Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perkawinan Anak Marak di Pasca Bencana: Keterpaksaan Ekonomi dan Restu Sosial Budaya

13 November 2019   11:38 Diperbarui: 18 November 2019   16:22 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pasca bencana di Sulawesi Tengah, Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (LIBU), sebuah lembaga swadaya masyarakat, melaporkan adanya 10 kasus pernikahan anak terjadi dalam kurun waktu 3 bulan sesudah terjadi bencana. BBC news Indonesia memberitakan catatan LIBU terkait kasus pernikahan anak yang terjadi di pengungsian Petobo (5 kasus), di Pantoloan (3 kasus), Jono Oge (2 kasus) dan di Balaroa (1 kasus) di Sulsel. 

Dewi dari LIBU mengatakan kepada BBC news Indonesia tentang seorang gadis yang kedua orang tuanya meninggal karena Tsunami, dan si anak gadis itu tinggal bersama tantenya namun dinikahkan tak lama kemudian.

Baik NTB maupun Sulawesi Tengah adalah dua dari 20 provinsi di Indonesia dengan tinkat perkawinan anak yangtinggi, lebih tinggi dari tingkat nasional yang 22,8% (SUSENAS 2015). Di NTB prosentase perkawinan anak adalah 25,3%, sementara di Sulsel adalah 31,9%.

Keterdesakan Ekonomi Pasca Bencana 
Peristiwa bencana menjadikan keluarga yang terdampak bencana menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Mereka kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian.

Terlebih, wilayah Lombok dan Palu, Sigi dan Donggala di Sulawesi Tengah adalah memang wilayah yang relatif miskin, bahkan sebelum terjadi bencana. Peristiwa bencana menjadikan kehidupan masyarakatnya, terutama anak perempuan lebih rentan. Anak perempuan direstui dan didorong oleh budaya untuk menikah cepat dan lebih muda pada kondisi darurat.

Dalam hal keterdesakan ekonomi, memang ini tidak bisa ditepiskan bahwa masyarakat petani di Sembalun, Lombok Timur alami kekeringan, sehingga mereka tidak panen. Sementara mereka yang hidupnya tergantung pada sektor wisata gunung Rinjani juga tidak mudah mencari nafkah karena sebagian dari gunung Rinjani masih tertutup untuk wisata.

Koran setempat menyebut bahwa jumlah orang perempuan dan laki-laki yang berangkat sebagai TKI meningkat pada pasca gempa. Beberapa orang yang kami temui setahun yang lalu mengatakan "Lha apa lagi harapan kami? Menjadi TKI menjadi solusi. Kami tidak lihat solusi lain".

Jadi, orang muda muda laki-laki hanya punya solusi menjadi TKI, sementara anak perempuan punya dua solusi, yaitu menjadi TKI atau menikah muda. Keduanya bukan solusi yang menguntungkan perempuan.

Menjadi TKI tanpa ketrampilan dan perlindungan adalah memberikan adanya potensi berupa penipuan, eksploitasi dan kekerasan. Menikah selagi usia anak anak akan memberikan persoalan dalam hal kurangnya kesiapan fisik dan psikhis untuk memiliki anak.

Studi global menunjukkan bahwa bencana meningkatkan perkawinan anak. Konflik di Siria, misalnya menyebabkan adanya peningkatan perkawinan anak sebesar 20%.

Di Bangladesh, banyak penyintas banjir bandang menganggap mengawinkan anak perempuannya adalah opsi karena tidak harus memberi makan dan menyekolahkan (girlsnobride.com, September 2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun