Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pembukaan Bioskop di Masa Pandemi: Benarkah Virus Musuh Kita yang Bahagia?

30 Agustus 2020   08:45 Diperbarui: 31 Agustus 2020   11:12 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mladen Antonov/AFP via Getty Images

Berencana Membuka Kembali Bioskop Ketika Rekor Pasien Positif COVID-19 dalam Sehari adalah di Atas 3.300 orang? 

Gubernur DKI merencanakan pembukaan bioskop dalam waktu dekat. Hal ini disambut baik Wiku Adisasmito, juru bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito.

Wiku menyebutkan bahwa akan dilakukan prakondisi, waktu, prioritas, persiapan dan simulasi dan disyaratkan protokol kesehatan.

Antrian masuk dan keluar dijaga ketat dan dijaga jarak minimal 1,5 m, kesiapan penyelenggara dengan pelatihan dan memastikan protokol kesehatan dilakukan. Juga disyaratkan usia pengunjung adalah pada rentang usia 12 sampai 60 tahun dan mereka tidak memiliki persoalan kesehatan, flue dan lain lain.

Selama menonton tidak diperkenankan minum dan makan, dengan waktu menonton tidak lebih dari 2 jam. Masker dipergunakan selama menonton dan kualitas masker diharapkan minimal sama dengan kualitas masker bedah. Kontak dengan petugas dan sesama penonton juga dihindari. 

Wah...darimana kita tahu bahwa pengunjung sehat? Bagaimana dengan kita yang tanpa gejala (OTG)? Persyaratan bahwa masker yang dipakai adalah lebih baik atau setingkat dengan masker bedah juga berarti masker N95 akan menjadi indikator aman? 

Soal diijinkannya bioskop untuk dibuka kembali bagi publik bukan hanya mengundang polemik tetapi juga menguji pertimbangan kita. Ini termasuk melihat argumentasi yang disebut Wiku Adisasmito adalah bahwa menonton film di bioskop dan sinema akan memperbaiki tingkat imunitas karena bahagia dan suasana mental fisik ditingkatkan.  

Isu penutupan bioskop telah terjadi pula pada pandemi flue spanyol di tahun 1918 - 1920. Pada saat itu semua bioskop di seluruh dunia tutup.

Hanya Inggris yang mempertanyakan penutupan itu, dengan argumen bahwa bioskop adalah media hiburan di kala perang dunia pertama. Tentu saja argumen penutupan dan pembukaan bioskop di masa pandemi covid-19 berbeda. 

Diskusi terkait pembukaan kembali bioskop di masa pandemic bukan hanya terjadi di Indonesia. Data jadwal pembukaan kembali bioskop di beberapa negara dapat dilihat pada dailyscreen.com, meski data ini tidak termasuk jadwal di Indonesia. 

Sumber : Dailyscreen.com yang diproses)
Sumber : Dailyscreen.com yang diproses)
Amerika mungkin negara yang bisnis bioskopnya akan kena dampak cukup keras karena memang Amerika hidup dari motion picture.

Untuk Amerika Serikat, motion pictures and program televisi merupakan sumber ekonomi dan budaya utama. Pada tahun 2016 industri ini mendukung 2,1 juta tenaga kerja dengan nilai upah senilai S$ 139 miliar.

Di masa pandemi, beberapa film yang antri untuk dirilis, seperti Mulan dan Tenet. Juga  film James Bond, No Time to Die,  yang alami penundaan beberapa kali dan akan melakukan penundaan lagi sampai November 2020.

Nytimes.com
Nytimes.com
Biskop Malaysia dibuka di bulan Juli 2020, namun berita tentang perolehan sektor ini setelah pembukaannya belum banyak dirilis.

Neil Oseman, seorang warga Inggris yang tinggal di Cambridge, Inggris menyampaikan bahwa ia punya pengalaman menonton yang pertama di Bioskop pada minggu ini, setelah absen selama enam bulan. Sebetulnya, bioskop di Inggris telah diijinkan untuk dibuka agi pada 4 Juli 2020.

Namun demikian, biaya operasional yang tinggi yang harus ditanggung selama masa pandemic membuat banyak bioskop tetap tidak buka sampai bulan Agustus. Barulah pada 21 Agustus, Neil mencoba menonton di bioskop yang baru saja dibuka.

Ia menceritakan bahwa suasana di bioskop masih sepi. Pemutaraan film terlambat dimulai karena ruang bioskop masih sepi dan pihak pengelola bioskop menanti sekiranya ada penonton yang hendak bergabung tetapi terlambat.

Protokol diterapkan. Tapi karena memang menonton dalam gelap dengan menggunakan masker terus, Neil merasakan pengap (redsharknews.com). 

Di Cina, bioskop dibuka pada 20 Juli 2020 di hampir semua kota kecuali di Beijing yang membukanya beberapa minggu kemudian karena terdapat 226 kasus positif di Beijing.

Dan, di hari pertama pembukaan kembali bioskop, film box office seperti First Farewell dan film Disney "Sheep Without A Shepher" secara total  meraup hampir 500 K (deadline.com).

Yang menarik, di Swedia bioskop bahkan tetap dibuka angka kasus di dunia tinggi. Mereka berkilah bahwa mereka terlahir sudah dalam keadaan menjalankan 'social distancing' dan menjalankan protokol kesehatan yang ketat.

Saat ini mereka membatasi penonton hanya sejumlah 50 orang per teater. Swedia memili 47 biskop dengan total jumlah teater sebanyak 200 buah.

Dan memang Swedia adalah satu dari negara dengan pendapatan box office tertinggi di Eropa. Beberapa pengada layanan bioskop, seperti Fornstam dan Bio bisa menyewakan ruang teater untuk persewaan eksklusif (theguardian.com). 

Swedia memang berbeda dengan negara tetangganya, Denmark, Finlandia dan Norwegia yang menjalankan beberapa versi lockdown. Swedia masih membuka fasilitas bisnis dan juga membuka sekolah TK dan SD, meski menutup sekolah lainnya. Hal ini mengundang kritik berat karena jumlah pasien yang meninggal di negeri ini tinggi.

Pihak universitas mengkritik pemerintah Norwegia yang tidak mempertimbangkan argumentasi sains. Dicurigai bahwa pemerintah Swedia mempercayai bahwa dengan kebijakannya ini mereka akan mendapatkan herd immunity lebih cepat dari negara lain.

Eksistensi Bioskop

Sebetulnya eksistensi bioskop sudah goyang bahkan sebelum ada pandemic COVID-19. Sejak maraknya penggunaan layar, mulai dari layar 1 inci pada jam pintar 'smart watch', sampai ke layar televise berukuran 60 inci, juga maraknya Netflix dan youtube, bioskop dianggap makin tidak relevan. Di Amerika, selain Netflix, Amazon, hello, dan Hulu juga berkontribusi pada penurunan bisnis bioskop (Washingtonpost.com) 

Bagaimana tidak? Pelanggan Netflix di tahun 2019 saja sudah mencapai lebih dari 140 juta (medium.com) dan dan di tahun 2020 telah ada tambahan pelanggan 183 juta (comparitech.com). Jumlah ini akan meningkat drastic karena pandemic.

Setelah pandemic covid-19 memang industri perfilman dunia merosot, seperti juga sektor ekonomi yang lain. Film-film yang diproduksi dengan biaya mahal seperti James Bond 007, selain mengalami penundaan produksi juga mengalami penundaan pemutarannya.

Industri film Cina alami kerugian sebesar 2 miliar di bulan Maret 2020. Tak salah bila Christopher Nolan mengatakan bahwa bisnis bioskop di Amerika membutuhkan pertolongan. Selama ini memang perekonomian Amerika dibantu oleh bioskop layar lebar melalui produksi film Hollywoodnya. https://www.washingtonpost.com

India dengan Bollywood sebagai produsen film terbesar di dunia juga mengalami penurunan produksi filmnya.

Uniknya, negara dengan penduduk 1,3 milliar orang ini memiliki 9.600 layar ini berjuang bersama ketika masa pandemi.

Para artis dan mereka yang berada di industri film melakukan respons sosial karena pandemic dengan menggalang dana untuk mendukung kehidupan pekerja film yang jumlahnya lebih dari 1 juta, yang terpuruk karena pandemic. Ini suatu gerakan sosial luar biasa.

Kebahagiaan Semu di Kala Pandemi ? 

Begitu banyak orang berduyun hadir di pembukaan mall baru di lingkungan Hotel/apartemen Tentrem di Semarang minggu yang lalu. 

uga begitu banyak warga yang mudik pada saat Perayaan Kemerdekaan. Juga begitu banyak warga yang tetap bertemu di cafe-cafe melakukan kegiatan bersama, seakan pandemic sudah berlalu.

Padahal, podcast pandemicstalk yang membuat riset melihat bahwa adanya 1 orang positif covid19 yang berkegiatan di suatu kedai kopi di Korea Selatan telah menulari 65 orang pengunjung lainnya (IG pandemicstalks). 

Wargapun sudah melakukan perayaan-perayaan perkawinan secara 'offline' akhir-kahir ini. Yang dulu merayakannya dengan tamu ribuan, sekarang mereka melakukannya dengan tamu dua ratusan. Protokol kesehatan memang dilakukan pada saat akad dan resepsi.

Namun pertemuan keluarga sebelum acara di hari H dan sesudahnya mungkin bisa lebih longgar. Ini bisa dimaklumi karena pandemi membuat keluarga besar menjadi kangen dan pertemuan semacam ini adalah obat sementara.

Yang menarik, meskipun diberlakukan protokol kesehatan bagi tamu di perayaan perkawinan, banyak pasangan pengantin yang tidak mengenakan masker di Hari H.

Belum lagi acara dan tradisi yang mengikuti acara akad dan resepsi di gedung. Bangsa kita memiliki biaya yang kaya dan seringkali sulit kita menyetop potensi untuk saling berdekatan tanpa jarak dan tanpa masker ketika keluarga berkumpul. Tentu ini semua bagian dari kebahagiaan keluarga.

Namun, ada risiko besar ketika dilakukan selama pandemi. Sayapun sempat betemu dengan pasangan pengantin yang tidak bermasker ketika kami berpapasan di suatu lift sekitar dua minggu yang lalu. Tentu ini menakutkan. Sayapun segera keluar dari lift sempit tersebut. 

Kalau juru bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito berdalih bahwa orang yang bahagia bisa lebih imun, lain lagi kata Dicky Budiman, seorang Epidemolog dari Universitas Griffith. "Virus tidak memandang apakah orang bahagia atau tidak' (IG: pandemicstalks)

Apakah memang alasan bahagia dan peningkatan imun adalah alasan membuka kembali bioskop? Ataukah alasan ekonomi yang menjadi dasar dibukanya berbagai fasilitas ekonomi dan sosial, termasuk bioskop?

Kita paham soal sumbangan bioskop dan inudustri restoran yang ada di sekitar bioskop pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ataukah ini gabungan dari pengumpulan APD dan juga hendak memberi kebahagiaan (semu) kepada masyarakat, seakan pandemi bukan sesuatu yang perlu ditakuti?

Para ahli epidomologi mengatakan bahwa terlalu riskan untuk menonton bioskop pada masa pandemi. Beberapa hal yang perlu diingat adalah :

1. Ruang yang tertutup dan ber - AC bukanlah ruang yang ideal di masa pandemi. Apalagi film berdurasi sekitar 2 jam.

2. Penggunaan masker sulit diawasi ketika lampu di ruang teater sudah dimatikan. Tidaklah mungkin pengawas berkeliling dan memeriksa ketika lampu telah padam. 

3. Penonton adalah saling tidak mengenal dan tidak tahu darimana saja mereka berasal dan bergaul. 

Ini konsisten pula dengan persyaratan VDJ yang dipopulerkan oleh 'pandemictalks' tentu bisa jadi acuan mengapa kita perlu ragu dengan pembukaan kembali bioskop.

V - Ventilasi - ventilasi yang baik adalah syarat utama dan hindari tempat yang bertahan hanya dengan AC;

D - Durasi pertemuan tidak lebih dari 15 -- 30 menit,

J - Jarak dijaga minimal 2 meter, dan tetap bermasker di manapun berada

Nah...seandainyapun pembukaan bioskop tetap akan dilakukan, mungkin saja akan muncul beberapa opsi dan inovasi. 

  • Prioritaskan pemutaran film-film pendek dengan durasi maksimal 30 menit. Selain mengurangi risiko terlalu lama dalam ruang tanpa ventilasi, ini juga akan merangsang tumbuhnya film film pendek baru yang belakangan diminati penonton.
  • Buka bioskop 'Drive in'. Beberapa negara seperti Malaysia mulai bergegas membuka bioskop 'drive in' untuk merespons situasi pandemic. Dikabarkan bahwa sinema 'drive in' M-Junction ini akan dibuka pada akhir Agustus 2020. Dulu terdapat 'drive in' di Ancolm Jakarta. Tetapi bioskop ini sudah lama ditutup. Memang 'Drive in' menjamur di tahun 70-80 an dan mereka mati ketika Cineplex hadir. Drivein yang aman disebutkan untuk mensyaratkan jumlah penumpang separuh dari kapasitas mobil, membuka jendela kaca dan tidak turun dari mobil untuk berkomunikasi dengan orang di luar mobil. Bisakah demikian?
  • Buka opsi persewaan ruang bisokop privat bisa sebagai opsi, tetapi mungkin ini hanya diakses mereka yang memang punya dana. Apakah ini memang prioritas?

Mungkin benar argumentasi seorang pengamat di Inggris yang mengatakan bahwa membuka kembali bioskop mungkin beresiko lebih rendah daripada membuka mall dan tempat makan dan restoran. Ini karena masyarakat menganggap lebih prioritas untuk pergi ke mall dan tempat makan dan caf dibandingkan dengan menonton film di bioskop.

Lagipula, tren orang untuk menonton film di bioskop juga makin menurun dalam beberapa tahun terakhir. Penundaan produksi film juga akan membuat teater bioskop tidak punya cukup banyak film baru yang akan diputar. 

Jadi, apakah memang sebegitu pentingnya kita menonton film di bioskop, di tengah pandemi yang justru sedang menunjukkan angka pasien positif yang tertinggi seperti sekarang ini? 

Kita sering membaca soal kaitan konsumsi teratur obat dan jejamuan Ayurveda dan jejamuan Cina dengan peningkatan imunitas. Ini lebih dapat dipercaya karena disertai penelitian. Bahagia juga tentu mendorong perbaikan imunitas.

Namun, bila secara spesifik bahagia itu dikaitkan dengan menonton bioskop seperti pernyataan Wiku Adisasmito, juru bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 tentu ini sangat menggelitik dan menguji logika kita.

Apakah bahagia hanya ditempuh dengan menonton film di bisokop, juga, benarkah virus tidak memilih orang yang bahagia? 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun