Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rasionalisasi Krisis Ekonomi akibat Covid-19 dan Pelemahan Demokrasi

28 Mei 2020   06:00 Diperbarui: 28 Mei 2020   19:12 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Melemahnya Demokrasi karena COVID-19 (DW.com)

Memang sistem di Indonesia berbeda dengan di Belanda yang terdapat multi-partai yang pro demokrasi. Namun, semestinya, dialog di antara partai dan antara partai dengan masyarakat sipil menjadi kritikal untuk secara bersama sama melakukan tanggap bencana Covid-19 dengan tetap menghargai demokrasi.

Peran DPR dan masyarakat sipil untuk memantau tanggap bencana Covid-19 mestinya sangat dibutuhkan, dan bukan malah sebaliknya. Bagaimana kualitas pemberian subsidi dan bantuan sosial agar diterima anggota masyarakat yang tepat sangatlah penting.

DPR dan masyarakat sipil semestinya juga bisa memikirkan nasib masyarakat miskin dan rentan. Bagaimana sektor kesehatan mencukupi ketersediaan APD. Bagaimana akses masyarakat miskin dan rentan pada sarana dan prasarana untuk melindungi diri mereka sebagai warga negara dari Covid-19 belumlah adil. 

Banyak persoalan yang semestinya menjadi perbincangan DPR dan juga organisasi masyarakat sipil. Bagaimana dampak Covid-19 yang berbeda kepada kelompok perempuan dibandingkan dengan laki laki. Bagaimana anggota masyarakat, dan juga anak sekolah yang tidak bisa mengakses air bersih. 

Partisipasi publik pada saat pandemi tentu malah diharapakan untuk bisa membuat perubahan. Partisipasi publik juga sangat diharapkan pada promosi kesehatan dalam rangka menyikapi Covid-19. Apalagi promosi kesehatan kita selama ini memang kurang kuat. Sayangnya, kita dihadapkan pada situasi yang malah menunjukkan kelemahan dan pelemahan masyarakat sipil itu sendiri. 

Makin lemahnya masyarakat sipil di Indonesia telah saya tulis di artikel Kompasiana di tahun 2019 pada artikel ini. Banyak yang menyebabkannya, di antaranya lemahnya dukungan lembaga donor untuk memfasilitasi kegiatan dan operasional lembaga masyarakat sipil, terpecahnya masyarakat sipil sebagai akibat dampak ikutan dari runcingnya Pemilu 2014 dan 2019, dan makin banyaknya aktivis dari kalangan masyarakat sipil yang mengisi kursi di DPR, di samping makin banyaknya aktivis anggota masyarakat sipil yang memilih untuk menjadi "buzzer" pemerintah ataupun tokoh pimpinan lembaga negara. Tentu saja, persoalan 'persaingan' politik dari siapapun yang berkuasa dan dengan 'bayangan' politik 2024 memperburuk situasi. Saling melempar 'serangan' pada upaya pengendalian COVID-19 menjadi 'persaingan' yang tidak lagi waras. Terutama dari kalangan para pendukung 'buzzer' kubu. Itu tentu pilihan, meski membawa biaya besar pada proses demokrasi kita. Dan, kali ini juga biaya besar bagi upaya pengendalian COVID-19. 

Munculnya 'buzzer' sering menciutkan suara yang mewakili kritik kepada pemerintah di tingkat apapun (nasional, provinsi, dan mungkin kabupaten) menjadi sangat melelahkan.  Selain "buzzer" menuliskan semua kebaikan atas kebijakan apapun yang dilahirkan pemerintah, dilaporkan pula adanya "serangan" oleh "buzzer" pada kelompok yang berani memberikan kirik. Apakah memang demokrasi dan keberadaan masyarakat sipil Indonesia telah menjadi korban pertama dari Covid-19 ini? Entahlah...

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun