Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pakai AI untuk Pemberantasan Korupsi, Pak Jokowi!

29 November 2019   11:03 Diperbarui: 30 November 2019   10:06 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi AI untuk Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Hukum (Foto : Anticorruptiondigest.com)

AI akan Gantikan ASN Eselon 3 dan 4

Rencana Presiden Jokowi untuk menghilangkan posisi jabatan eselon 3 dan 4 untuk tujuan meningkatkan efisiensi dan mengurangi birokrasi yang menghambat investasi mendapat sambutan beraagam berbagai pihak. Tentu ada yang positif dan ada pula yang kurang mendukung. Paling tidak Sri Mulyani sudah melakukan di kementriannya. 

Dan, kemarin, ketika Presiden Jokowi menyebut rencana untuk mengganti pejabat eselon 3 dan 4 dengan AI, baik media nasional maupun asing meliputnya.


The Jakarta Post memberitakan "Faster with AI: Indonesia to replace ministerial aides with machines" (the Jakarta Post, 28 November 2019). Presiden Jokowi menyebut bahwa ia telah minginstruksikan menteri menterinya untuk menindaklanjuti.

Ini semua akan ditentukan oleh adanya Omnibus Law yang akan mensinkronisasi puluhan peraturan dan perundangan yang masih saling bertabrakan. 

Channel News Asia, misalnya menulis dalam berita "Indonesia aims to replace some top civil service job with AI in 2020" kemarin, 28 November 2019. Berita ini menggarisbawahi pidato Presiden Jokowi di depan CEO usaha skala besar Indonesia tentang pentingnya Indonesia mendorong status menjadi negara unggul manufaktur. 

Penggunaan energi listrik untuk mobil dan penggunaan bauksit dan batubara hendak ditingkatkan dan Indonesia tak hanya mengekspor batubara mentah tersebut. Tentu akan muncul perdebatan, namun kali ini saya tak hendak menyentuhnya.

Saya percaya, niat baik yang disusun dengan rencana masak dan semata untuk kepentingan warga, khususnya kaum miskin dan tak berdaya, akan mendapat restu Tuhan.  Dukungan pada ide ini akan banyak sekiranya ini dilakukan untuk menjaga dan melindungi sumber daya Indonesia, termasuk hutan, tanah dan kekayaan kita, dan bukan untuk mendorong investasi semata.  

"Mengapa kita tidak manfaatkan AI untuk upaya penghapusan korupsi di RI, Pak Jokowi?". 

Saya terinspirasi tulisan Per Aarvik tentang "Artificial Intelligence -- a promising anti-corruption tool in development settings?" terbitan Mei 2019.  Tulisan tersebut memberi ide yang menggairahkan untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Juga, terdapat beberapa contoh penggunaan AI untuk memberantas korupsi di dalam tulisan tersebut. 

Tulisan ini membagi catatan tentang penggunaan AI yang bisa dioptimalkan di lembaga lembaga keuangan dan lembaga pengelola pajak sehingga pelanggaran pelanggaran perpajakan dan money laundrying dapat dipantau, dicegah dan dibabat.  Ini konsisten dengan kebutuhan tenaga dari Ditjen Pajak untuk tim penyidik di KPK pada berita ini. 

Selain itu, AI juga dapat dipakai untuk mendeteksi prosedur prosedur yang memunculkan praktik korupsi.

Ini saya kira sangat baik untuk Indonesia. 

Pertama, saat ini Indonesia makin kewalahan dengan tindak dan praktik korupsi. Juga, kekuatan KPK dinilai sudah makin berkurang dengan adanya revisi UU KPK yang disetujui pada 13 September 2019 yang lalu. 

Kasus korupsi E-KTP yang melibatkan begitu banyak nama elit politik negeri dan juga kasus BLBI yang melibatkan Nursalim perlu jadi perhatian. Tentu masih banyak kasus penting lainnya.   

Di sini, AI akan membantu mengelola data kasus korupsi, dan bahkan memprediksikan kasus yang berpotensi akan menjadi kasus korupsi. Artinya, AI bisa mencegah, membuka kasus korupsi yang sebelumnya tidak bisa atau sulit dibongkar sekaligus mengganti prosedur yang korup. Tentu perlu punya mimpi bahwa AI bisa diandalkan untuk mendukung kerja KPK. 

Akan menarik bila AI bisa memberi rekomendasi terkait estimasi berapa lama suatu kasus bisa diinvestigasi dan diselesaikan. diproses. Ini bisa mengurangi isu 'backlog' atau kasus menumpuk di lembaga penegak hukum dan sekaligus memberi pengingat pada kasus yang telah cukup lama dalam proses investigasi.

SP3 bisa diperingatkan oleh AI. Kasus yang tidak ditindaklanjuti juga akan diumumkan okepada publik. Artinya, transparansi atas kasus korupsi meningkat. 

Kedua, kinerja POLRI dan Kejaksaan serta Mahkamah Agung saat ini dinilai belum menjalankan pembenahan yang memadai untuk menjadi sistem penegak hukum yang memberantas korupsi.Ini ada di dalam Laporan Corruption Perception Index 2018, terbitan Transparent International 2019.  

Jadi, lokus penting yang perlu dipasang AI adalah di POLRI, Kejaksaan dan Mahkamah Agung. KPK juga tentu bisa merekrut AI di periode 2020 - 2024 ini. Prosedur LKPP terkait e- procurement bisa disinergikan dengan penggunaan AI. Kementrian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak perlu optimalkan AI. 

AI untuk Anti Korupsi
Pak Giri Lumakto telah banyak menuliskan soal apa itu AI dan bagaimana kemampuannya membantu kerja manusia. Untuk itu, artikel ini hanya akan difokuskan pada tawaran optimalisasi penggunaan AI dalam hal pemberantasan korupsi. 

Dengan Artifical Intelligence (AI), teknologi dipergunakan untuk menirukan kecerdasan manusia untuk memecahkan persoalan yang kompleks. Proses memasukkan informasi dan data sebagai input dan diproses dengan resep algoritma tertentu untuk kemudian menghasilkan output. 

AI akan dilatih untuk mengenali pola pola tertentu untuk memproses data dan informasi. AI akan memproses informasi terkait kasus kasus korupsi dan menjelaskan kembali apa yang ada di 'kotak hitam' persoalan korupsi itu.

Dalam hal pengawasan pajak, AI bisa membantu untuk mendeteksi tender yang tidak sesuai aturan dan risiko pengemplang pajak.

Memang beberapa negara yang telah menggunakan AI untuk anti korupsi melaporkan adanya bebarapa kontroversi, misalnya a) dalam hal pengambilan keputusan oleh AI, b) dalam bias algoritma, c) isu hak privasi dan kerahasiaan, d) isu rehabilitasi menginat jejak digital sulit untuk dihapus.

Namun mengingat aspek efisiensi yang ditawarkan AI tinimbang menggunakan jasa manusia, dunia sulit untuk menolak kehadiran AI.

Siapa Saja Pengguna AI untuk Pemberantasan Korupsi?
Beberapa uji coba telah dilakukan untuk menggunakan AI dalam upaya pemberantasan korupsi.

Di Meksiko dan Ukraina, AI dipakai untuk mendeteksi proses tender yang melibatkan fraud. Kantor Tax Administration Services of Mexico membuat uji coba untuk mendeteksi fraud di antara para pembayar pajak melalui penggunaan algoritma AI.

Mungkin Mexico akan menjadi negara pertama yang siap dengan rencana aksi pemberantasan korupso yang melibatkan kerja AI. 

Mexico memang agresif mengembangkan AI, khususnya karena dicatat adanya penurunan komitmen penegak hukum di negaranya. The Mexican Institute for Competitiveness (IMCO), bersama dengan " Participatory intelligence (OPI)" menggunakan AI untuk menganalisis prosedur pengadaan dengan menggunakan data 2012 sampai 2017 dan membangun Indeks Risiko Korupsi. UPaya ini berhasil mengidentifikasi lebih dari 1500 pengadaan yang berisiko.

Di Afrika Selatan, AI dijajagi untuk mengelola pajak. Pada rencana kinerja tahunan 2018/19, the South African Revenue Service (SARS) mengumumkan rencana penggunaan AI. AI dipakai untuk memetakan perilaku wajib pajak, agar pengambilan keputusan terkait pembayar pajak bisa lebih baik.

Di Cina, perusahaan telekomunikasi seperti ZTE mendapat kontrak dari pemerintah untuk membangun teknologi ‘blockchain’ untuk mencegah adanya upaya merekayasa data pemerintah oleh orang ataupun lembaga yang tidak diinginkan.

Presiden Xi Jinping mendorong inovasi sains dan teknologi pada ‘big data’ dan AI untuk reformasi birokrasi. Sistem itu disebut 'Zero Trust'.

Namun saking rapinya kerja AI, masyarakat menilai Cina terlalu efisien sehingga pembangunan sulit berjalan. Saya kuatir ini mirip komentar JK di tahun 2014 seperti pada artikel ini dan ketika terdapat kontroversi revisi UU KPK.  Pelanggaran privasi oleh AI juga dicatat mengancam penugasan AI dalam pemberantasan korupsi.

Indiapun mulai jajagi penggunaan AI untuk memantau pajak melalui media sosial.

Di pertemuan OECD Global Anti-Corruption and Integrity Forum 2019, inisiasi di atas dipresentasikan. Bahkan laporan Oxford Insights lists Artificial Intelligence menyebutkan AI sebagai pasukan masa depan dalam pemberantasan korupsi.

Tantangan dan Rekomendasi untuk Indonesia
Indonesia adalah ruang yang menawarkan kesempatan untuk menggunakan AI dalam upaya pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi sudah makin memahami pentingnya AI dan punya komitmen kuat untuk memanfaatkan AI. SDA Indonesia juga sudah makin bertumbuh untuk mampu melakukan riset dan pengambangan AI. Ini modalitas yang perlu kita hitung. 

Pada saat yang sama, kita perlu pula mengidentifikasi beberapa tantangan maupun kelemahan yang ada. 

Pertama, soal kerahasiaan serta etika yang akan  selalu menyertai pemasangan AI.

Kedua, soal keterbatasan data akan jadi tantangan besar. Padahal prasyarat dari sistem adalah ketersediaan dan akurasu data. Soal data kemiskinan saja kita sudah pusing. Ini tantangan yang seharusnya bisa jadi pemicu.

Ketiga, potensi hilangnya kemampuan yang baik dari SDM yang ada di Indonesia yang sebetulnya didorong pula oleh Presiden Jokowi untuk dikembangkan pada masa kepresidenan di periode keduanya.

Keempat, Pengawas KPK mungkin akan sibuk untuk memberikan ijin peretasan yang diperlukan oleh AI.

Kelima, Meski sudah makin banyak SDA yang ahli dalam hal digital, sistem pendidikan kita yang masih penuh masalah yang belum mampu menghasilkan SDA yang ahli; 

Keenam, kemana SDA yang setengah terampil akan ditampung?. Apakah semua harus memasuki pabrik untuk mengelola manufaktur yang akan dikembangkan? 

Ketujuh, adanya risiko kontroversi atas keputusan yang diambil AI dan bias logaritma. Kontroversi akan melelahkan, khususnya bila korupsi melibatkan parlemen dan pejabat pemerintah. 

Etika dalam Penggunaan AI
Selama ini AI dianggap sebagai teknologi tunggal untuk menggerakkan sesuatu. Padahal AI kompleks, sekompleks mikro biologi dan teori lain yang ada di dunia.

Persoalan pelanggaran etika makin mencuat, sementara isu keadilan, kesetaraan dan kejujuran makin sulit direalisasikan.

Korupsi yang merupakan pelanggaran atas hak asas manusia jelas menyengsarakan warga negara, khususnya kalangan miskin. Dan, dengan semua hal ini, upaya untuk memberantas korupsi, termasuk yang menggunakan AI perlu menegakkan kepentingan kemanusiaan, etika, dan keberlanjutan. 

Apa yang Harus Kita Kerjakan ke Depan?
Pengembangan AI akan memerlukan reformasi sistem pendidikan, pemerintahan dan sektor hukum. Ini semua adalah sektor-sektor dengan isu dan tantangan terbesar. Bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan SDA untuk memenuhi AI dan sekaligus relevan dengan sektor kerja agar SDA kita tidak hanya memenuhi tenaga kerja sektor manufaktur, yang notabene lebih memerlukan ketrampilan saja. 

Untuk itu, bagaimana kita tetap menjaga agar proses digitalisasi dan penggunaan AI serta 'digital platform' menjawab tujuan pembangunan yang mempertimbangkan kompleksitas sosial dan isu kemanusiaan. 

AI perlu dioptimalkan bukan hanya untuk mendorong masuknya investasi, tetapi juga reformasi tata kelola di pemerintahan dan sektor bisnis. Pembangunan adalah amanat kemanusiaan yang perlu kita lindungi. 

Selamat datang pasukan AI anti korupsi. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun