Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cegah Virus Corona, Milenial Bukan Sekadar "Influencer" dan "Buzzer"

22 Maret 2020   18:41 Diperbarui: 23 Maret 2020   10:55 3284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontribusi Millenial di Masa Sulit 

Akhirnya, sayapun berkesempatan berbicara dengan kelompok millennial tentang virus Corona dan bagaimana sebaiknya kita mengelola dan menghindarinya. Millenial tersebut adalah keponakan saya, anak saya, dan cukup banyak anak muda yang berkawan dekat di sosial media. 

Mereka adalah perempuan dan laki laki di usia antara 25 sampai 35 tahun. Mereka adalah kelompok terdidik dan profesional muda, dan sebagiannya baru menapak di dunia karir. Mereka berbicara tentang virus Corona di Indonesia.

Millennial yang saya ajak berbicara adalah mereka yang berkontribusi aktif di masa yang berat ini. Seorang millennial yang berprofesi sebagai seorang dokter dan mantan Abang Betawi dari Jakarta Selatan menggerakkan generasi angkatannya dan masyarakat luas untuk memberikan donasi melalui kitabisa.com untuk mengadakan alat pelindung diri (APD) untuk tim medis lain yang sempat kekurangan masker dan sarung tangan (IG@widyatamandika)

Seorang millennial berusia 29 tahun, seorang ahli gizi, membagi informasi tentang gizi melalui IG storynya, lengkap dengan ruang tanya jawab (Instagram@carbsicles). 

Salah seorang millennial yang memiliki keahlian penggunaan media sosial dan teknologi digital memberikan pandangannya. Ia memiliki cukup banyak ide tentang bagaimana sebaiknya pemerintah menggunakan teknologi digital untuk mencegah penyebaran virus Corona.

Pengiriman informasi penting ke alamat akun (ID) yang terdaftar, kerjasama dengan FB, IG, Gojek dan Traveloka terkait informasi dan juga ‘tracing’ adanya penyebaran virus Corona yang tidak terdeteksi menjadi bagian dari usulan usulan yang diangkat (IG @firdzaradiany).

Seorang millennial berlatar belakang ilmu biomedik lulusan S2 dan merupakan peneliti di bidang kanker, stemcell, dan virus telah secara aktif memfasilitasi ruang tanya jawab tentang virus Corona melalui instagram story dan linkedin story.

Iapun aktif mengkomunikasikan kembali informasi terkini dari lembaga kesehatan yang dipercaya, seperti Center for Disease Detection (CDD) dan World Health Organization (WHO) tentang cara pencegahan meluasnya virus Corona, dan juga tentang bagaimana meningkatkan sistem imun. Semuanya ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan dengan tampilan infografis dan media yang ramah pembaca (IG@mutiaranissa).

Memang, tampak betul banyak ditemukan masyarakat yang tidak paham tentang profesi profesi yang beragam di dunia kesehatan beserta kepakarannya, sehingga apapun soal virus Corona ditanyakan. 

Ini sebetulnya menunjukkan masih rendahnya literasi kesehatan maupun literasi profesi di beberapa kalangan kita. Ditemukan pertanyaan yang lebih tepat ditanyakan kepada seorang untuk dokter yang diarahkan kepada siapapun yang mengadakan diskusi soal virus Corona. 

Yang kita tak boleh lupa adalah realitas bahwa milenial memang kelompok yang bisa dikatakan paling paham atau lebih paham menggunakan media media komunikasi dalam masa ‘social distancing’ ini dibandingkan dengan kelompok 'boomers'. Bagi mereka, berkomunikasi tanpa harus bertemu adalah keahliannya, karena mereka lahir di era tersebut. 

Untuk itulah, saya kira pemerintah perlu menggunakan kapasitas professional dari generasi ini untuk berkontribusi dan memberikan hasil terbaik di masa masa sulit melawan virus Corona.

Apa Kata Milenial ?

Saat ini kita memiliki jumlah penduduk milenial yang berjumlah sekitar 90 juta. Data 2017 mununjukkan bahwa generasi milenial (kelahiran 1980 sampai 1999) adalah sekitar 33,75% dari jumlah penduduk keseluruhan Indonesia yang jumlahnya sekitar 270 juta. 

Ini jumlah yang luar biasa. Bisa dikatakan, merekalah kelompok generasi dengan jumlah penduduk Indonesia terbanyak dari segi generasi. Generasi Milenial itupun memiliki status pernikahan yang beragam.

Sumber : Susenas BPS 2017
Sumber : Susenas BPS 2017
Memang, beberapa artikel saya terdahulupun melihat bahwa Pemerintah masih melihat sebelah mata soal milenial. Mereka masih dilihat sebagai generasi dengan banyak persoalan. Generasi pemalas, generasi yang memberi beban, generasi yang tidak perduli, dan sebutan sebutan lain yang bias dan negarif.

Dalam realitanya, tidak semua generai milenial memiliki sifat dan karakteristik seperti yang disebutkan di atas. Seperti juga, tidak semua ‘boomers’ memiliki karakter seperti yang menjadi bias seperti perspektif sebagian milenial.

Kita bisa tengok siapa yang menjadi bagian dari garda depan tim kesehatan kita? Sebagian besar dari dokter dan perawat yang terjun langsung membantu pasien terinfeksi virus Corona adalah kelompok milenial. 

Saya tidak lakukan survai atau riset dengan metodologi yang sistematis terkait pandangan milenial tentang bagaimana pemerintah merespons virus Corona. Namun demikian, saya mencatat komentar yang muncul dari akun media sosial mereka.

Hal pertama yang kita sadari adalah bahwa jumlah milenial yang besar secara demografis punya arti tentang adanya risiko besarnya jumlah milenial yang berpotensi tertular virus Corona, terutama bila mereka punya pola hidup dan kebiasaan yang kurang sehat. Namun, pada saat yang sama, merekalah generasi dengan pendidikan yang tertinggi di dalam kelompok demografi kita.

Tak kurang pejabat WHO mengingatkan tentang pentingnya membangun kesadaran kelompok milenial terkait risiko virus Corona seperti nampak di sini. 

Dari beberapa akun kelompok milenial yang saya baca, pada umumnya mereka kecewa dengan cara pemerintah merespons virus Corona. Sebagian besar mengkritisi tidak sistematisnya dan tidak efektifnya cara berkomunikasi pemerintah soal penanganan virus Corona. 

Karena lemahnya cara berkomunikasi pemerintah, maka informasi itu berbalap dengan hoax yang meraja lela. Ironisnya, hoax banyak disebarkan oleh generasi yang lebih tua, yaitu generasi ‘boomer’.

Sayapun menerima beberapa informasi yang jelas merupakan ‘hoax’ dari para ‘boomer’, generasi saya, yang lebih ironisnya adalah dari kalangan terdidik. Hoaks tentang pemerintah Rusia yang melibatkan singa dan macan untuk menjaga kebijakan lowckdownnya bahkan dipercaya mereka yang mengaku terdidik. 

Ada kesenjangan yang nyata terkait pandangan milenial dengan ‘boomers’. Seminggu yang lalu, masih ada reuni dan pertemuan pertemuan besar dengan mengumpulkan orang lebih dari 200 orang diadakan ‘boomers’. Ini saya lihat di beberapa media sosial yang merupakan kawan saya. Saya kiri pengaruh dari tidak tegasnya anjuran pemerintah mempengaruhi tindak para boomers ini.

Beberapa rekan dari kalangan milenial mengadu melalui pesan WA terkait sulitnya mempengaruhi orang tua mereka untuk tidak mengikuti kegiatan berkumpul. 

Mereka mengeluh sulit untuk merubah rencana orang tua mereka yang hendak mengadakan pengajian RTnya, atau pertemuan arisan, atau ritual agama yang melibatkan banyak orang. kesulitan menyampaikan kepada orang tua mereka untuk membatalkan pengajian RT nya. Mereka juga sulit mempengaruhi orang tua mereka untuk tidak hadir dulu ke acara kawinan. Ini tampaknya memang persoalan.

Seorang milenial mengatakan bahwa "boomer"" cenderung hanya mencari info yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah sehingga infonya lebih banyak soal status kasus. 

Rupanya kesenjangan pemikiran milenial dengan boomers terkait upaya menangani virus Corona bukan hanya ada di Indonesia.

Di Amerika, kalangan muda sangat kecewa dan frustasi karena masih banyak dari kalangan generasi tua yang masih melakukan kegiatan mereka makan malam di restaurant, bermain golf, melakukan kegian di kelas kebugaran, padahal kebijakan ‘social distancing’ telah melarang orang untuk ke tempat keramaian.

Sebaliknya, pemerintah Amerika menganggap kelompok mileniallah yang tidak sensitif dan masih berada di ruang publik seperti disampaikan di media ini.

Apapun kebenaran dan akurasi dari kedua kutub generasi yang berbeda itu, generasi milenial yang jumlahnya besar ini juga punya kemungkinan untuk terserang virus Corona. Di Perancis dan Eropa lain, dicatat bahwa terdapat kelompok muda yang terserang virus Corona dan mengalami tahap yang serius. (edition.cnn.com.com, 19 Maret 2020).

Yang lucu, beberapa media menuliskan tentang Presiden Trump yang justru mempersalahkan generasi millennial yang selama ini dianggap hanya menyebarkan hoaks terkait bahayanya virus Corona. (sumber)

Kawan kerja saya yang berkebangsaan dan tinggal di Washington DC menyampaikan bahwa media di Amerika hanya mengabarkan soal apa yang terjadi di Amerika. Berita tentang bagaimana kasus ini terjadi di beberapa negara dan di Indonesia tidaklah mereka banyak ketahui. Kecuali bila mereka mencari tahu dari media asing dan media dari Indonesia.

Apa yang Telah Dilakukan Pemerintah Bersama Milenial? 

Saya memahami Badan Nasional Penanganan bencana mulai bekerja dengan kelompok muda untuk mendukung kerjanya. Namun, saya amati pula, upaya itu barulah dengan cara menggandeng puluhan influencer yang BPNB klaim mewakili berbagai bidang.

Hanya saja, saya catat, pada umumnya influencer tersebut adalah artis. Tugas merekapun lebih pada mendorong penggalangan dana untuk membantu persoalan dan pengelolaan virus Corona (AYOSEMARANG.com).

Dari media yang meliput acara pertemuan itu diulaskan bahwa terdapat beberapa artis yang dianggap sebagai influencer, antara lain Rachel Venya, Kevin Liliana, Taqy Malik, Tissa Biani, Maudy Koesnaedi, Akbar Rais, Reza Pahlevi, Indra Bekti, Aura Kasih, serta Putri Patricia. Selain itu juga Sarah Gibson, Indra Kalista, Indra Sugiarto, Sintya Marisca, Edho Zell, Angela Gilsha, Boim Lenno, Mike Ethan, Tirta, dan Syanin serta Indra Bekti (nasional.tempo.do, 20 Maret 2020).

"Pertemuan ini dilaksanakan secara efektif, mengikuti prosedur social distancing, dan melaksanakan langkah-langkah preventif seperti pengukuran suhu tubuh dan penggunaan hand sanitizer," kata salah seorang Influencer. Yang menarik, pertemuan BNPB dan influencer itupun dilakukan dalam bentuk pertemuan fisik pada 20 Maret di Graha BNPB, di saat kita semua dianjurkan untuk melakukan ‘social distancing’, begitu salah satu influencer berkata ketika diwawancarai (AYOSEMARANG.com). 

Memang, para influencer yang diwawancarai beberapa media mengatakan bahwa mereka bukanlah juru bicara pemerintah, dan mereka mengatakan apa yang mereka lakukan adalah sukarela untuk membantu pemerintah mengkomunikasihan informasi yang dirasa perlu diketahui masyarakat. Namun, masyarakat perlu info lain dari pandangan profesional, termasuk profesional dari kalangan milenial. 

Kita ingat masa masa Pilpres dan Pemilu 2019, yang sayangnya, memang pemerintah lebih ‘memberdayakan’ milenial terbatas pada perannya sebagai influencer dan ‘buzzer’ politik. Ini menyebabkan kesan seakan milenial hanyalah alat propaganda pemerintah.

Tak kurang, Garin Nugroho memberi catatan tentang para propagandis era milenial. Mereka bisa disebut sebagai buzzer, influencer hingga spin doctor. Mereka menjadi anak emas politik era media sosial (Kompas.com, 19 Maret 2020)..

Menurut saya, pemerintah masih ‘under estimate’ kepada millennial. Begitu banyak millennial terdidik berdasar bidang bidang kelimuannya dan bisa memberikan kontribusi untuk melakukan pendidikan sosial yang berbobot. 

Masyarakat Indonesia perlu mendapat informasi yang tepat dan mendewasakan dari sekedar membeo apa yang disampaikan dalam bentuk berita. Sementara, pemerintah lebih tertarik menggunakan influencer untuk menjadi corong pemerintah.

Juga, kelompok milenial yang merupakan kelompok mayoritas di dalam keseluruhan demografi memerlukan informasi melalui media komunikasi yang mereka pahami, yaitu berasal dari sesama kelompok milenial. 

Hal penting lain adalah perlunya pemerintah memperbaiki strategi komunikasi dalam sistem dan mekanisme kesiapsiagaan dan penanganan bencana. Lihat saja apa yang kita lihat dari arus komunikasi terkait virus Corona sejak diumumkannya pada sekitar 3 minggu yang lalu. 

Informasi sangat tidak akurat. Strategi berganti ganti. Kurang transparan. Defensif dan lain lain.Ini masih merupa lubang besar, yang pemerintah perlu menyadari. 

Mengapa pemerintah hanya berfokus pada penggalangan dana? Virus Corona lebih dari sekedar soal dana dan hal umum yang mungkin khalayak yang mungkin sudah memahami dari televisi. Ini soal tatakelola. Soal akuntabilitas. Soal komunikasi massa. Soal pengelolaan pasien. Soal pencegahan. Pendanaan hanyalah satu di antara soal yang harus dikelola.

Namun ketika lembaga dunia WHO ‘memaksa’ pemerintah kita untuk melihat isu virus Corona sebagai isu penting, dan terbukti makin banyak korban meninggal dari virus Corona, pemerintahpun melakukan perubahan dan substansi komunikasi sedikit demi sedikit menjadi lebih baik.

Beberapa milenial yang berdiskusi dengan saya mengatakan bahwa pemerintah kita memiliki keterbatasan untuk berimajinasi dan mencari cara cara yang lebih efektif untuk bekerjasama dengan milenial dalam merespons virus corona. Pemerintah juga sekan kurang mampu mengambil contoh dari keberhasilan beberapa negara yang berhasil meredam menyebarnya virus ini. 

Beberapa di antara negara yang dinilai cukup berhasil adalah Singapure, Hongkong, dan Korea Selatan. Juga, milenial mengharap agar pemerintah secara serius menyediakan APK berupa masker dan sarung tangan yang memadai, yang diberikan kepada semua tim medis kita. 

Pasien tidak hanya datang ke rumah sakit rujukan karena tidak semua pasien yakin dengan apa yang mereka rasakan. Sementara, banyak pasien yang ditolak oleh rumah sakit rujukan karena rumah sakit rujukan penuh. 

Saya kemudian bandingkan dengan tulisan Atul Gawande yang banyak menulis buku populer, termasuk "Check List Manifesto" ? Atul seorang dokter yang menuliskan banyak tip motivasi hidup dan tentang pengambilan keputusan yang menarik, berdasarkan pengalamannya sebagai dokter. Kemarin tulisannya terbit di the New Yorker dan ia memuji apa yang dilakukan oleh Singapura dan Hongkong dalam meredam meluasnya virus Corona. 

Atul yang memiliki Rumah Sakit di Nassachusetts, Amerika Serikat, mempetanyakan apa yang harus kita lakukan bila tidak mempraktekkan seperti yang dilakukan Wuhan? 

Ia mengatakan telah merumahkan lebih dari seratus staf dalam 14 hari terakhir dan meminta mereka untuk melakukan karantina karena mereka telah terpapar virus Corona. Dan, ia mengkhawatirkan bahwa dengan makin banyaknya tim medis yang terkena virus Corona akan menyebabkan kita akan kekurangan banyak tim medis. Lalu, siapa yang akan mengelola pasien yang terkena virus Corona? 

Atul menyarankan Amerika menyediakan alat pelindung kerja yang memadai dan mensterilkan semua area yang telah dipakai untuk konsultasi dengan pasien. Pasien dengan keluhan demam dengan batuk, keluhan pernapasam, lelah, dan tulang sakit perlu dipisahkan dengan pasien dengan keluahan dan simptom lain. 

Pemisahan harus tegas dalam bentuk pemisahan ruang. Jarak antara kursi tunggu pasien minimal satu setengah sampai dua meter, dan komunikasi serta konsultasi antara tim medis dengan pasien harus pula berjarak. Dan, yang terpenting, Atul menyarankan agar kebiasaan mencuci tangan yang benar diterapkan di seluruh keluarga (the New Yorker.com, 20 Maret 2020).

Hal hal yang disampaikan kelompok milenial konsisten dengan pemikiran banyak kalangan medis di bagian dunia yang modern. Artinya, milenial yang saat ini telah tumbuh di dunia kerja dengan bekal ilmu pengetahuan yang lebih baik semestinya menjadi bagian dari perjuangan sektor kesehatan di Indonesia. 

Sudah saatnyalah pemerintah dan lembaga penanganan bencana untuk melakukan keputusan yang lebih baik dan mengkomunikasikannya kepada publik dengan lebih baik. Strategi komunikasi seharusnya dibangun dengan menggunakan masukan dan perspektif berbagai kelompok, termasuk milenial. Sayangnya, bahkan milenialtim khusus Kantor Kepresidenanpun tidak terdengar suaranya. 

Ingin mendengar pandangan milenial Indonesia terkait virus Corona dari beberapa latara belakang pendidikan? Coba kita dengar beberapa wakil anak muda yang akan mengadakan diskusi soal virus Corona? Cek Instagram story melalui IG@mutiaranissa, seorang biomedical scientist yang berkolaborasi dengan IG@adjisantosoputro, seorang ahli untuk kesehatan mental di IG story mereka pada Senin 23 Maret 2020 jam 19.00 WIB.

Tetap sehat. Tetap waras, lahir dan batin. 

Kita semua, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan bumi perlu berkontribusi di masa sulit ini. Siapapun kita, generasi milenial ataupun 'boomers'. perlu berkontribusi. Sayang sekali bila kita lebih bersibuk di grup WA untuk berkeluh kesah atau malah membagi hoaks. 

Pustaka : Satu, Kedua, Tiga, Empat, Lima, Enam 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun