Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

"Jokometer", Barometer Jokowi pada Periode Kedua

20 Oktober 2019   17:22 Diperbarui: 21 Oktober 2019   09:30 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

"Layarku sudah terkembang. Kemudiku sudah terpasang. Kita menuju Indonesia Maju", Jokowi, Pidato Pelantikan Presiden RI ke 7, 20 Oktober 2019

PELANTIKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN RI PERIODE 2019-2024 

Minggu (20/10) Jokowi dilantik untuk kedua kalinya sebagai Presiden. Hiruk pikuk soal upaya untuk menjegal acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden gugur sudah.

Penjagaan militer yang besar besaran pada jelang pelantikan Presiden sempat dikritisi banyak pihak, termasuk Amnesty International.

Dalam pidatonya, Jokowi menyebut soal cita cita dan mimpi untuk terus mengejar target pertumbuhan ekonomi dan kerja yang cepat. Beberapa konteks pembangunan disebutnya. 

Jokowi menyebut persaingan ekonomi dan menghindari rutinas monoton. Inovasi disebut perlu sebagai budaya. Jokowi juga memberi ilustrasi atas inovasi apa yang dilakukannya pada soal keprotokolan di masa yang lalu, soal titik berdiri Jokowi berdiri pada acara acara pertemuan yang monoton.

Jokowi menyebut untuk tidak lagi berorientasi pada proses tetapi pada hasil. Ini mungkin perlu dijelaskan oleh Jokowi sesudah pidatonya. Di satu sisi, hasil di lapangan yang dirasakan masyarakat menjadi utama dan didelivered oleh birokrasi. Namun, penyebutan bahwa proses tidak perlu mungkin perlu dibedakan ketika berbicara soal proses penyusunan Undang Undang dan mendorong keadilan dalam aspek sosial.

Bonus demokrasi disebut sebagai hal kritikal dan harus menjadi kesempatan. 

Jokowi menyebut 5 aspek utama dalam periode keduanya. Kelimanya adalah untuk mendukung ekonomi yang kondusif. 

  1. Pembangunan SDM yang dinamis dan trampil dan menguasai teknologi. Mengundang talenta global untuk bekerjasama dengan SDM kita disebut pula. Tentu ini akan mendapat komentar warga terkait belum diproteksinya SMD Indonesia.
  2. Infrastruktur yang menghubungkan produksi dan perdagangan. Sektor wisata menjadi bagian pentin pada sektor ini. 
  3. Regulasi disederhanakan dan dipangkas. Pemerintah akan mengajak DPR akan mengundang UU besar "Omnibus" terkait cipta lapangan kerja dan UU pemberdayaan UMKM. Masing masing Undang Undang tersebut akan menjadi satu Undang Undang yang merevisi berbagai Undang Undang. Undang Undang yang menghambat pengembangan SDM dan UMKM akan direvisi sekaligus
  4. Penyederhanaan proses investasi yang menciptakan lapangan kerja akan dilakukan. Birokrasi dan eselonisasi akan disederhanakan. Eselon 1 sampai dengan 4 akan disederhanakan menjadi 2 eselon dan menambah peran fungsional yang menghargai kompetensi. Jokowi menyebut bahwa penjabat yang tidak mendukung mimpi itu akan dicopot.
  5. Transformasi ekonomi akan diarahkan ke sektor manufaktur dan sektor yang memberi nilai tambah tinggi. Ini perlu dijelasklan lagi terkait bagaimana sektor pertanian dikelola, dan bagaimana proses mendorong manufaktur tetap mengindahkan aspek sosial masyarakat.

Jokowi mengucapkan terima kasih kepada Yusuf Kalla dan lembaga negara serta aparat pemerintah dan juga Polri yang telah mendukung jalannya pemerintahan yang lalu.

Jokowi memberi ajakan, "Layarku sudah terkembang. Kemudiku sudah terpasang. Kita menuju Indonesia Maju".

Pidato Jokowi sangat jelas, yaitu berfokus pada sektor ekonomi dan infrastruktur.  Jokowi tidak menyebut upaya dan perhatian yang perlu pada aspek pertanian, lingkungan dan perubahan iklim, HAM serta pemberantasan korupsi. 

Ini berbeda dengan pidato Jokowi pada tahun 2014 "........komitmen bekerja keras mencapai cita-cita bersama sebagai bangsa yang besar. Ini saatnya menyatukan hati dan tangan, ini saatnya bersama sama melanjutkan sejarah berikutnya, yakni mencapai kejayaan indonesia di bidang politik dan berkepribadian dalam kebudayaan".

PERBEDAAN JOKOWI PADA PERIODE PERTAMA DAN KEDUA 
Apa yang mungkin akan berbeda dari dua periode ini?

Pertama, pemindahan ibu kota baruIni akan jadi hal besar akan menjadi pembeda. Pembangunan sektor yang ada di RPJMN 2019 -- 2024 serta penganggarannya tentu akan mengikuti rencana besar ini. Walaupun disebutkan bahwa pembangunan manusia akan menjadi titik utama, pembangunan infrastruktur mau tidak mau akan tetap menjadi sektor utama.

Rumor tentang pemindahan ibu kota baru yang berkait dengan isu politik memang santer. Ini terjadi setelah Jokowi mengumumkan secara resmi Kalimantan Timur menjadi ibu kota baru negara.

Bukan hanya soal "deal" politik, pemerintah juga disebut kongkalingkong dengan pihak swasta dalam pengembangan pembangunan kawasan tersebut. Ini menjadi banyak diskusi karena lahan milik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Kalimantan Timur ternyata masuk ke dalam wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai ibu kota baru Indonesia (Kompas, 29 Agustus 2019).

Prof Emil Salim, kepada Suara.com, menyampaikan bahwa dalam proses memindahkan ibu kota dari Jakarta. Menurutnya, referendum hanya akan melahirkan unsur politis baru. 

Ia menambahkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki kuasa untuk memutuskan ibu kota dipindah yang merupakan hasil dari masukan-masukan para ahli.

Sanggahan bahwa hal ini tidak benar telah disampaikan oleh istana terkait hal ini. Ini disampaikan oleh Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Adita Irawati, tudingan tersebut tak memiliki dasar. (Kompas.com, 28 Agustus 2019). 

Adita mengatakan bahwa lokasi pemilihan ibu kota baru di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, telah melalui serangkaian kajian mendalam dari berbagai aspek oleh Bappenas dan kementerian lain.

Yang jelas, tuntutan masyarakat sipil, khususnya mereka yang hendak menegakkan hak asasi manusia dan lingkungan akan bermunculan dan meningkat. Pindah ibukota tidak masalah, asal isu  HAM masyarakat adat Dayak yang akan mendapat sorotan penggiat HAM di dalam maupun di luar negeri perlu menjadi pertimbangan. 

Kedua, melemahnya upaya pemberantasan korupsi. Ini bukan rahasia. Di periode pertama, Jokowi adalah pembela KPK. Namun, hal ini menjadi suatu anti klimaks ketika sebelum masa paripurna DPRRI, Undang Undang KPK direvisi.

Demo penolakan revisi UU KPK.(oto : Tribunnews.com
Demo penolakan revisi UU KPK.(oto : Tribunnews.com
Terjadi banyak penolakan atas revisi ini dari berbagai kalangan, baik universitas, mahasiswa dan kalangan masyarakat sipil. Demonstrasi besar besaran juga terjadi. Tuntutan untuk menerbitkan Perppu bermunculan keras. Ironisnya, sampai dengan jelang pelantikannya, Jokowi tetap tidak bergeming. Revisi Undang Undang KPK telah berlaku secara resmi.

Proses kaji materi di Mahkamah Konstitusi tampaknya tak dapat dicegah. Namun, banyak pihak pesimis atas independensi Mahkamah Konstitusi. Juga, separuh dari anggota DPRRI masa 2019-2024 yang masih terdiri dari anggota DPRRI yang lama adalah pendukung revisi UU KPK. 

Kedepan, Jokowi tentu tidak diharapkan bersikap represif melalui Polri dalam "menahan" demonstrasi mahasiswa. Ini akan menyebabkan penolakan padanya. Semua pihak menghargai kekhawatiran para elit politik soal risiko keamanan jelang pelantikan. Namun, menjadi realistis dalam hal demokrasi dan gerakan anti korupsi semestinya dipahami Jokowi. 

Berbagai lembaga anti korupsi dunia seperti Amnesty International serta lembaga Persatuan Bangsa Bangsa menyayangkan hal ini. Posisi Indonesia pada indeks persepsi korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) diduga akan merosot, padahal CPI telah meningkat pada tahun 2018.

Ketiga, anggota kabinet. Pada periode pertama, Jokowi adalah Presiden Indonesia dengan anggota kabinet perempuan terbanyak. Sembilan perempuan ada di antara 34 menteri yang duduk di kabinet Jokowi pada 2014-2019. 

Mereka adalah Retno Lestari Priansari Marsudi (Menteri Luar Negeri), Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Puan Maharani (Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), Nila F. Moeloek (Menteri Kesehatan), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), Yohana Susana Yambise (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Rini Mariani Soemarno (Menteri Badan Usaha Milik Negara), dan Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan). Istimewanya, kesembilan menteri perempuan di masa 2014-2019 dinilai punya kredibilitas.

Meskipun harapan bahwa Jokowi akan mempertahankan jumlah anggota kabinet perempuan pada periode keduanya, namun tampaknya ini sulit dilakukan karena adanya negosiasi politik yang makin tinggi.

Untuk periode kedua terdapat tendensi akan adanya penurunan jumlah perempuan. Perempuan yang mungkin masih akan duduk di kabinet adalah Retno Marsudi dan Sri Mulyani Indrawati. Terdapat kemungkinan akan adanya anggota kabinet perempuan yang baru untuk mengisi Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Kementerian yang membidangi sumber daya manusia.

Perkiraan itu didasari pada kemungkinan lebih beratnya pemilihan menteri yang berasal dari kalangan politik. Seandainya demikian, maka ini dianggap sebagai kemunduran.

Selain terkait anggota kabinet perempuan, komposisi anggota kabinet yang lain tampaknya akan diisi oleh partai partai, baik dari partai koalisi pendukung Jokowi di Piplres yang lalu, maupun partai lain yang oposisi tetapi telah tampak "berdamai" akhir akhir ini. 

Tak kurang, terdapat kemungkinan dipilihnya Prabowo sebagai salah satu anggota kabinet. Ini tentu akan merubah konstelasi politik negeri. Apalagi, Prabowo dan Sandiaga Uno disebut pula dalam pidato pelantikan Jokowi.

Terdapat kekhawatiran beberapa pihak atas kemungkinan kemungkinan ini, khususnya atas persoalan tiadanya oposisi yang akan mengontrol jalannya pemerintahan. Juga, masyarakat sipil mempertanyakan kasus pelanggaran HAM yang diduga pernah dilakukan Prabowo. 

Beberapa hal terkait soal terlalu dekatnya pemerintah dengan sektor swasta dan kelompok yang terlalu dekat dengan Orde Baru dianggap akan melemahkan profesionalisme kabinet yang akan datang.

Keempat, aspek Hak Asasi Manusia dan Penegakan HukumIni dikhawatikan akan jalan di tempatBahkan, di awal pemerintahan Jokowi pada periode pertamapun telah terdapat persoalan tidak kuatnya kabinet mendorong kedua hal di atas. 

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas, Andalas Feri Amsari, menilai, dalam dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, banyak permasalahan hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang belum bisa diselesaikan. Pemerintah juga dianggap tidak mampu membangun birokrasi antikorupsi dengan baik (Tempo, 23 Oktober 2016).

Kasus Munir, kasus Novel Baswedan dan berbagai kasus HAM masih ada di dalam PR Jokowi. Begitu juga kasus HAM di wilayah Papua yang memicu konflik belum lama ini. Jokowi dinilai tidak pernah secara langsung memerintahkan kepolisian dan kejaksaan mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. Padahal ini adalah hak kewenangan Presiden (Tempo.co.id, 23 Oktober 2016).

Kelima, isu politik dan hukum. Dalam hal aspek politik dan hulum menunjukkan kecenderungan Jokowi untuk mendukung usulan partai yang mendukungnya terkait persoalan hendak dikembalikannya GBHN dan amandemen UUD 1945. Kekhawatiran bahwa pemilihan presiden akan dilakukan oleh pemilihan MPR menjadi kekuatiran akan mundurnya demokrasi Indonesia.

Kelima hal tersebut di atas adalah perkiraan barometer kerja Jokowi yang saya sebut sebagai "Jokometer". Ini adalah area pokok yang perlu menjadi perhatian bersama. 

KUTUKAN PERIODE KEDUA  
"Kutukan Periode Kedua" dipercaya terjadi di hampir kebanyak kasus kepresidenan pemerintah Amerika Serikat. Dicatat bahwa pada umumnya periode kedua berisi banyak skandal, kebijakan yang mandeg, bencana, dan persoalan lain. 

Terdapat 21 orang presiden Amerika yang dicatat memiliki pengalaman sampai periode kedua. Mungkin hanya Franlin D Roosevelt yang mengalai masa kedua, ketiga dan keempat, sementara prisiden lain dianggap terkena hantu George Washington (Wikipedia.org).

George Washington, misalnya mengalami persoalan terkait hasil peran revolusi perancis dan kontroversi terkait penanganan "Jay Treaty” yang membelah politik Amerika. Sementara presiden James Madison mengalami terbakarnya Washington, Abraham Lincoln alami pembunuhan di periode keduanya.

Di masa Richard Nixon, skandal "Watergate" yang hadir di periode kedua membuatnya tidak popular yang akhirnya mendorongnya untuk mengundurkan diri.

Kita ingat pula skandal perempuan, termasuk soal Lewinsky,  yang dihadapi Bill Clinton di periode kedua. 

Kritik kepada Obama ketika menyelesaikan isu virus Ebola dan beberapa kasus terorisme di dalam negeri Amerika ada di periode keduanya.

Di dalam masa kepresidenan hasil pemilu di Indonesia, pengalaman SBY atas banyaknya kasus korupsi oleh partai Demokrasi di masa periode kedua SBY adalah hal yang dicatat. Kasus Bank Century juga jadi sejarah di masa SBY. 

Dalam hal Jokowi, ada campur aduk antara harapan dan kekecewaan. Yang jelas, suasana pelantikan dan pidatonya pada periode pertama berbeda dengan pada periode kedua. Pada periode pertama, pidato mencakup hal hal kritikal, soal spirit kerja dan aspek sosial, budaya dan ekonomi. 

Pidato Jokowi pada pelantikan kedua berfokus pada aspek ekonomi. Ada harapan terkait penyederhanaan prosedur dan aturan, baik dalam hal perijinan maupun dalam jenjang jabatan di pemerintahan. Kekhawatiran pada dilupakannya persoalan persoalan demokrasi, penegakan hukum, lingkungan, keadilan sosial, kesetaraan gender serta anti korupsi mengganjal. 

Beberapa peristiwa yang terjadi akhir akhir ini terkait "kecerobohan" Jokowi terkait revisi UU KPK dan juga revisi berbagai perundangan yang mengancam demokrasi sungguh menkhawatirkan. Juga, ada kesan tidak kuatnya dukungan pemerintah agar DPRRI menyetujui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, padahal upaya dialog kelompok perempuan telah terus dilakukan. 

Menurut saya, Jokowi sudah tidak bisa lagi memberikan sepeda kepada masyarakat lagi, meski di periode pertama ini dianggap menarik dan mewakili spirit kerja dan kerja. Entahlah, sulit saya membicarakannya. 

Pemberian hadiah sepeda ini sempat jadi simbol ini telah kurang kuat bobotnya, khususnya ketika Jokowi kurang perduli pada hal hal prinsipil yang mempengaruhi kehidupan masyarakat miskin, seperti terkait korupsi, penegakan hukum, dan HAM, serta dalam hal keadilan. 

Persoalan dampak samping pembangunan yang berfokus pada ekonomi dan infrastruktur telah kita catat, di antaranya pada persoalan Papua. Juga persoalan lingkungan yang serius, termasuk dalam hal pembakaran hutan oleh swasta. 

Dan, seberapa masyarakat sipil bisa mempengaruhi kerja pemerintah Jokowi dan DPRRI ke depan? 

Periode kedua tentu berat bagi Jokowi dan kabinetnya. Tentu ini juga menjadi kerja tak mudah bagi masyarakat sipil dan kita semua untuk mengawasi kerja pemerintah dan DPRRI. Apalagi, kerja DPRRI juga menunjukkan kecenderungan untuk menekan Jokowi untuk melakukan hal terkait UU KPK, yang menjadi sandungan kepercayaan masyarakat luas. 

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI baru berjalan di hari Minggu kemarin. Sayangnya, mediapun hanya berfokus pada pembentukan kabinet. Itu muncul dalam konprensi pers setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI. 

Seandainya kita menjadi bagian dari media, pertanyaan terkait kekhawatiran kekhawatiran itulah yang saya ingin ajukan. 


Pustaka : KeSatu, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Ketujuh 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun