Akibatnya, ditemukan pandangan yang 'keluar' dari prinsip, konsep, praktek maupun bukti empiris tentang nilai yang dipertahankan dalam berdemokrasi dan tata kelola yang bertanggung jawab. Misalnya, bagian dari masyarakat sipil mengamini proses revisi undang undang KPK yang dilakukan senyap tanpa konsultasi publik.Â
Juga, alasan menjaga NKRI dimunculkan tanpa penjelasan. NKRI penting sekali, namun ini tidak bisa hanya sebatas norma. Ini jadi mirip jaman ketika nenek ingatkan saya ketika pergi bersama teman lawan jenis "Jangan hamil. Ati ati. Jangan hamil". Itu bisa berulang dikatakan setiap saat saya pergi. Bayangkan rasanya. Dan bila kalimat yang sama diucapkan di jaman now kepada millenial, mereka mungkin lelah dan mual. Mereka mungkin akan lebih paham dan nyaman dengan cara penyampaian yang berbeda. Ini sama dengan bicara soal NKRI. Kita semua sepakat, NKRI itu penting.Â
Hal yang menggelitik terkait pandangan di masyarakat sipil kita adalah ketika seorang mantan aktivis 98 yang bergelar S3 lulusan hukum salah satu negara Eropa dengan keras mem'bully' gerakan mahasiswa yang berdemo menolak revisi UU KPK. Ia mengomentari setiap gerak mahasiswa, termasuk  detil substansi yang muncul dalam wawancara BEM beberapa universitas di media televisi.  Juga, ia melecehkan soal tuntutan masyarakat pada penerbitan Perppu. Lucunya, komentar yang ia tulis berbeda betul dengan apa yang ada sebagai fakta. Ada apa ya? Apakah ia influencer? Atau buzzer?Â
Buzzer memang tugasnya mengundang kerumunan. Kerumunan ini, sayangnya, bukan hanya sekedar membangun opini, tapi juga sering makin mendorong polarisasi.Â
Coba kita cermati tanggapan pimpinan redaksi Tempo tentang buzzer yabg belakangan menyerang Tempo.Â
Majalah Tempo disebut sebagai Tempo Taliban karena dianggap membela KPK. Tempo menjelaskan bahwa sebagai sebagai media, mereka menyoroti gerakan korupsi yang melemah karena KPK sebagai lembaga yang dipercaya publik untuk mengemban mandat anti korupsi digembosi secara bersama oleh DPR dan pemerintah melalui revisi UU KPK. t
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifl mengatakan bahwa buzzer yang mendengung pada umumnya anonim. Mereka tidak gunakan identitas aslinya. Ini dianggap sulit dari sisi pertanggungjawaban ketika apa yang disampaikan memuat informasi yang salah atau memelintir fakta.Â
Memang buzzer bekerja berdasarkan jumlah kerumunan. Mereka menarge jumlah 'like' maupun 'retweet'. Kerumunan itupun punya topik dan pandangan berbagai.
Ketika buzzer dipakai oleh penguasa, baik itu pemerintah ataupun parlemen, maka persoalan muncul. Gerak pemerintah dan parlemen yang seharusnya kita pantau akuntabilitasnya menjadi tidak jelas.Â
Sering kita temukan buzzer menyerang media yang meliput pemberitaan terkait seorang tokoh pemerintah atau politik tertentu, yang disebut oleh Arif Zulkifli sebagai ' to kill the messanger' atau membunuh pengirim pesan dan bukan membunuh pesannya. Juga, buzzer mendorong komentar publik pada atribusi dan bukan pada isu.Â
Kita bisa baca artikel di Reuter di bulan Maret 2019 terkait akun 'Janda' di media sosial yang seakan merepresentasikan perempuan tanpa suami yang setiap hari mendengung untuk mendukung salah satu paslon pilpres pada masa Pemilu 2019.Â