimantan Timur. 

Semua rencana ini adalah sebagai bagian dari hasil negosiasi dan koalisi berbagai partai politik di DPR maupun di pemerintahan. Beberapa langkah di tingkat regionalpun, seperti kerjasama di tingkat ASEAN untuk lebih memfasilitasi perdagangan bebas di Asia Tenggara telah ditandatangani.

Rencana ambisius pemerintah Jokowi tahap kedua yang disertai target pertumbuhan yang tinggi tersebut diduga membuat pemerintahan Presiden Jokowi terkesan 'menolak realitas', sangat peragu (baca tidak konsisten), dan menemui disfungsi koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan tanggap pandemi di sektor kesehatan. 

Layanan kesehatan yang sejak masa otonomi daerah punya persoalan besar telah mengerucut menjadi suatu kedaruratan di masa pandemi. Ini tentu saja membuat berkembangnya diskursus kontestasi kepentingan ekonomi dan kepentingan kesehatan publik yang seakan tidak berujung.

Saat ini penyelesaian dan tanggap pandemi adalah masa kritikal.

Meskipun pemerintah terus memompa optimisme tentang lahirnya vaksin buatan Indonesia di awal tahun 2021, para ahli pandemi mengestimasikan akan lebih panjangnya pandemi berdampak dan memberi tekanan pada sistem kesehatan dan perekonomian Indonesia.

Kita perlu refleksi. Banyak kalangan analis politik mengindikasikan pentingnya pemerintah untuk secara serius mengelola dan mengendalikan pandemi COVID-19 ini karena hal ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat dan kerja jangka panjang. 

Survei yang diadakah the Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat bahwa 67,7% media sosial membicarakan kinerja yang buruk dalam memitigasi pandemi.

Untuk itu, terdapat beberapa rekomendasi yang dianggap penting. Rekomendasi yang utama adalah agar pemerintahan Jokowi tidak terganggu hal lain selain berfokus pada kesuksesan mengendalikan dan memitigiasi COVID-19. Keraguan masyarakat pada kemampuan pemerintahan Jokowi mengelola COVID-19 adalah risiko yang perlu dihitung. Untuk itu, terdapat beberapa langkah yang perlu penjadi perhatian.

Pertama, pemerintah perlu memiliki strategi komunikasi yang efektif yang mendorong pada kepatuhan warga. Strategi komunikasi itu jangan dilihat hanya dari pergantian juru bicara gugus tugas dari dokter Achmad Yurianto kepada dokter Raisa, tetapi strategi komunikasi dan narasi untuk menguraikan kebijakan tanggap COVId-19 yang dibuat pemerintah.

Kedua, pemerintah perlu lebih terbuka pada perdebatan serta kritik yang ada di publik terkait kebijakan memitigasi COVID-19. Pemerintah perlu mengurangi 'blunder' dan kebijakan yang bahkan menjadi boomerang. Ini misalnya terkait tidak konsistennya penerapan kebijakan 'mudik' dan tidak jelasnya definisi 'new normal'. 

Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan pertimbangan-pertimbangan sains dan berbasis data di dalam pembuatan kebijakan. Memang berat, tetapi pemerintah perlu cepat membangun kepercayaan yang sempat dan masih hilang gara-gara terlalu menggunakan pertimbangan pribadi yang selanjutnya sering dipolitisasi. 

Keempat, pemerintah perlu memiliki rencana jangka panjang penanganan COVID-19, dan bukan tindakan-tindakan atau tanggap pandemi yang dilakukan dengan reaktif ataupun hanya untuk jangka pendek. Penggantian menteri di kabinet yang selalu menjadi 'sas-su's tidak juga dilakukan, meski kinerja kabinet dinilai rendah. Ini dapat dilihat dari lambatnya dukungan pemerintah dan lembaga keuangan pada penyaluran Bansos, termasuk di antaranya kepada Industri Kecil dan Mikro. Selanjutnya, pemerintah perlu memberbaiki narasi yang lebih jelas dan konstruktif tinimbang 'new normal' yang selain tidak efektif juga tidak pernah lagi disebut sebagai kebijakan. Konsistensi diperlukan agar masyarakat lebih patuh. Pejabat pemerintah dan DPR perlu pula memberi contoh atas kedisiplinan yang hendak dibangun. Amatlah disayangkan bahwa banyak pejabat pemerintah melepas masker ketika berfoto bersama dengan pejabat lain. Juga mereka tidak menjaga jarak. 

Dalam hal vaksin, negara perlu memainkan diplomasi vaksin yang tepat agar optimal untuk kepentingan warga Indonesia, disamping juga menghargai proses yang perlu waktu untuk mewujudkan kemandirian vaksin. 

Saat ini Indonesia memang sedang bekerjasama dengan Cina dalam menghasilkan Sinovac dan vaksin Bio Farma. Dan, Presiden Jokowi perlu untuk memperjuangan agar vaksin itu diutamakan untuk masyarakat Indonesia dan dilakukan dengan harga terjangkau. 

Pengalaman implementasi tes PCR swab test yang dinilai lambat dan tidak terjangkau masyarakt umum karena harganya yang tinggai seakan mendorong kondisi masyarakat yang rentan dan miskin untuk tidak punya pilihan selain terjangkit COVID-19 dan meninggal.

Kemandirian Indonesia akan vaksin tak mungkin terjadi bila pemerintah tidak memperhatikan bidang pengetahuan dan sains dengan memadai. Alokasi anggaran yang sangat rendah pada lembaga-lembaga sains seperti Biofarma dan Eijkman Institute sejak orde baru adalah 'reality check' bahwa kita belum siap dalam proses menuju kemandirian vaksin itu. Tidaklah mungkin kita 'ujug-ujug' mandiri dan berdaulat ketika sektor itu hampir terlupakan. 

Ini tentu merupakan tuntutan pada pemerintahan Jokowi di tahap kedua untuk memenuhi janjinya, yaitu memajukan sumber daya manusia, pengetahuan dan sains.

Kesuksesan dan kinerja masa pemerintahan Jokowi untuk mengelola COVID-19 adalah hal yang sangat penting. Apa artinya Indonesia mengejar pembangunan ekonomi ketika manusianya banyak yang mati. 

Beberapa kali Presiden Jokowi mengatakan kepada media bahwa tangani dulu COVID-19, lalu selanjutnya fokus ke ekonomi. Pernyataan itu perlu dibuktikan dalam kebijakan dan langkah yang jelas. 

Hal pertama yang perlu dilakukan saat ini adalah, dukung Jakarta melakukan kebijakan PSBB Tahap 2 untuk kepentingan Jakarta dan kepentingan nasional. Masa depan bangsa ini sangat tergantung pada kinerja pemerintah dalam menanggulangi COVID-19. 

Dampak pandemi ini diperkirakan akan berjalan sampai beberapa tahun. Bila penanggulangan pandemi tidak efektif, bukan tidak mungkin bahwa masyarakat akan terdampak untuk waktu yang lebih lama lagi.  

 Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun