Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pandemi, "Hanya" Akselerator Perceraian

7 September 2020   06:55 Diperbarui: 7 September 2020   19:09 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sulitnya relasi perkawinan di masa pandemi (sumber : The Telegram.com)

Undang undang keluarga dan perceraian Inggris memang mensyaratkan adanya beberapa syarat perceraian untuk dapat disetujui, yaitu perselingkuhan, perilaku tidak pantas, pengabaian, dan perpisahan selama 2 tahun tanpa pemberitahuan. Jadi, kasus perceraian di Inggris mengharuskan adanya bukti kesalahan dari satu pihak. 

Suatu studi terkait kasus perceraian di Inggris yang dilakukan pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 62% orang yang menggugat cerai dan 78% orang yang diduga membuat kesalahan dalam perkawinan menemukan bahwa proses perceraian membuat urusan makin sulit dan menyakitkan. 

Juga, masa tunggu selama 20 minggu untuk mengurus perceraian di Inggris dianggap terlalu lama. Para ahli menilai ini perlu penyesuaian, khususnya untuk lebih sesuai dengan konteks masa pandemi.

Ini membuat para ahli di Inggris membandingkan situasi perundangan mereka dengan perundangan perceraian di Perancis yang mengijinkan perceraian terjadi ketika kedua pihak secara sadar menghendaki perceraian terjadi.

Pasangan diberi waktu 15 hari untuk mencoba melihat kembali keputusan mereka dan menawarkan mediasi. Bila dinilai tidak dapat diteruskan, maka perceraian dilakukan. (the conversation.com, Juni 2020).

Pemerintah Inggris juga akan menilik biaya perceraian karena biaya perceraian di Inggris adalah550 poundsterling atau senilai lebih dari 11 juta rupiah. Sementara di Perancis, biaya perceraian adalah 50 Euro atau senilai 1 juta rupiah.

Lock Down, Tindak Kekerasan, dan Perceraian 

Laporan global yang diterbitkan the World Economic Forum (2020) menyebutkan bahwa terdapat peningkatan kasus kekerasan di dalam rumah tangga di berbagai wilayah sebesar antara 25 - 35% di Maret 2020 dibandingkan dengan jumlah kasus pada Maret tahun 2019.

Ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Perancis, Kanada, jerman, Spanyol, Inggris, dan Argentina, tetapi juga di negara berkembang, termasuk di Indonesia. 

Data yang dibuat Soroptimist International dan UN Women (2020) mencatat terdapat 243 juta anak perempuan dan perempuan berusia antara 15-49 tahun menjadi korban kekerasan fisik dan seksual pada 12 bulan terakhir. Kebijakan 'lock down' membuat akses perempuan pada berbagai fasilitas di dalam rumah maupu di ruang publik terbatas.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dua pertiga dari 319 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan di masa pandemi adalah kekerasan dalam rumah tangga. LBH APIK juga melaporkan bahwa 110 kasus kekerasan terhadap perempuan juga dilaporkan sejak PSBB dimulai di Jakarta pada 16 Maret sampai 20 Juni 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun