Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Protokol COVID-19 bagi Jamu Gendong: Suatu Model Normal Baru

13 Mei 2020   09:00 Diperbarui: 14 Mei 2020   21:21 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbak Susy Ibu Jamu Gendong EMPU ( Foto : Susi Didit)

Jamu di Masa COVID-19

Kemarin adalah pagi yang sungguh menggairahkan. Saya mengadakan 'video call' dengan bu Ngainah, Ibu Jamu sederhana yang tinggal di Kroyo, Karang Malang, Sragen, Jateng. Apalagi ada mbak Theresia Eko yang ada di saluran 'video call' pula. 

Dengan berpakaian topi Dayak yang "didandani" oleh mbak Eko, Bu Ngainah tampak menarik sekali. Wajahnya memang mirip ibu-ibu Dayak yang berkulit kuning. 

Ini merupakan kejutan pagi yang seru. Ini bisa dipahami karena Mbak EKo cukup lama bekerja untuk masyarakat Long Pahangai dan Long Apari di Mahakam Hulu ketika Mbak Eko membantu untuk melestarikan motif adat Dayak dan mengembangkannya menjadi batik dengan menggunakan pewarna alam lokal. 

Mbak Eko juga saya kenal sebagai auditor sertifikasi produk organik, termasuk di antaranya gula kelapa. Ini membuat banyak hal nyambung ketika kami ngobrol. Yang jelas, mbak Eko adalah pribadi pantang menyerah. Ia akan kejar sesuatu sampai dapat.

Tentang Ibu Ngainah yang berusia 52 tahun, ia telah memulai bisnis jamu sejak 10 tahun yang lalu. Ini ia lakukan untuk membantu suaminya yang bekerja sebagai tukang beca. Memiliki lima orang anak tentu berat. Saat ini mereka memiliki 5 orang anak dan 7 cucu.

Sejak Covid-19 melanda Indonesia, bu Ngainah popular karena menjual "Jamu Corona" yang terbuat dari empon empon, antara lain kunyit, jahe merah, sereh, temulawak, kayu manis dan gula batu. 

Ini dipercaya masyarakat meningkatkan imunitas. Bu Ngainag mengatakan bahwa setiap hari, minimal terdapat sekitar 20 orang pelanggan selalu ia kirimi jamu di rumahnya. Itu tentu menyenangkan bagi bu Ngainah. Sementara banyak bisnis gulung tikar di masa COVID-19, jamunya tetap laris.

Memang, sejak wabah COVID-19 merebak, segala produk, obat dan jejamuan serta beberapa jenis makanan diklaim dapat mencegah dan menyembuhkan COVID-19. 

Hal ini seperti ini tentu hal yang wajar muncul. Bagaimanapun, masyarakat ingin berpegangan pada harapan untuk tidak terserang virus Corona yang masih dianggap misterius ini.

Masyarakat berharap banyak pada jamu, termasuk jamu gendong sebagai anti Corona. Tak heran bila diberitakan bahwa dagangan Ibu Jamu Gendong bernama Ibu Diana di Malang laris manis. 

Usahanya yang pernah mendapat suntikan dana dari Bank BRI di tahun 2018 telah menjadi lebih besar. Produk andalannya, Jamu instan Jahe Empritnya dipesan banyak orang. Masyarakat percaya bahwa jahe instan adalah minuman herbal yang dapat menghangatkan tubuh. Penjualan jamunyapun ia kelola dengan cara online. (Liputan6.com, 16 April 2020).

Rupanya Ibu Diana bukan hanya berjualan jamu saja, tetapi ia juga mensosialisasikan manfaat jamu dan memberi pelatihan kepada Ibu-ibu tentang bagaimana membuat jamu.

DI Madiun, Jawa Timur, diberitakan pula bahwa seorang penjual jamu, Oktavia Purnawati di Kelurahan Mojorejo, Kecamatan Taman, Kota Madiun yang biasanya bisa menjual 50 botol perhari lalu meningkat menjual 100 botol per hari. Bu Wati memanfaatkan jahe, kunyit dan temulawak sebagai bahan baku jamunya karena bahan bahan itu dipercaya mampu meningkatkan imunitas tubuh. (today.line.me).

Di Tangerang, Ibu Sariyem atau juga disebut Ibu Hajjah Azizia setelah naik hajinya adalah seorang ibu Jamu yang telah berjualan jamu lebih dari dua puluh tahun. Jamunya telah menghantarkan anak anaknya untuk bersekolah di perguruan tinggi.

Ia punya cerita menarik. Ia memiliki langganan setia, dan untuk itu, ia juga terus mengembangkan usahanya.

Selain telah mengganti gendongan jamunya dengan gerobak, yang tentu mengurangi beban di punggungnya, Ibu Hajjah Aziziah juga menjalankan bisnis jamunya secara online. Sayapun beruntung telah merasakan kunyit asam yang beliau antar melalui gosend.

Ibu Hajjah Aziziapun menginformasikan bahwa beliau telah sering mengikuti beberapa pelatihan yang diselenggarakan oleh BPOM. Ia, misalnya, memahami mengapa perlu menggunakan panci stainless steel untuk memasak jamu. 

Iapun memahami pentingnya kebersihan dalam persiapan dan proses memasak Jamu. "Saya bikinnya ngga banyak, bu, jadi setok sedikit sekiranya mau habis bikin bisa tiap hari. Ya karena online juga ya nyetok tapi gak banyak karena kebanyakan pelanggan pengen jamunya anget. Kalau saya harus ngangetin rugi di gas nya, bu". Betul juga sih.

Namun, tidak semua Ibu Jamu adalah seperti Ibu Ngainah, Ibu Diana dan Ibu Hajjah Azizia. Banyak ibu Jamu yang mudik lebih cepat dari yang lain karena masyarakat juga takut ketularan covid19 dan karena keluarganyapun mudik.

Mbak Titik, Ibu Jamu yang beroperasi di komplek Bumi Makmur di Bekasi mengatakan bahwa ia tidak semangat. Ia tak bisa mudik. Namun, untuk berbisnis juga sulit, meski ada beberapa pelanggan yang masih menanyakan jamu jahe emprit dan juga kunir asem. 

Penutupan portal di mana mana sebagai bagian dari 'lock down' lokal di lingkungan kampungn membuat ia kelelahan untuk berjualan karena ia harus berputar kompleks untuk mengantar jamu ke rumah langganan. Itu menghabiskan enerjinya.

Jamu Gendong dan Tradisi Indonesia 

Di Indonesia, Jamu bukan hanya ada di jawa. Terdapat berbagai jamu di seluruh wilayah Indonesia yang menggambarkan keragaman hayati Indonesia. Namun demikian, tulisan ini hanya terbatas melihat Jamu Gendong.

Jamu gendong adalah tradisi. Tradisi ini bukan hanya pada ramuan jamunya. Tetapi juga cara membawanya yang digendong. Tradisi juga ada pada prosesnya yang mengolah empon empon dengan cara manual, empon empon dirajang dan diperas dengan tangan "Saya tidak bisa merasakan sari patinya bila saya gunakan kaos tangan", begitu kilang seorang ibu Jamu di kawasan perumahan Bumi Makmur di Bekasi. 

Sementara, ibu jamu lain sudah menggiling empon-empon dengan blender dan langsung menyaringnya. Tradisi bahkan ada pada urutan meminumnya. Biasanya diawali dengan jamu pahit. Lalu disusul dengan jamu manisnya untuk mengobati pahitnya.

Bu Jamu biasanya menggendong jamunya, sehingga sering disebut Jamu Gendong. Dalam gendongan biasanya terdapat sekitar 7 sampai 9 botol jamu. 

Bahkan, di beberapa daerah, jumlah botol dianggap punya makna. Bila jumlah botol 7 maka tandanya si penjual jamu adalah lajang. Bila jumlahnya 8 maka ia menikah. 

Sementara bila 9 botol maka artinya penjual jamu adalah janda. Saya kira itu adalah lebih dari guyonan laki laki dengan imajinasi imajinasnya. Lihat saja viralnya mbak Jamu yang disebut cantik dan muda. 

Netizenpun kemudian menjadikan viralnya si Mbak Jamu sebagai 'hiburan'. Naun, ini tidak membuat Jamu menjadi lebih posisinya. Bahkan, mungkin justru pelecehan kepada si Mbak Jamu yang terjadi.

Tradisi lain adalah bakul Jamu biasanya membawa seember kecil air untuk mencuci gelas gelasnya. Banyak kalangan kemudian mempertanyakan kebersihan dari mencuci gelas jamu yang hanya dilakukan dengan air seadanya yang ada di dalam ember kecil yang dibawa Ibu Jamu.

Bakul Jamu atau Ibu Jamu yang notabene peramu jamu dan sekaligus pedagang jamu ini bisa dikatakan sebagai seorang ahli. Menu utama yang dibuat ibu Jamu yang antara lain terdiri dari delapan jenis jamu, yaitu kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup/gepyokan dan sinom adalah sudah menjadi keharusan tradisi. Kesemuanya dipercaya bermanfaat untuk menjaga kebugaran.

Dalam sejarah jamu gendong, dahulu pedagang membuat delapan jenis jamu berupa: kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup/gepyokan dan sinom. 

Sesuai urutan, jamu mengandung filosofi sebagai siklus kehidupan manusia yang diawali dari rasa manis-asam, selanjutnya sedikit rasa pedas-hangat, beralih menjadi rasa pedas, kemudian merasakan pahit, beralih ke rasa tawar dan akhirnya kembali menjadi manis. 

Jumlah botol pun sebagai pertanda status pedagang. Lima atau tujuh botol menandakan gadis, 8 sudah menikah, dan 9 menandakan tidak bersuami. Sekarang kriteria tersebut tidak berlaku pada komunitas jamu.

Dalam sejarah jamu gendong, ibu Jamu menyajikan jamu sesuai urutan. Jamu dimulai dengan jamu yang rasanya manis asam, lalu pedas hangat, dan selanjutnya rasa pahit ke rasa yang lebih tawar dan ditutup dengan manis. Jumlah botol pun sebagai pertanda status pedagang. Lima atau tujuh botol menandakan gadis, 8 sudah menikah, dan 9 menandakan tidak bersuami. 

Sekarang kriteria tersebut tentu tidak berlaku di komunitas jamu. Jumlah botol jamu yang dijual lebih bergantung pada kemampuan Ibu Jamu untuk mengendong atau jumlah pelanggan yang memesan jamunya. Jenis transportasi misalnya sepeda, gerobak atau sepeda motor dapat membawa lebih banyak botol.

Meski pemerintah memberi apresiasi pada keberadaan Ibu Jamu, yang antara lain dipresentasikan melalui Permenkes Republik Indonesia No. 006 Tahun 2012 yang mendefinisikan Usaha Jamu Gendong (UJG) sebagai "Usaha yang dilakukan oleh perseorangan dengan menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan dijajakan langsung kepada konsumen", dianggap mendukung peningkatan dan pemeliharaan kesehatan keluarga.

Upaya yang lebih serius untuk mendukung Usaha Jamu Gendong belum dilakukan dengan serius. Ini sayang sekali.

Saintifikasi Jamu Gendong yang Kedodoran

Telah ada upaya pemerintah Indonesia di masa Presiden SBY untuk menjadikan Jamu Indonesia, termasuk Jamu Gendong sebagai bagian dari warisan budaya dengan mendaftarkannya ke UNESCO. Sayangnya, bahkan setelah satu dekade, Jamu tetap belum menjadi bagian dari warisan budaya yang diakui oleh UNESCO.

Pengetahuan masyarakat umum dan juga masyarakat dunia terkait manfaat Jamu serta citra Jamu, khususnya Jamu Gendong seakan mandeg. Memang sayang sekali bila isu higienitas saja yang mengemuka ketika kita bicara soal Jamu, dalam hal ini Jamu Gendong. Namun ini adalah realita yang ada di depan mata.

Upaya pemerintah untuk mensaintifikasi jamu yang dimulai pada tahun 2010 juga tidak berlanjut.

Memang, upaya pengembangan obat tradisional dan jamu di Indonesia berbeda dengan situasi di Cina. Di Cina, pengobatan Cina memang diakui oleh pemerintah. Penelitian atas upaya mereka juga berkelanjutan. Sekolahpun terdapat pula jurusan pendidikan 'Chinese Medicine".

Kementrian Kesehatan dan Kementrian Inovasi dan Teknologi Ethiopia juga mengembangkan pengobatan tradisional untuk membangun imunitas warganya dalam menghadapi COVID-19.

Menjadi menarik ketika kita mendengar aduan asosiasi Jamu Indonesia yang mengeluhkan Gugus Tugas COVID-19 Indonesia yang justru mengimpor jamu dari Cina dan tidak memanfaatkan Jamu Indonesia. Memang isunya kompleks sekaligus menarik. Kita tidak akan memperpanjang dengan pertanyaan mengapa dan lain lain.

Namun ada isu yang sering naik ke permukaan terkait sainstifikasi jamu yang tidak terurus. Studi "The scientification of jamu: a study of Indonesian's traditional medicine" oleh W Sumarni*, S Sudarmin and S S Sumarti dari Fakultas Tehnik Kimia, Matematik dan Ilmu Alam, Universitas Negeri Semarang melakukan riset terkait saintifikasi dari pengobatan tradisonal, termasuk penggunaan jamu memainkan peran penting dalam memelihara dan mengobati penyakut. 

Ini sudah terjadi sejak jaman dulu. Penggunaan obat tradisional dalam bentuk Jamu sudah menjadi bagian dari sejarah neneok moyang. Bahkan, di dinding candi Borobudur, pembuatan obat tradisional dan jamu tertera di sana. Artinya, Jamu sudah jadi bagian dari kehidupan kita sejak lama.

Riset itu juga menggarisbawahi jenis empon empon yang dipercaya memiliki khasiat pengobatan di samping jenis jenis jamu, seperti Jamu Kunir Asem, jamu Beras Kencur, Jamu Paitan, Jamu Godhong Kates, jamu Cabe Puyang, dan Jamu Temu Lawak merupakan menu utama Jamu Gendong. 

Campuran asam, kapulogo, beras, biji kedawung, temu kunci, jeruk, kapulaga, dan pala adalah menjadi bagian dari pengetahuan asli pengobatan herbal Jamu. 

Sayang sekali proses saintifikasi dari jamu hampir tidak pernah tuntas terkait manfaat, teknologinya, komposisi, proses pembuatan serta serta kualitas yang disyaratkan untuk efektivitasnya sebagai sistem pengobatan.

Riset inipun sebetulnya hanya menggunakan sampel yang tidak terlalu besar, yaitu lima Ibu Jamu di beberapa wilayah di Semarang. Riset menunjukkan bahwa terdapat lima jenis jamu yang ada di semua Ibu Jamu, yaitu beras kencur, kunir asem, paitan, gulaasem dan temulawak. Sementara, lainnya dibuat atas pesanan.

Ilmu jamu yang Ibu Jamu dalam sampel pada umumnya dapatkan dari orang tua mereka. Misalnya, untuk pahitan mau bahannya adalah Sambiloto, Brotowali, Widorolaut, Doroputih, Babakan Pule, Adas dan Empon empon lain. Dan, tidak lupa gula merah dan putih menjadi bagian dari bahan jamu.

Untuk gula asem maka dipergunakan Sinom atau daun asam muda, Jahe, Kedawung, dan Jeruk. Tentu saja tidak lupa campuran gula merah dan gula pasri serta garam. .

Sementara itu, untuk pahitan daun Pepaya serta Temu Ireng dan Adas Pulo Waras serta garam dipergunakan.

Jamu Temulawak terdiri dari Jahe, Kencur, Asem Kawak, Gula Kelapa, Daun Pandan, dan Temulawak, tentu saja.

Jamu Kunci Suruh terdiri dari Temu Kunci dan Daun Sirih yang ditambah dengan Asam Kawak. Beberapa tukang Jamu menambahkan Jambe, kayu manis, beluntas dan kencur. Gula kelapa dan gula pasir serta garam masih dibubuhkan.

Studi untuk menunjukkan bahwa secara saintifik menunjukkan bahwa memang bahan bahan yang dipergunakan dalam pembuatan Jamu Gendong memang punya manfaat untuk kesehatan. 

Penggunaan jahe, asam dan gula kelapa serta daun pandan, misalnya bisa mengurangi sakit kepala dan mual serta mengurangi inflamasi. Sementara Jamu Cabe Lempunyang mengurangi rasa lelah, mencegah flue, dan meningkatkan enerji serta meningkatkan nafus makan. Tentus saja meminum Jamu jadi menyegarkan.

Namun demikian, kekuatiran akan punahnya Jamu, khususnya Bu Jamu meningkat. Selain karena banyaknya pilihan obat-obatan, ada pula ancaman bahwa Jamu dicampur dengan materi kimia yang berpotensi mengganggu kesehatan. Juga, kekuatiran akan adanya bakteri koli pada Jamu Gendong ditemukan beberapa penelitian. 

Sayangnya, berbagai penelitian masih terbatas pada penelitian untuk pemenuhan gelar kesarjanaan dan gelar magister sehingga jumlah sampel pada umumnya terbatas. Beberapa penelitan bahkan hanya menggunakan tiga sampai lima sampel.

Jamu Gendong dan Protokol COVID-19

Dengan realitas pada potensi hilangnya kepercayaan masyarakat pada kebersihan Jamu Gendong, adalah menjadi realistis kita praktekkan Protokol COVID-19 dalam proses persiapan, produksi, pengemasan sampai dengan penjualan Jamu Gendong.

DI sisi lain, begitu banyak wira usaha baru bermunculan untuk memproduksi apa yang diproduksi Ibu Jamu. Sebut saja Suwe Ora Jamu, suatu kafe kopi dan jamu. 

Kafe ini sangat cerdas. Bukan hanya jamu yang dapat dinikmati di kafe tetapi juga cerita tentang jamu ada di sana. Kita tentu harus merespons secara positif adanya perkembangan baru ini.

Wirausaha baru yang bermunculan, sayangnya tidak diikuti dengan makin baiknya posisi Ibu Jamu Gendong kita. Ini tentu mengkhawatirkan.

EMPU, suatu Komunitas Serat, Kain, dan Fesyen Berkelanjutan melakukan beberapa intervensi untuk tanggap bencana wabah COVID-19, baik dalam menggalakkan #mask4all atau #maskeruntuksemua, penyediaan APD bagi tenaga kesehatan (nakes) di wilayah yang rentan COVID-19 tetapi sulit akses, sampai kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat perkotaan miskin, dan pendorong dipraktekkannya Protokol COVID-19 bagi Ibu Jamu Gendong. 

Di bawah ini adalah Protokol COVID-19 bagi Ibu Jamu yang kami praktekkan bersama beberapa Ibu jamu yang masih beroperasi.

Jamu Empro Praktekkan Protokol-19 ( EMPU)
Jamu Empro Praktekkan Protokol-19 ( EMPU)
Mempraktekkan Protokol COVID-19 pada siklus produksi Jamu Gendong memang membutuhkan kesabaran dan yang terpenting, praktek dan disertai mentoring karena tidak semua Ibu Jamu memahami secara mudah mengapa praktek ini dibutuhkan.

Untuk itu, EMPU menggandeng para pelanggan jamu gendong. Pelanggan ini dapat menjadi mitra Ibu Jamu untuk mengingatkan protokol, memantau praktek protokol, dan juga memantau kualitas dan kebersihan kerja Ibu Jamu.

Masing-masing Ibu Jamu Gendong peserta program EMPU mendapatkan 10 masker, 12 boyol kaca, kaos tangan, dan uang paket internet. Juga ibu jamu menerima beberapa bibit dan biji tanaman untuk kebun kota di halaman masing masing. 

Mbak Susy Ibu Jamu Gendong EMPU ( Foto : Susi Didit)
Mbak Susy Ibu Jamu Gendong EMPU ( Foto : Susi Didit)
Misalnya Ibu Ngainah, yang merupakan salah satu peserta program Ibu Jamu EMPU, selain mempraktekkan Protokol COVID-19, Ibu Ngainah juga perlu memahami bahwa program ini bukan untuk mempromosikan keampuhan apa yang masyarakat atau banyak ibu jamu menyebutnya sebagai jamu Corona.

Melalui program itu, ibu Jamu hendak mempraktekkan Protokol Covid-19 agar Ibu Jamu seperti bu Ngainah, Ibu Hajjah Azizia dan mbak Susi aman ketika menjual jamu. Pembeli aman. Ibu Jamu juga aman.

Ketika membincang soal perlunya menjaga jarak di pasar dan mencuci empon empon yang dibeli di pasar, bu Ngainah menjawab lancar "Setiap pulang dari pasar, semua empon empon saya cuci, rendam dan jemur sampai agak kering. Itu cukup untuk membunuh kuman".

Bu Ngainah mengatakan bahwa jamunya tidak direbus dengan panci tapi kuali tanah. Ini atas petunjuk trainer di suatu pelatihan yang diadakan Pemda Sragen.

Suatu saat tentu kami boleh juga mendiskusikan opsi, misalnya gunakan panci stainless steel. Merebus Jamu dengan kuali tanah adalah baik, selama Ibu Jamu menjaga agar tidak tumbuh jamur dan bakteri pada kuali yang telah dipakai untuk merebus jamu.

Soal air mencuci gelas jamu juga menjadi bagian diskusi. Selama ini bu Ngainah menawarkan jamuya dengan sepeda dan semua jamu sudah dimasukkan ke dalam botol sehingga ia tidak harus membawa botol besar dan ember cuci gelas.

Ibu Ngainah telah membangun relasi dengan para pelanggan jamu yang jumlahnya hingga 20 orang. Ini tentu merupakan keuntungan. Ia bisa membina pelanggan dan memberi pula informasi kepada pelanggan sehingga pelanggan yakin akan kebersihan dan keamanan jamu gendong. Ini juga terjadi pada Ibu Aziziah di Tangerang dan mbak Susi di Yogya.

Peran Pamong Jamu, atau pelanggan yang 'momong' ibu Jamu, seperti mbak Eko, mbak Evie Permata Sari dan mbak Indana Zulfa adalah penting.

Sebagai contoh, mengingat ibu Ngainah masih tidak/belum lancar membaca, mbak Eko lebih intensif momong. Tetap Jaga Jarak, tentu. Peran mbak Indana Zulfa untuk memperkenalkan produk jamu mbak Susi yang telah melakukan protokol COVID-19 ke kawan kawan dan kolega kerja akan meningkatkan pemasaran produk Jamu mbak Susi.

Mbak Susi masih punya tantangan dengan ruang produksi yang terbatas di kontrakkannya yang sederhana. Namun, kebersihan adalah menjadi persyaratan utama agar bisnis jamunya berjalan baik, sesuai protokol COVID-19.

Sementara, produk Ibu Azizia yang telah menggunakan sistem penjualan online akan memberi keyakinan lebih baik bagi pelanggannya. Mbak Evie Permatasari yang menjadi Pamong Jamu lebih menjalankan peran sebagai kawan seiring, untuk mengingatkan protokol COVID-19 dan membantu membuat video dan hal hal lainnya.

Implementasi Protokol COVID-19 pada Jamu Gendong adalah suatu model penerapan Normal yang Baru 'the New Normal' agar Ibu Jamu tetap lestari produk dan bisnisnya.

Masih banyak yang harus dilakukan untuk membantu para Ibu Jamu. Pada suatu saat, mereka perlu mendapat ijin BPOM. Meski BPOM lebih sesuai untuk memberikan sertifikasi atas Jamu Gendong sebagai minuman herbal yang menyehatkan, kita perlu realistis untuk tidak berharap agar BPOM memberikan sertifikasi atas efektivitas dari Jamu Gendong sebagai sunstansi yang dapat meningkatkan imunitas.

Tradisi meminum jamu gendong yang hampir hilang mungkin terbantu dengan penerapan protokol COVID-19 ini. Dan kita sebagai masyarakatlah yang perlu menjadikan Jamu sebagai warisan budaya dan pengetahuan lokal yang perlu dihormati.

Selamat memulai hari-hari Normal Baru.

*) Penulis sebagai salah satu dari tiga pendiri komunitas Serat, Kain, dan Fesyen Berkelanjutan EMPU, selain Chandra Prijosusilo ( Sekar Kawung) dan Zubaidah Djohar ( Empu Jalin Karsa)

Pustaka : Pustaka 1. Pustaka 2. Pustaka 3. Pustaka 4.   Pustaka 5. Pustaka 6.  Pustaka 7, Pustaka 8, Pustaka 9

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun