Seorang dokter spesialis jiwa yang bertugas di RSUD Schoolo Keyen, Papua Barat melaporkan bahwa terdapat persoalan kejiwaan ditemui di antara korban dari kerusuhan. Pemilih ruko yang dijarah dan dibakar, misalnya, ditemukan memiliki keluhan dan trauma (Liputan6, 7 Oktober 2019).
Untuk menangani warga Papua yang memiliki trauma dan keluhan kejiwaan, pendekatan yang dilakukan perlu menggunakan aspek budaya.
Persoalan yang kompleks terkait sebab musabab konflik tidak yang tak mudah dipahami membingungkan warga. Ditambah, terminilogi "pendatang" dan "orang asli" makin mengemuka akhir-akhir ini.Â
Ini tentu membuat persoalan makin kompleks. Padahal, baik pendatang maupun orang asli Papua sama-sama menjadi korban ketika terjadi konflik.Â
Namun kecurigaan bahwa orang asli Papua tidak akan mendapatkan pelayanan yang sama baiknya dengan apa yang didapat oleh orang mendatang menjadi kekhawatiran warga Papua. Ini dipahami karena kebanyakan tenaga medis memang pendatang.Â
Persoalan yang nyata adalah ketersediaan rumah sakit jiwa dan aksesibilitasnya. Ini merupakan tantangan bagi warga di kedua provinsi karena hanya ada satu RSJ yaitu yang berada di Abepura.Â
Apalagi, suatu studi tentang layanan kesehatan jiwa dari desa Wutung yang berada di perbatasan provinsi Papua dengan PNG menunjukkan lebih dekat untuk mengakses RS jiwa Dian Harapan di Abepura daripada ke RS Vanimo do PNG.Â
Ini tentu memuat RSJ di Abepura menampung banyak tambahan pasien dari PNG. Dalam hal ini, transportasi adalah tantangan yang utama warga Papua untuk mendapat layanan kesehatan jiwa.
Diberitakan pula bahwa daya tampung RS Jiwa Abepura tidaklah memadai. Jumlah tempat tidur yang 104 unit tidak mampu menjawab kebutuhan yang ada. Oleh karenanya, dilaporkan bahwa terdapat pula pasien yang terpaksa dirawat harus tidur di lantai yang diberi alas kasur. (Papua Antara News, 12 Febuari 2019).Â
Jadi, pasien dari kabupaten-kabupaten di Papua memang harus dikirim ke RS di Abepura karena puskesmas yang ada tidak memiliki layanan untuk kesehatan jiwa.