Usai bermandi puji di ketinggian bukit-bukit puja
Lelaki itu dilucuti luka terbuka, dicambuki kemurkaan, diseret-seret penyesalanÂ
Ia lalu terlempar jatuh ke tumpukan cadas
Dan, akhirnya teronggok kejang di sudut gelap rimba yang tak beralamat dan tak berdaun pintu.Â
Lelaki itu bukan lagi si empunya kehidupan. Tapi, tak pula ia mati.Â
Bumi pernah berkisah pada garis cakrawala tentang dia, sang pendekar asli. Si penapak jejak. Si pelampau lini waktu.
Tapi...
Tak sedikitpun ada jeda untuk sepasukan huruf angka yang di sana terhampar kisah-kisah manusia dan berabad peradaban. Semua membiar. Menguap. Terbang dan tenggelam di gulungan jaman.
Apa dosa lelaki itu?
Mungkinkah cintanya tergantung pada paku ambisi yang terlalu tinggi? Atau kasih sayangnya ada di bukit yang terlalu gagah  untuk didaki?
Kurasa tidak!
Di akar yang terdalam telah tertancap pesan tersembunyi.
Baginya, cinta hanyalah kecerobohan memberi nama.
Sementara kasih sayang semata sebuah kemurahan yang ia bisa.
Akhirnya lari menghilang ke rimba hukuman yang lebih suram, ia bersembunyi dalam kutukan sepanjang badan.
Ia lelaki pembangkang yang keras kepala, menyulap bahagia menjadi keterpencilan dalam serejam dan sekedipan mata.
*) Memang ini puisi picisan. Obat pusing jelang flue. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H