Teluk Sumbang adalah salah satu desa di Kecamatan Biduk Biduk di ujung Kabupaten Berau yang berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur. Wilayah pantai ini luar biasa indah.
Saya bersama kawan satu tim kerja yang melakukan penelitian sosial dalam konteks pembangunan pembangkit listrik tenaga matahari. Kala itu kami mengunjungi beberapa desa, yaitu Long Beliu, Merabu dan Teluk Sumbang. Ketiga desa itu memiliki daya tarik alam dan budaya yang luar biasa.
Memang, ketiga desa itu saat ini sudah dapat menikmati listrik 24 jam dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Namun, kala kami berkunjung di penghujung tahun 2017, lampu hanya menyinari perumahan masyarakat melalui genset komunal yang beroperasi 4 jam saja, sejak pukul 18.00 sore dan padam persis pukul 22.00.
Bisa dibayangkan beban ekonomi masyarakat. Bahan bakar berupa minyak solar untuk genset yang relatif mahal bagi masyarakat sederhana itu tak bisa membuat operasional lami bertahan lama. Juga, bahan bakar solar bukanlah enerji yang ramah lingkungan. Setelah menikmati ikan merah bakar, sisa waktu kami hanyalah untuk tidur, atau paling tidak menikmati gelapnya malam.
Apa lagi yang harus dilakukan di tempat seindah dan seterpencil Teluk Sumbang selain tidur di beranda rumah panggung kayu warga dan menikmati ribuan kerlip bintang.Â
Lantai kayu tanpa alas memang membuat punggung tua pegal. Signal HP tak ada. Semuanya itu bukan menjadi alasan berkeluh. Yang ada, hanyalah takjub menikmati ketenangan malam gelap dengan kerlip bintang. Semilir angin membuat saya mudah terkantuk.
Di pagi hari, badan terasa luar biasa segar. Pemandangan Teluk Sumbang dari rumah panggung kayu sangatlah indah. Rasanya, enerji bintang dan udara terbuka membuat oksigen di paru paru tergantikan dengan yang baru. Hati damai. Selanjutnya, kami diajak pergi bersama tim mengikuti perahu tim Akuo yang mengembangkan eko wisata laut. Kami berperahu. Beberapa teman mencoba snorkeling. Saya cukup duduk di dalam perahu. Mata saya yang menggunakan soft lens minus tujuh dan tidak membawa pengganti tidak memungkinkan saya bermain air.
Air yang jernih kebiruan. Pasir putih. Dan penyu penyu berkejaran berenang di bawah perahu. Kami antusias mendapat kabar seringnya ikan paus bermain dengan para penyelam. Mudah mudahan ikan paus tidak punah dengan kedatangan wisatawan yang mungkin akan terus berdatangan.
Sepulang dari berperahu dan menikmati teluk yang indah, yang memakan waktu hanya sekitar 2 jam, kami naik motor ke wilayah pemukiman Suku Basap. Kami perlu bertemu dengan warga dan mendengar apa yang mereka ketahui tentang rencana pembangunan instalasi listrik bertenaga matahari dan mikro hidro.
Tidak jauh, hanya 500 meter dari rumah panggung tempat kami menginap, sampailah kami ke rumah warga Dayak Basap. Udara di wilayah perumahan warga Dayak Basap sejuk pagi itu Rumah rumah yang ada pada umumnya adalah "Bale Sapoklit'.
Rumah yang sederhana. Memang nampak terdapat sembilan rumah berbahan material batako dan bersemen serta beratap seng bantuan Dinas Sosial. Oleh masyarakat, rumah itu disebut sebagai rumah batu. Mau tak mau saya perlu belajar tentang suku dayak Basap yang hidup di wilayah ini.