Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rasionalisasi Krisis Ekonomi akibat Covid-19 dan Pelemahan Demokrasi

28 Mei 2020   06:00 Diperbarui: 28 Mei 2020   19:12 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Melemahnya Demokrasi karena COVID-19 (DW.com)

Pandemi dan Terdeviasinya Proses Demokrasi di Dunia.

Pengalaman menunjukkan bahwa pandemi mengancam demokrasi. Pada serangan pandemi Influenza Spanyol yang membawa korban sepertiga penduduk dunia dan menelan 675.000 orang meninggal di Amerika, beberapa pemerintah negara bagian Amerika memutuskan penundaan pemilu.

Sumber : CBS News.
Sumber : CBS News.
Kita memahami bahwa proses pemilu memang jadi sulit dilakukan pada masa pandemi. The Netherland Institute for Multi-party Democracy (NIMD) mengemukakan beberapa tantangan.

Pertama, kesulitan mengadakan kampanye. Kampanye yang intensif akan mendorong terjadinya peyebaran virus. Juga, karena ketergantungan pada basis internet, maka kampanye tidak menyentuh anggota masyarakat yang miskin.

Kedua, kunjungan dari rumah ke rumah tidak dapat dilakukan karena akan memicu risiko penularan.

Ketiga, pembangunan dan penyiapan kotak suara dan tempat pemungutan suara yang membutuhkan tenaga kerja menjadi sulit dilakukan. Nantinya, pelaksanaan pemilu juga sulit. Apakah panitian pemilu menyediakan hand sanitizer.

Dan keempat, panitia pemilu yang sibuk tidak dapat melakukan tugas dengan optimal karena pembatasan pertemuan dan interaksi antar anggota tim.

Suatu kajian pemilu di masa pandemi di Pikes Peak Community College di Colorado Spring, Amerika menemukan bahwa pada pemilu tahun 1918, Presiden Woodrow Wilson memperjuangkan di Kongres untuk dizinkannya adanya kotak suara yang terbuka pada pemilu saat itu. Juga, di tahun 1918 "incumbent" mendapat kritik karena meninggalkan Washington untuk kampanye. Padahal saat itu terdapat keputusan penting terkait pandemi yang harus dibuat.

Hal yang menarik, baik Influenza Spanyol dan Covid-19 yang meminta masyarakat melakukan "physical distancing" atau jaga jarak, melakukan penutupan bisnis, menggunakan masker dan mencuci tangan punya implikasi serupa pada proses demokrasi.

Di Amerika, di masa pandemi Covid-19, setidaknya terdapat lima negara bagian membuat keputusan lokal terkait pemilu di tingkat awal. Kemudian, menyusul Wisconsin dan Pennsylvania yang mempertimbangkan hal serupa. Negara bagian di Konggres membutuskan kotak suara yang terbuka (nytimes.com, 21 Maret 2020).

Rupanya, kebijakan "Work From Home" yang meminta masyarakat tinggal dan bekerja di rumah dimaknai beberapa pihak sebagai sikap "diam" dan "setuju" pada kebijakan apapun yang sedang dibuat. Ini seperti yang terjadi di Amerika. Masyarakat dianggap diam ketika terdapat perdebatan politis di Konggres membincang suatu kebijakan yang kontroversial. 

Beberapa waktu yang lalu, Gubernur Ohio dan Kepala Departemen Kesehatan negara bagiannya tidak peduli pada keputusan Kongres yang dilakukan sebelumnya dan malah mendeklarasikan adanya status darurat kesehatan publik. Mereka berargumentasi bahwa pemilih yang berada di kotak suara adalah berbahaya. (nytimes.com, 21 Maret 2020).

Yang menarik, meski antara pandemi Influenza Spanyol dan Covid-19 terpaut waktu seabad, isu yang muncul dalam konteks proses politik masih juga sama. 

Penyebaran virus yang harus dicegah melalui jaga jarak bisa jadi kekhawatiran, dan pada saat yang sama bisa digunakan jadi alasan yang menyebabkan proses demokrasi dianggap yang cacat. Hal serupa terjadi, meskipun teknologi berubah jauh pada dua waktu pandemi yang berbeda.

Di Amerika Latin, termasuk di Colombia, kekuasaan banyak presiden makin kuat karena status negara yang dalam kedaruratan, yang di tengahi dengan krisis global. Dan lemahnya parlemen membawa dampak pada demokrasi yang melemah dan bahkan menuju pada authoritarian.

Krisis Ekonomi dan Melemahnya Demokrasi
Krisis ekonomi membayangi hampir semua negara. Reaksi banyak negara pun juga banyak berfokus pada persoalan krisis ekonomi. Ini menyebabkan persoalan perubahan iklim seakan menjadi kalah penting. 

Rupanya titik tolak pada isu krisis ekonomilah yang hampir selalu menjadi pendorong melemahnya proses demokrasi di banyak negara.

Di Alberta, anggota negara federasi Kanada, menteri energinya mengatakan “it’s a good time to build a pipeline because public-health restrictions limit protests against them”, yang terjemahan bebasnya adalah “ini adalah waktu yang tepat untuk membangun pipa minyak karena kebijakan phyisical distancing karena alasan kesehatan membatasi masyararakat untuk protes”. 

Ia menambahkan bahwa pembangunan bisa dilakukan karena orang tidak bisa berkumpul lebih dari 15 orang. Wartawan yang hadir tertawa karena mengira sang menteri bergurau.

Pernyataan dari Sonya Savage di depan the Canadian Association of Oilwell Drilling Contractors menjadi menarik, mengingat Kanada adalah salah satu negara yang sangat mempertimbangkan energi hijau dan lingkungannya. Juga Kanada dikenal sebagai salah satu negara yang paling demokratis. Dan pernyataan Savage dikritik oleh kelompok dan organisasi masyarakat di Kanada karena protes yang sesuai hukum adalah legal. Mereka berpendapat pembatasan fisik tidak menguntungkan siapapun. (theglobeandmail.com).

Di Hongkong, masyarakat berdemo karena pemerintah Cina diam diam menerapkan Undang Undang-undang ekstradisi yang pernah menjadi bagian dari demo masyarakat pada September tahun yang lalu. Juga pemerintah Cina mengumumkan akan memobilisasi pasukan keamaan di Hongkong. 

Pada saat demonstrasi berlangsung, petugas keamanan Hongkong mengenakan perlengkapan anti terorisme. Sampai sampai, para demonstran meneriakinya “Be Hongkonger" atau jadilah orang Hongkong, Ini tentu menimbulkan pertanyaan terkait sikap represif pasukan kemanan yang menertibkan demonstran. (theguardian.com, 27 Mei 2020). 

Di antara para demonstran terdapat mantan anggota parlemen, Leung Kwok-hung yang mengatakan bahwa masyarakat pro demokrasi tentu akan melakukan demonstrasi. Tetapi sikap petugas keamanaan yang represif membuat demonstran bubar. Apalagi petugas menyemprotkan gas air mata.

Covid-19 Melemahkan Masyarakat Sipil Indonesia ?

Persis pada 20 Mei 2020 yang lalu, kita telah Lalu, kita telah melewati masa reformasi selama 22 tahun. Ancaman demokrasi berbeda pada masa itu dengan saat ini. Namun, beberapa kekuatiran anggota masyarakat terkait makin terdesaknya pemerintah dalam menghadapi krisis ekonomi bisa mendorong negara untuk mengarah pada sikap authoritarian.

The Jakarta Post menulis bahwa pada akhir April 2020, peneliti mandiri, Ravio Patra disebutkan ditangkap dan dibawa ke kantor Polisi karena mengkritik pemerintah dalam penanganan Covid-19 (thejakartapost,co., 20 Mei 2020). Juga, dituliskan bahwa melalui Peraturan Pemerintah 17/2020 pada pengelolaan PNS, Presiden memiliki kekuasaan penuh untuk mempromosikan, memindahkan atau memecat PNS yang menunjukkan upaya mengembalikan kekuasaan Presiden menjadi lebih besar.

Pada tulisan saya sebelumnya, saya telah mencatat beberapa proses demokrasi yang tercederai kesibukan masyarakat karena bahaya pandemi. Dalam hal ini masyarakat adalah bagian dari masyarakat madani. Ini menjadi cukup menyolok pada peristiwa disahkannya Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Terbatasnya, atau tiadanya proses demokrasi yang memadai menyebabkan Undang Undang itu lebih ditujukan untuk memberi perlindungan kepada keberlangsungan perusahaan pertambangan. Sementara itu, masyarakat akan rugi karena pertambangan yang dipertahankan atau diperluas akan mendorong deforestasi. Ini juga akan mengancam kehidupan binatang liar, yang menyebabkan makin banyaknya kasus penyakit, termasuk Malaria yang ada di wilayah tambang. 

Undang Undang tersebut tidak menetapkan batas operasi perusahaan pertambangan. Yang lebih parah, Undang Undang itu menghapus pasal adanya hukuman pidana pada koruptor dan pelanggar aturan. Yan menyedihkan, Undang Undang itu disusun dengan terburu buru di tengah pandemik dan dilakukan dengan proses yang tidak melibatkan partisipasi publik. Ketua WALHI Nasional menyayangkan bahwa Undang Undang tersebut hanya melindungi kepentingan perusahaan tambang tanpa meminta perusahaan menjalankan tanggung jawabnya menutup lubang lubang tambang yang ada” (Mongabay.co.id, 13 Mei 2020).

Baru baru ini Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah akan menempatkan TNI dan Polri di lapangan untuk mendisiplinkan masyarakat. Jokowi yakin, dengan pendisiplinan itu, kurva kasus virus Corona di Indonesia akan semakin menurun (Detik.com 26/5/2020). Pak Jokowi menambahkan “Akan digelar di 4 provinsi dan 25 kabupaten kota mulai hari ini sehingga kita harapkan kedisiplinan kuat dari masyarakat akan semakin terjaga,"

Dari sisi kesejarahan demokrasi di Indonesia, terdapat istilah yang sensitif untuk dipergunakan, misalnya "mendisiplinkan secara massive" yang dianggap punya potensi represif. 

Sayangnya keberhasilan Cina dan Vietnam mengendalikan pandemi dimaknai dengan aspek represif dari penjagaan polisi dan militer dan bukan pada pengelolaan bencana yang mungkin Indonesia memang perlu belajar.

Adalah menyedihkan bila pada akhirnya, demokrasi kita mengendor bukan karena proses dan dinamika politik yang kencang, melainkan oleh penggunaan alasan krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, yang mendorong pemerintah menjadi makin autoritarian.

Memang sistem di Indonesia berbeda dengan di Belanda yang terdapat multi-partai yang pro demokrasi. Namun, semestinya, dialog di antara partai dan antara partai dengan masyarakat sipil menjadi kritikal untuk secara bersama sama melakukan tanggap bencana Covid-19 dengan tetap menghargai demokrasi.

Peran DPR dan masyarakat sipil untuk memantau tanggap bencana Covid-19 mestinya sangat dibutuhkan, dan bukan malah sebaliknya. Bagaimana kualitas pemberian subsidi dan bantuan sosial agar diterima anggota masyarakat yang tepat sangatlah penting.

DPR dan masyarakat sipil semestinya juga bisa memikirkan nasib masyarakat miskin dan rentan. Bagaimana sektor kesehatan mencukupi ketersediaan APD. Bagaimana akses masyarakat miskin dan rentan pada sarana dan prasarana untuk melindungi diri mereka sebagai warga negara dari Covid-19 belumlah adil. 

Banyak persoalan yang semestinya menjadi perbincangan DPR dan juga organisasi masyarakat sipil. Bagaimana dampak Covid-19 yang berbeda kepada kelompok perempuan dibandingkan dengan laki laki. Bagaimana anggota masyarakat, dan juga anak sekolah yang tidak bisa mengakses air bersih. 

Partisipasi publik pada saat pandemi tentu malah diharapakan untuk bisa membuat perubahan. Partisipasi publik juga sangat diharapkan pada promosi kesehatan dalam rangka menyikapi Covid-19. Apalagi promosi kesehatan kita selama ini memang kurang kuat. Sayangnya, kita dihadapkan pada situasi yang malah menunjukkan kelemahan dan pelemahan masyarakat sipil itu sendiri. 

Makin lemahnya masyarakat sipil di Indonesia telah saya tulis di artikel Kompasiana di tahun 2019 pada artikel ini. Banyak yang menyebabkannya, di antaranya lemahnya dukungan lembaga donor untuk memfasilitasi kegiatan dan operasional lembaga masyarakat sipil, terpecahnya masyarakat sipil sebagai akibat dampak ikutan dari runcingnya Pemilu 2014 dan 2019, dan makin banyaknya aktivis dari kalangan masyarakat sipil yang mengisi kursi di DPR, di samping makin banyaknya aktivis anggota masyarakat sipil yang memilih untuk menjadi "buzzer" pemerintah ataupun tokoh pimpinan lembaga negara. Tentu saja, persoalan 'persaingan' politik dari siapapun yang berkuasa dan dengan 'bayangan' politik 2024 memperburuk situasi. Saling melempar 'serangan' pada upaya pengendalian COVID-19 menjadi 'persaingan' yang tidak lagi waras. Terutama dari kalangan para pendukung 'buzzer' kubu. Itu tentu pilihan, meski membawa biaya besar pada proses demokrasi kita. Dan, kali ini juga biaya besar bagi upaya pengendalian COVID-19. 

Munculnya 'buzzer' sering menciutkan suara yang mewakili kritik kepada pemerintah di tingkat apapun (nasional, provinsi, dan mungkin kabupaten) menjadi sangat melelahkan.  Selain "buzzer" menuliskan semua kebaikan atas kebijakan apapun yang dilahirkan pemerintah, dilaporkan pula adanya "serangan" oleh "buzzer" pada kelompok yang berani memberikan kirik. Apakah memang demokrasi dan keberadaan masyarakat sipil Indonesia telah menjadi korban pertama dari Covid-19 ini? Entahlah...

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun