Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kompasianival? Saya Boleh Penasaran, Kan?

7 November 2019   22:47 Diperbarui: 8 November 2019   15:27 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nominee Kompasiana

Pada 5 November sekitar jam 23.40, ketika saya masih duduk di depan laptop, seorang kawan mengirim WA "Eh namamu ada di deretan nominee Kompasiana Award".   

Kok saya? Saya buka 'link' yang kawan saya bagi. Tentu ini suatu surprais. Saya lalu WA mbak Maurin.  Ini karena sejak September mbak Maurin menulis tentang nama yang ia jagokan. Juga namanya ada di sana. 

Saya akhirnya kembali ke laptop saya, melanjutkan pekerjaan. Ini bukan disengaja. Bukan karena sok-sokan. Saya sedang cukup tegang dikejar tenggat waktu laporan. 

Beberapa jam ke depan, yaitu tanggal 6 dan selanjutnya 7 November saya bersama tim harus melalukan presentasi hasil evaluasi di depan pejabat, pimpinan lembaga UN dan 'stakeholders'. 

Lalu, siang tadi saya menerima email dari tim Kompasiana tentang nominasi tersebut. Mereka mengundang nominator untuk menuliskan/memasarkan/ mengkampanyekan nominasi via Kompasiana ataupun sosmed. 

Saya baru sadar. Saya terlewat tidak menengok Kompasiana beberapa hari ini.  Akhirnya, siang tadi saya tulis pesan pendek di Facebook. 

Banyak Menulis Karena Kaki Terpaksa Ber 'Kruk' Selama 3 Bulan

Saya merasa terhormat terpilih menjadi nominator "Best in Opinion" Kompasiana. Saya berterima kasih kepada Kompasianer yang murah hati, dan tentu juga pada redaktur Kompasiana.  

Bagaimana tidak?  

Pada awalnya, saya menulis karena rasa kecewa pada media arus utama yang tak punya ruang untuk berbagi situasi pengungsian pasca gempa Lombok. 

Pasalnya  sejak 1 September sampai akhir Desember 2018 saya adalah relawan pasca gempa Lombok untuk suatu LSM, Gema Alam NTB. Saya membantu memobilisasi 15 dokter, 2 psikholog dan 10 relawan dari berbagai profesi. 

Kami temukan jumlah ibu hamil berisiko tinggi (Risti) signifikan. Pemeriksaan dengan USG oleh dokter spesialis kandungan kepada lebih dari 400 ibu hamil menunjukkan bahwa 1 dari 5 ibu hamil berisiko tinggi (Risti). 

Separuh Risti adalah dari perkawinan anak.  Namun, mereka nyaris jauh dari "sentuhan" pemerintah.  

Seakan, ini adalah "business as usual". Kami beberapa kali 'melarikan' ibu Risti yang siap melahirkan ke RS. Padahal jaraknya 2, 5 jam dari Huntara, dan sebagian di antaranya tanpa BPJS. 

Karena isunya penting, beberapa kali saya mempersiapkan 'press release'. Tidak juga ada koran memuat.  Ada sih tulisan yang dimuat, namun itu ditulis hanya sedikit.  Juga, ketika wartawan meliput, isi tulisan seringkali meleset.  

Akhirnya, saya buka akun Kompasiana pada 25 Desember 2018. Saya muat 'press release' itu ke dalam halaman Kompasiana. Lhaaa, iyalah, sedikit sekali yang baca. 

Saya tetap coba. Kali ini, saya tulis artikel pasca gempa Lombok dengan cara berbeda.  Pembaca bertambah. Saya ingat, mas Ajinatha yang senior bercentang biru menyapa artikel tentang sekolah darurat yang kami bangun di desa terpencil. 

Sekolah itu hanya ada 1 guru yang mengajar 4 kelas paralel. Ini penghargaan bagi saya. Beberapa kompasianer lain menyapa. 

Saya terus membagi tulisan. Kadang kadang berupa 'uneg uneg'. Kali lain terkait minat saya. Mulailah saya kenal apa itu artikel 'pilihan' dan 'artikel utama'. Centang Hijau, dan Centang Biru. Namun, yang saya pikir hanya satu. Saya tulis apa yang ada di kepala saya. Saya tulis dengan bahagia. Itu saja. 

Saya senang untuk bisa berkenalan dengan penulis keren dari berbagai kalangan dan usia. Menurut saya, semua Kompasianer menarik. 

Mungkin menulis jadi 'suratan' saya di 2019. Di pertengahan bulan Januari 2019 saya terpaksa harus 'kost' di rumah sakit. Bukan satu kali, tetapi dua kali.  Ini karena saya jatuh dan kaki saya cedera. Setelahnya, selama tiga bulan saya harus berjalan dengan dibantu kruk. 

Ini tak mudah. Pekerjaan saya menuntut perjalanan dan kerja lapang. Sementara, kruk memaksa saya hanya bekerja di rumah, di depan laptop. Ini membuat saya ada waktu untuk menulis secara reguler di Kompasiana.  

Saya belajar dari pak Tjiptadinata Effendi apa pentingnya 'blog walking'. Juga saya belajar dari Pak Dizzman (Jose Diazz) tentang menulis dengan pesan positif, meski kita hendak sampaikan kritik. Banyak lagi saya belajar. Perbincangan dan dialog Kompasianer membuat kami seakan saling kenal lama.  

Jadi, saya belajar dari sesama Kompasianer. Itu bukan rahasia. 

Satu Artikel Setiap Pagi

Saya mencoba menulis minimal satu artikel setiap pagi, setelah bangun tidur.  Saya akui, saya cukup cepat untuk menulis 'draft' artikel. 

Namun, tidak setiap hari saya muat karena proses editing perlu waktu. Oleh karenanya, jangan heran bila hampir selalu ada 'typo' di artikel saya. Jam istirahat makan siang atau rehat sore atau malam hari adalah saat yang saya pakai untuk mengedit. 

Sebetulnya, tulisan saya tanpa fokus pada minat tertentu. Saya tulis artikel sosial budaya, ekonomi, politik, fesyen, kuliner, film, lagu, dan apa saja yang terlintas di kepala. 

Mungkin, humor dan olah raga yang belum pernah saya tulis. Sempat saya coba uji nyali, tulis puisi atau cerpen. Tentu dengan risiko, bahwa tulisan itu picisan, receh, dan siap di'bully'. 

Nah, itu dia. Menulis di Kompasiana membuat saya bahagia. 

Jadi, Apa yang Terjadi di 23 November 2019 Nanti?

Saya telah daftar untuk hadir. Bahkan, saya sempat daftar untuk jadi relawan di tugas pendaftaran. Tapi, rupanya relawan punya kriteria, harus muda (antara 20 sampai 30 tahun, bila tak salah), dan lincah tangkas. 

Saya sempat tertawa ketika balas artikel Kompasiana itu. Rasanya saya lincah tangkas menjadi relawan pasca bencana lho. Bahkan, di lapang, biasanya saya yang menyetir mobil 'open bak' yang membawa dokter dan relawan lain ke desa desa dan pengungsian. Tapi, saya paham kok mengapa ada kriteria itu. 

Nah, di Kompasianival pada tanggal 23 November 2019 nanti, saya akan berangkat tanpa punya keinginan berlebih. Saya ingin bertemu, berbincang, dan 'kopi darat' dengan Kompasianer yang selama ini hanya bisa berkomunikasi, saling ledek dan mem 'bully' di artikel. 

Juga saya akan menikmati 'talk show' dan dialog orang orang yang menarik. Sebut saja Yusuf Kalla, Nadiem Makarim, Susi Pudjiastuti, Najwa Shihah.  Mereka adalah yang sering kita rasanin atau jadi acuan dalam artikel. 

Tentu, saya akan turut bergembira dan merayakan bersama Kompasianer para pemenang 'award', siapapun mereka.  Foto rame rame itu tentu masuk agenda. 

Mungkin, bagi Kompasianer yang telah lama bergabung, Kompasianival kurang menarik. Tapi, saya tetap penasaran untuk hadir atas alasan alasan di atas. 

Saya menerima cukup banyak pesan melalui pesan pribadi. Terima kasih, ya, sahabat Kompasianer. Itu semua mengharukan. 

Ada pesan dari salah satu Kompasianer via WA "Wah kalian akan berperang sadis di nominasi Best in Opinion. Nominee punya ragam pandangan politik yang berbeda beda. Coba lihat tulisan mereka soal politik di masa Pilpres". 

Tapi saya pikir ini bukanlah soal perang. Prof Felix Tani adalah sahabat dalam bully soal Soto Karso dan Gopay Kompasiana, dan saya sering lakukan rayuan dialog sosial budaya dan gender kepadanya. Sementara, sayapun penikmat tulisan pak Himam, pak Edy, dan bang Ryo. 

Jadi, pesan saya untuk diri sendiri adalah "Nikmati dan rayakan silaturahmi". 

Tetap sehat, Kompasianer.  Sampai bertemu di 23 November 2019 ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun