Sempat muncul persepsi bahwa adalah medsos yang lebih bising daripada realitas politik yang ada. Persepsi ini tidak bisa dipersalahkan, karena politisi yang menjadi corong politik di media arus utama dan media sosial tetap kencang dalam membangun persepsi.Â
Di tengah suasana penantian masa pelantikan Presiden terpilih Jokowi dan paripurna DPR masa kerja 2014-2019, terjadilah isu pansel pimpinan KPK yang dianggap bermasalah tidak dan revisi UU KPK yang dilakukan tanpa konsultasi. Polemik muncul. Â
Polarisasi terus berlanjut, dan bahkan memuncak dengan adanya sentimen radikalisme yang dianggap ada dalam tubuh KPK. Beberapa 'buzzer' pendukung pemerintah dan DPR punya kecenderungan menggunakan sentimen pada radikalisme untuk menjadi pintu masuk pada pelemahan KPK.
Isu revisi UU KPK mampu membuat publik melakukan tanggapan. Pada saat yang sama isu revisi UU KPK juga membuka mata kita akan adanya polarisasi yang makin tajam.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pembentukan suku suku baru menguntungkan demokrasi kita ?
Gerakan demokrasi yang anti korupsi, yang transparan, dan menjunjung HAM tampaknya makin tergerus oleh perilaku kita selaku masyarakat sipil.Â
Sampai kapan kita harus percaya bahwa pelanggaran HAM, pelanggaran prinsip demokrasi dan menggembosi lembaga anti surah kita lakukan demi dan atas nama NKRI?. NKRI penting sekali, dan seharusnya terintegrasi dalam prinsip prinsip demokrasi. Namun, kesatuan dan NKRI yang mana yang kita bela, bila kita sebagai masyarakat sipil membiarkan dipecah belah oleh politik para pemegang kuasa yang memporak porandakan demokrasi kita? Â
*) Refleksi diri jelang peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018.
Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H