Sebelum perayaan Hari Raya Nyepi dilakukan, terdapat beberapa perayaan yang mendahuluinya. Dimulai dengan Melasti yang ditujukan untuk melebur kekotoran perbuatan dan pikiran. Upacara ini biasanya diadakan selama 2 sampai 3 hari sebelum Nyepi. Masyarakat Bali akan bersama sama menuju sumber air danau atau laut.
Selanjutnya, masyarakat akan melakukan pawai Ogoh-ogoh, yaitu patung raksasa simbol dari Bhuta Kala mewakili wujud kejahatan. Ogoh ohoh akan dibakar di askhir parade, dengan harapan roh jahat tidak lagi mengganggu persiapan untuk perayaan Nyepi.
Maka tibalah Nyepi berikut Catur Brata Penyepian. Seluruh tempat di Bali ditutup. Tidak ada yang boleh melakukan aktivitas di luar rumah. Barulah keesokan harinya, setelah 24 jam melaksanakan Catur Brata Penyepian, masyarakat Hindu Bali boleh keluar rumah.Â
Nyepi di Bali, Â Lockdown di Hampir Seluruh DuniaÂ
Aturan Nyepi memang sangat ramah pada bumi.
Tidak bekerja tentu tidak melepaskan emisi dan bahan bakar. Tak ada migrasi, mobilisasi atau perpindahan orang dari rumah ke tempat kerja tentu berarti hemat bahan bakar. Tidak ada listrik yang dinyalakan berarti juga hemat enerji. Tidak ada kompor yang dinyalakan sudah pasti hemat enerji, baik itu enerji dari kayu bakar maupun listrik ataupun gas LPG. Karena tidak memasak, maka juga menghemat sampah yang dibuang.
Perilaku untuk mengkonsumsi dan memproduksi seakan berhenti, atau setidaknya beristirahat.Â
Tak heran bila Nyepi dinyatakan juga sebagai bagian dari the World's Quiet Day atau Hari Hening Sedunia yang digagas pada Triple C (Collaboration for Climate Change) pada 2007. The World's Quiet Day biasanya diselenggarakan bersamaan dengan Hari Air Dunia pada tanggal 23 di bulan Maret setiap tahunnya.
Gerakan Hari Hening Sedunia sendiri merupakan sebuah gerakan untuk mengurangi aktivitas yang mengeluarkan sumber daya yang dapat memboroskan emisi karbon.
Memang, kelompok pencinta lingkungan menilai bahwa bumi tengah mengalami kerusakan lingkungan, yang berakumulasi dengan berbagai konflik karena alasan perebutan sumber daya alam yang makin langka karena penggunaan yang serampangan dan serakah. Baik produksi maupun konsumsi atas sumber daya yang dilakukan dengan tidak mempertimbangkan masa depan juga menambah persoalan.
Sayangnya, gerakan ini seakan makin tidak terdengar, meskipun lembaga dunia mendorong adanya tujuan pembangunan berkelanjutan.