Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nyepi di Bali, "Lockdown" di Banyak Negara di Dunia, dan Anomali Perubahan Iklim

25 Maret 2020   19:59 Diperbarui: 26 Maret 2020   06:44 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Upacara Melasti Tanpa Ogoh Ogoh ( Kompas Regional, Getty Image)

 

Nyepi dan Catur Brata Penyepian

"Rahina Nyepi pinaka rahina sane suci, dumogi iraga sareng sami pageh nglaksanayang Catur Brata Nyepi", begitu pesan WA saya kirimkan kepada sahabat saya, Putu Riasa dan keluarganya yang tinggal di Singaraja tadi pagi. Putu adalah sahabat sejak masa kuliah di Fakultas Ekonomi di suatu universitas milik pemerintah. Kamipun selanjutnya sama sama bekerja di lembaga pemerintah pada masa di awal karir kami. Meskipun jarang bertemu, kami sama sama sering membincang upaya mendorong pertanian organik di antara masyarakat petani. 

Pesan WA yang saya kirim standar ucapan bagi mereka yang merayakan Hari Raya Nyepi sih. Artinya "Hari Nyepi adalah hari suci, semoga kita tetap teguh melaksanakan Catur Brata Nyepi".

WA yang saya kirimkan menunjukkan centang satu, tanda bahwa pesan saya terkirim namun belum dibuka oleh Putu. 

Saya memahami bahwa Putu adalah penganut Hindu yang tekun. Nyepi adalah Hari Raya istimewa. Sayapun menyadari bahwa Putu baru akan membuka pesan saya esok hari karena Putu sedang menjalankan Catur Brata Nyepi.

Nyepi bertujuan untuk menyucikan manusia, bumi dan isinya, makro kosmos dan mikro kosmos.

Dengan Catur Brata Penyepian, Putu dan penganut Hindu Bali lainnya tidak bekerja, atau dalam bahasa Bali disebut amati karya. Putu juga tidak menyalakan api, atau dalam bahasa Bali disebut amati geni. Keluarganya tidak memasak pada hari ini. Tidak menyalakan kompor, listrik, computer. Ponsel juga dimatikan.

Pada Hari Nyepi, penganut Hindu Bali juga tidak bepergian, atau disebut amati lelungan. Selama 24 jam semestinya bandara di Denpasar juga ditutup. Memang, selalu ada pro dan kontra menyertai penutupan bandara di Denpasar. Jalan, pelabuhan dan lalu lintas lengang. Seseorang hanya keluar rumah pada kondisi darurat saja. Intinya, seluruh tempat publik ditutup, paling tidak selama 24 jam.

Selanjutnya, berdasar Catur Brata Nyepi, maka Putu dan masyarakat Hindu Bali diajarkan untuk tak mengumbar nafsu, atau disebut amati lelanguan. Artinya, para penganutnya tidak bersenang senang. Tidak menikmati hiburan seperti televisi, internet dan kegiatan lain yang bisa menimbulkan nafsu bersenang senang maupun nafsu amarah. Bagi sebagian orang, puasa online ini mungkin berat. Dalam arti luas, amati lelanguan bisa pula berarti tidak mengumbar nafsu yang serakah pada penggalian kekayaan yang diberikan bumi.

Secara keseluruhan, Nyepi bukan hanya membersihkan  makro kosmos tetapi juga mikro kosmos. Ini untuk mewujudkan keseimbangan dan kesejahteraan bumi dan diri manusia penghuninya.

Sebelum perayaan Hari Raya Nyepi dilakukan, terdapat beberapa perayaan yang mendahuluinya. Dimulai dengan Melasti yang ditujukan untuk melebur kekotoran perbuatan dan pikiran. Upacara ini biasanya diadakan selama 2 sampai 3 hari sebelum Nyepi. Masyarakat Bali akan bersama sama menuju sumber air danau atau laut.

Selanjutnya, masyarakat akan melakukan pawai Ogoh-ogoh, yaitu patung raksasa simbol dari Bhuta Kala mewakili wujud kejahatan. Ogoh ohoh akan dibakar di askhir parade, dengan harapan roh jahat tidak lagi mengganggu persiapan untuk perayaan Nyepi.

Maka tibalah Nyepi berikut Catur Brata Penyepian. Seluruh tempat di Bali ditutup. Tidak ada yang boleh melakukan aktivitas di luar rumah. Barulah keesokan harinya, setelah 24 jam melaksanakan Catur Brata Penyepian, masyarakat Hindu Bali boleh keluar rumah. 

Nyepi di Bali,  Lockdown di Hampir Seluruh Dunia 

Aturan Nyepi memang sangat ramah pada bumi.

Tidak bekerja tentu tidak melepaskan emisi dan bahan bakar. Tak ada migrasi, mobilisasi atau perpindahan orang dari rumah ke tempat kerja tentu berarti hemat bahan bakar. Tidak ada listrik yang dinyalakan berarti juga hemat enerji. Tidak ada kompor yang dinyalakan sudah pasti hemat enerji, baik itu enerji dari kayu bakar maupun listrik ataupun gas LPG. Karena tidak memasak, maka juga menghemat sampah yang dibuang.

Perilaku untuk mengkonsumsi dan memproduksi seakan berhenti, atau setidaknya beristirahat. 

Tak heran bila Nyepi dinyatakan juga sebagai bagian dari the World's Quiet Day atau Hari Hening Sedunia yang digagas pada Triple C (Collaboration for Climate Change) pada 2007. The World's Quiet Day biasanya diselenggarakan bersamaan dengan Hari Air Dunia pada tanggal 23 di bulan Maret setiap tahunnya.

Gerakan Hari Hening Sedunia sendiri merupakan sebuah gerakan untuk mengurangi aktivitas yang mengeluarkan sumber daya yang dapat memboroskan emisi karbon.

Memang, kelompok pencinta lingkungan menilai bahwa bumi tengah mengalami kerusakan lingkungan, yang berakumulasi dengan berbagai konflik karena alasan perebutan sumber daya alam yang makin langka karena penggunaan yang serampangan dan serakah. Baik produksi maupun konsumsi atas sumber daya yang dilakukan dengan tidak mempertimbangkan masa depan juga menambah persoalan.

Sayangnya, gerakan ini seakan makin tidak terdengar, meskipun lembaga dunia mendorong adanya tujuan pembangunan berkelanjutan.

Nyepi kali ini dilakukan dalam suasana yang berbeda. Berbeda karena upacara upacara yang melibatkan banyak orang untuk berkumpul terpaksa harus dibatasi karena mencegah penyebaran virus COVID-19. Masyarakat Hindu Bali juga tidak menyertakan Ogoh Ogoh yang biasanya diarak dalam bentuk parade. 

Berbeda karena biasanya setelah Nyepi terdapat ritual Ngembak Geni, yaitu masyarakat beraktivitas keluar rumah untuk mengunjungi sanak saudara dan ke tempat wisata, dan kali ini masyarakat disarankan oleh pemerintah Provinsi Bali untuk melanjutkan pelaksanaan Catur Brata Penyepian sampai dengan 26 Maret 2020 (Liputan6.com, 24 Maret 2020). Aturan ini juga berlaku untuk perusahaan. Karyawan diharapkan untuk  diliburkan. Ini karena untuk merespons situasi merebaknya virus Corona.

Sebetulnya, Nyepi kali ini juga berbeda karena bukan hanya orang Hindu Bali saja yang mengurangi kegiatannya, tetapi juga masyarakat dunia, untuk alasan berbeda. 

Kita lihat, beberapa hari terakhir, kota kota dunia senyap karena 'lockdown'. Seakan, COVID-19, memaksa manusia dunia untuk melakukan sebagian dari penyepian, termasuk tidak bekerja.

Dunia seakan rehat, dan sebagiannya seperti tidur nyenyak dengan hadirnya wabah Corona. 

Beberapa media memunculkan foto foto hasil jepretan fotografer di berbagai belahan dunia yang menampakkan kota kota yang semula hiruk pikuk menjadi sunyi. Menara Eiffel di Paris, tempat wisata di Islamab, Monumen Nasional di Washington DC, Sydney Opera di Sidney, the Disney World di Orlando Amerika menjadi tempat yang sunyi (theatlantic.com, Maret 2020)

Penutupan dan pembatasan banyak penerbangan, pembatalan pertunjukan musik dan seni, pembatasan orang yang berkumpul, penutupan kantor dan kegiatan ekonomi menjadikan banyak tempat sangat sepi.

Cinderella Castle Main Street at Disney's Magic Kingdom, Orlando, Florida, pada 16 Maret, 2020. # Gregg Newton / Reuters
Cinderella Castle Main Street at Disney's Magic Kingdom, Orlando, Florida, pada 16 Maret, 2020. # Gregg Newton / Reuters
Nyepi di Bali dan di Dunia, dan Perubahan Iklim 

Mongabay.com pernah melaporkan hasil pemantauan BMKG Bali di lima daerah di Pulau Bali, yaitu Denpasar, Bedugul-Tabanan, Karangasem, Singaraja, dan Negara-Jembrana pada saat sebelum, ketika dan sesudah Nyepi di tahun 2013 menunjukkan pengaruh anthropogenic pada kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang mencapai 33%. Artinya pada Hari Raya Nyepi terjadi penurunan emisi GRK rata-rata 33 persen. Pemanasan global disebut perlu memperhatikan dua parameter, yaitu kenaikan suhu dan konsentrasi GRK di atmosfer. Ini dilakkan di antaranya dengan cara langsung menggunakan alat digital Wolf Pack Area Monitor dan Continous Analyzer IRIS 4600. Alat ini mengukur konsentrasi gas rumah kaca per jam, dengan parameter untuk karbondioksida dan nitrogendioksida (Mongabay.com, 28 Maret 2017).

Kalau Nyepi terbukti mengurangi emisi karbon dengan signifikan, tentunya proses 'healing' dari bumi karena wabah COVID-19 ini bisa juga punya dampak signifikan.

Adanya 'lock down' di Cina, khususnya di Wuhan diestimasikan berkontribusi pada penurunan emisi karbon. Adanya 80.000 orang yang sakit dan terinfeksi virus Corona menyebabkan pabrik dan penerbangan ditutup. Diduga, 'lockdown' selama 3 minggu di Cina menyebabkan adanya penurunan karbon emisi sejumlah 25% lebih rendah dibandingkan dengan emisi karbon di tahun sebelumnya, pada periode yang sama. Ini disampaikan oleh Lauri Myllyvirta, soerang analis dari the Center for Research on Energy and Clean Air (Newyorktimes.com, 26 Februari 2020).

Diestimasikan, konsumsi Cina atas batubaru menurun selama periode 3 minggu Lockdown dari 900.000 m3 per hari menjadi 300.000 m3 perhari. Permintaan besi dan minyak juga menurun. Penerbangan menurun sekitar 13.000 frekuensi per harinya. Secara umum, New York Times memperkirakan bahwa kegiatan di industri utama menuruan sebanyak 15% (Newyorktimes.com, 26 Februari 2020).

Memang, para akhli belum bisa memiliki satu suara untuk melihat kaitan virus Corona dengan perubahan iklim. 

Secara umum para ajli sependapat bahwa wabah menurunkan pelepasan emisi karbon dalam jangka pendek. Namun, adanya wabah ini akan juga menyebabkan negara negara makin sulit untuk menerapkan ekonomi yang ramah lingkungan karena pertumbuhan ekonomi akan digenjot habis habisan untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dan juga biaya biaya yang dikeluarkan.

Juga, alokasi dan realokasi anggaran untuk merespons wabah Corona membuat banyak negara harus melakukan penghematan pada anggaran di sektor lain. Ini berarti akan menunda dorongan untuk menggunakan dan menerapkan enerji ramah lingkungan. Apalagi enerji ramah lingkungan saat ini dianggap mahal.

Di Amerika, aosiasi enerji matahari Amerika (the Solar Energy Industries Association, SEIA) dan dan asosiasi pengusaha enerji angin Amerika (American Wind Energy Association, AWEA), meragukan kemampuan industri mereka untuk bertahan tanpa dukungan keringanan bunga dari pemerintah. Industri enerji hijau yang selama ini dianggap berisiko makin meningkat reisikonya dengan kemungkinan tiadanya dukungan pemerintah.

Ini tentu bukan hal yang mudah bagi kita semua.

Banyak tulisan dan diskusi di antara masyarakat tentang wabah COVID-19 yang dikaitkan dengan teori konspirasi tentang berbagai versi, termasuk yang menyebutkan soal COVID-19 sebagai bagian dari senjata biologi suatu negara untuk memenangkan ekonomi global. Namun para peneliti dan ahli lebih mengarahkan analisisnya pada isu pemanasan global dan kerusakan serta ketidakseimbangan alam yang mengganggu ekosistem dan menyebabkan munculnya berbagai penyakit menular serta virus virus baru.

Tentu Nyepi lebih melibatkan aspek spiritual. Nyepi meminta kaum Hindu Bali untuk melakukan refleksi dan perbaikan perbaikan diri, baik kepada dirinya maupun kepada bumi.

Memang, seharusnya warga bumi belajar dari warga Hindu Bali untuk lebih bijaksana memperbaiki diri dan memperbaiki perlakuannya kepada bumi. Ini karena pesan Nyepi sangatlah universal.

Nyepi bukan hanya tidak melakukan empat ritual dari Catur Brata Penyepian, namun juga menyaratkan perbaikan diri. Melakukan sifat dan laku baik serta meninggalkan sifat dan laku buruk, baik terkait diri sendiri, maupun eskosistemnya.

Sayangnya, selama beberapa hari ini kita justru melihat masyarakat kita dan masyarakat dunia menjadi mudah panik, serakah, mau menang sendiri, dan pada saat yang sama sulit diatur dan egois. Kepanikan masyarakat akan merebaknya wabah virus Corona menyebabkan perilaku masyarakat memborong barang barang di pasar swalayan dan apotik apotik sehingga harga barang menjadi mahal dan barangpun tidak tersedia secara adil bagi warga yang lain.

Alat Perlindungan Diri (APD) bagi tim medispun diborong masyarakat sehingga tim medis dalam keadaan kekurangan dan tidak mendapatkan akses untuk melindungi diri selama menjalankan tugas. Tentu saja, yang menjadi korban adalah masyarakat luas dan juga tim medis yang berada di garda depan. Deretan korban terinfeksi virus Corona yang meninggalpun meningkat di banyak wilayah.

Kebijakan negara dan perilaku masyarakat dalam menghadapi wabah dan di masa depan menjadi sangat kritikal.

Bila pemerintah negara negara tetap memperlakukan bumi dengan buruk, mengeksploitasi sumber daya bumi dengan lebih brutal dengan alasan mengejar ketertinggalan atau 'balas dendam', dengan argumentasi pertumbuhan ekonomi yang menurun sebagai akibat dari pandemi. Apalagi negara  bisa saja berdalih bahwa mereka telah merelokasi dana pembangunannya untuk perlindungan sosial, sehingga eksploitasi sumber daya alam seakan bisa dibenarkan. 

Memang, semestinya tindakan yang menyertai implikasi kebijakan pemerintah terkait 'social distancing', 'physical distancing' ataupun 'lock down' berupa pengeluaran anggaran untuk penyediaan layanan kesehatan lebih baik perlindungan sosial adalah suatu keharusan yang dilakukan atas nama kemanusiaan dan hak asasi manusia. Kehidupan manusia adalah nomor satu untuk dilindungi. 

Perlindungan sosial yang dikeluarkan negara kepada warga yang paling terdampak sudah semestinya dilakukan, sebagai bagian dari akuntabilitas negara.

Untuk itulah, alasan negara untuk melakukan eksploitasi sumber daya di masa depan atas nama mengejar ketertinggalan- ketertinggalan selama wabah terjadi tidak dapat diterima. Pembangunan berkelanjutan justru harus makin diimplementasikan, agar tidak terulang lagi wabah wabah lain karena bumi dan lingkungan semakin buruk kondisinya. 

Dalam konteks Indonesia, penyusunan RUU Omnibus dan rencana pembangunan ibukota baru perlu dengan cermat memasukkan pertimbangan pertimbangan perlindungan lingkungan agar persoalan yang yang lebih menekan perubahan iklim tidak terjadi. Ini soal masa depan Indonesia yang berkelanjutan. 

Jadi, Nyepi yang hanya terjadi bagian kecil bumi seperti di Bali tampaknya tidaklah cukup. Seluruh penduduk bumi ditegur untuk melakukan Nyepi dan Catur Brata Penyepian berikut nilai nilai dan filosofinya agar bumi dan masyarakatnya menjadi lebih baik. 

Wabah COVID-19 inilah momentumnya.

Selamat Hari Raya Nyepi. Semoga kita semua menjadi warga bumi yang menyayangi diri kita, sesama manusia, dan  "rumahnya", bumi kita bersama. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun