The Conversation.com terbitan bulan Juni 2020 menuliskan bahwa pandemi COVID-19 dinilai memberikan tekanan baru pada relasi suami istri. Ada suami istri yang makin kompak dan mesra selama pandemi. Namun, ada pula suami istri yang makin renggang dan bahkan terdorong untuk mempercepat proses perceraian.
'Lock down' telah memaksa keluarga harus tinggal di dalam rumah. Suami dan istri bekerja dari rumah. Anak anak juga belajar di rumah. Pada intinya, semua anggota keluarga melakukan semua kegiatan di rumah. Ini memberikan situasi baru, yang berbeda dari kebiasaan yang telah ada.Â
Beberapa orang yang telah memiliki persoalan relasi suami istri cenderung melakukan evaluasi pada relasi mereka, yang kemudian berujung pada keputusan untuk bercerai.
Banyak ahli mengatakan bahwa tidak adil mempersalahkan pandemi covid-19 sebagai penyebab adanya perceraian, dengan alasan bahwa suami istri tidak punya ruang gerak cukup pada saat pandemi. Lalu terdapat tindak kekerasan. Dan hal lainnya.Â
Penasehat perkawinan di Inggris mengatakan bahwa pandemi hanya mengakselerasi persoalan relasi suami istri. Beban kerja yang bertambah karena harus menemani anak belajar di rumah, ditambah dengan persoalan beban kerja rumah tangga yang lebih sering menjadi beban istri membuat relasi suami istri makin buruk.Â
Pandemi memang telah menciptakan ketidakpastian yang meminta waktu lama. Sementara itu, proses perceraian yang sederhanapun pasti membawa dinamika emosi yang tidak mudah bagi pelakunya. Perceraian bukanlah suatu keputusan yang baik untuk dilakukan, tetapi bagi penyintas dan korban kekerasan dan bagi mereka yang telah memiliki persoalan relasi, ini dianggap sebagai cara untuk keluar dari persoalan dan keterhimpitan.
Dan ketika terdapat faktor lain seperti pengangguran dan hilangnya sumber daya ekonomi, beban kerja yang bertambah yang dialami perempuan, adanya tindak kekerasan, maka perceraian dianggap menjadi jalan keluar bagi pasangan, khususnya pihak perempuan.Â
Jadi, pandemi merupakan sesuatu yang meningkatkan dan mempercepat perceraian untuk terjadi. Bila kita lihat pada beberapa kamus bahasa, termasuk kamus bahasa Inggris terbitan Oxford, maka apa yang kita sebut meningkatkan dan mempercepat itu adalah akselerator, 'accelerator is something that increases the rates'. Ini bisa berlaku secara kualitatif ataupun kuantitatif.
Pandemi merupakan akselerator yang mendorong persoalan relasi mengerucut menjadi persoalan yang lebih besar di masa pandemi. Pandemi juga menjadi akselerator yang mendorong jumlah kasus juga berlipat menjadi lebih tinggi di masa pandemi.Â
Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, DelapanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H