Pelantikan Anggota DPR RI di MediaÂ
Adalah menarik menyaksikan apa yang ditampilkan di media pada saat pelantikan anggota DPR baru baru ini.Â
Selain persiapan rapat paripurna yang dilakukan dalam suasana penuh demontrans, upacara pelantikan juga amatlah menarik. Tidak hanya sumpah dari lebih dari 500 anggota DPR itu saja, tetapi juga hal-hal yang dianggap viral.
Dandanan Krisdayanti yang dilakukan make up artis tersohor dan tasnya yang berharga ratusan juta ditayangkan ulang oleh banyak media.Â
Lihat saja judul beberapa video di Youtube "Cantiknya Krisdayanti Saat Pelantikan Anggota DPRRI", "Ulik Gaya Busana Krisdayanti Saat Pelantikan Anggota DPR" atau "Makna Mendalam Batik yang Dikenakan Krisdayanti di Saat Pelantikan" (Liputan6).
Juga Mulan Jameela yang diberitakan akan menceraikan suaminya, Ahmad Dhani yang ada di dalam penjara juga ramai di media. Lalu, judul-judul yang muncul di media, antara lain: "Mulan Jameela Ditemani Seorang Pria Saat Pelantikan DPR RI 2019-2024" (Tribunnews).
Tak kalah hebohnya adalah adanya tiga orang anggota DPR yang menggandeng tiga istrinya pada saat pelantikan "Lora Fadil Bawa Tiga Istri ke Pelantikan DPR, Ini Profilnya (Detik) dan artikel tentang Lora ada di banyak media.
Saya sering bertanya, apakah memang kita terlalu bodoh ya sehingga kita gembira saja disodori berita yang tidak mewakili pemahaman apa itu demokrasi, meski ini terkait wakil rakyat.Â
Memang, masih terdapat media yang mengulas pelantikan anggota DPRRI dalam konteks yang lebih luas dan strategis. Namun media tersebut dapat dihitung dengan jari. Saya tidak harus menyebut jelas tetapi untuk media yang dapat diandalkan.
Di sisi lain, di media sosial (medsos) berseliweran berita yang simpang siur terkait politik di negeri ini. Terlebih dengan adanya isu revisi Undang-Undang KPK, aroma propaganda dan perang siber sangatlah terasa.
Media dalam Proses DemokratisasiÂ
Memang peran media atau pers mengalami pergeseran.
Di masa reformasi 1998, pers Indonesia punya peran penting. Pers memang tidak menjadi bagian dari pelopor gerakan perubahan. Namun, pers yang menampilkan berita dan tulisan yang kritis memberi kontribusi penting dalam proses perubahan sosial dan proses demokrasi.
Perkembangan media yang begitu pesat tidak hanya memfasilitasi produksi, diseminasi, dan pertukaran konten saja, namun juga mengakomodasi interaksi dan kolaborasi.Â
Ini tentu memengaruhi bagaimana tata kelola demokrasi dan praktik politik. Media yang semula dianggap non-partisan, kini telah berubah menjadi alat kerja pemerintah, parlemen maupun elit politis untuk berkomunikasi.
Inovasi media yang ada melalui media sosial, aplikasi digital, dan platform berbagi video, blog serta website makin luas dan menjadikan sistem media politik lebih kompleks.
Dan, tentu saja makin banyak media yang menjadi "mulut" dan alat politik dari para elit politik dan lembaga pemerintah, di samping media yang mengejar viral dengan mengungkap skandal skandal kehidupan pribadi politisi, sehingga peran media sebagai "watchdog" bisa dikatakan berakhir.Â
Bahkan, tidak jarang media menyebar berita yang ternyata kurang sesuai atau bahkan 'hoaks'.
Media, bersama kekuasaan dan uang dinilai secara kolaboratif merupakan trinitas dalam politik. Ketika ketiganya berada di tangan yang salah, maka dampaknya dalam merusak demokrasi menjadi besar.
Memang bisa dikatakan bahwa saat ini kita berada pada titik terendah dari peran media yang mendorong proses demokrasi. Pada saat yang sama, isu kebebasan pers memiliki potensi terganggu ketika KUHP direvisi jelang Paripurna DPRRI 2014-2019.
Di Swiss, penutupan media arus utama dicatat dalam beberapa tahun terakhir. Padahal selama ini media yang merupakan bagian dari masyarakat sipil dianggap sebagai darah demokrasi.Â
Ini disampaikan oleh Mark Eisenegger. Matinya media arus utama pada umumnya disebabkan oleh makin kecilnya pendapatan iklan dan berpindahnya iklan ke platform seperti Facebook dan Google. Salah satu contoh korban dari media ini adalah majalah L'Hebdo yang telah selama 35 tahun ada.
Di Amerika, berbagai pandangan berkembang terkait kegagalan media arus utama untuk membuat counterbalance atas ketidakjujuran dari politik yang toksik  di Amerika.Â
Media sosial menguasai pandangan warga, sehingga media arus utama kalah telak untuk membawa berita yang  bertanggung jawab. Apakah kitapun sedang alami ini?
Fokus pada Viral dan Media Sosial yang Merontokkan Demokrasi
Studi menunjukkan bahwa politisi dan aktor politik menggunakan skandal sebagai alat politik (Jenssen & Fladmoe, 2012). Mereka yang sedang berkuasa juga dapat menggunakan strategi komunikasi untuk membentuk dan mengkerangkakan skandal.Â
Politisi kemudian menggunakan secara sengaja dan provokatif pernyataan-pernyataan yang dapat memengaruhi agenda politik (Wodak, 2015).Â
Studi lain menggarisbawahi skandalisasi yang dapat memengaruhi perilaku masyarakat, yang pada akhirnya bisa menjatuhkan lawan politik atau menjatuhkan suatu pemerintahan (von Sikorski, Knoll, & Matthes, 2017).Â
Biasanya, skandalisasi memunculkan persepsi dan kepercayaan masyarakat akan situasi demokrasi (Bowler & Karp, 2004).
Skandal tentu akan viral dan ini disukai media dab pembacanya.Â
Studi "2019 Global Inventory Of Organised Social Media Manipulation" yang dilakukan oleh Universitas Oxford mengamati pengorganisasian media sosial oleh pemerintah dan partai politik selama tiga tahun.Â
Studi itu melihat tren propaganda dan penggunaan alat kapasitas, strategi dan sumber daya untuk tujuan politik di 70 negara, termasuk Indonesia.
Metode penelitian menggunakan kajian pustaka, analisis konten, studi kasus, dan wawancara. Di bawah ini adalah temuan kuncinya.
Terdapat bukti bahwa 48 dari 70 negara di 2018 dan 28 negara di 2017 menggunakan kampanye manipulatif melalu medsos. Medsos dipakai oleh banyak rezim otoritarian.Â
Di 26 negara, komputasi propaganda sebagai dipakai sebagai alat untuk mengkontrol informasi melalu tekanan pada HAM, pendiskreditan politik lawan, dan pembelokkan opini;
Beberapa negara menggunakan komputasi propaganda untuk memengaruhi operasional dan kebijakan luar negeri. Ini terjadi di Cina, India, Iran, Pakistan, Rusia, Arab Saudi, dan Venezuela dengan menggunakan platform untuk memengaruhi masyarakat global;
Cina adalah satu dari beberapa negara utama yang mengalami era disinformasi. Sampai dengan demonstrasi besar-besaran di Hongkong, penggunaan propaganda menggunakan platform Weibo, WeChat, dan QQ. Cina juga menggunakan FB, Twitter dan You Tube dan ini dianggap mengancam demokrasi;
Dari semuanya, FB adalah medsos pilihan untuk memanipulasi berita. Di 56 negara, termasuk Indonesia, ditemukan propaganda menggunakan FB adalah yang terbesar.
Dalam hal penggunaan siber, Indonesia termasuk negara yang menggunakan ketrampilan tingkat "rendah" yang menggunakan manusia dan robot saja dalam propaganda. Sementara terdapat beberapa negara lain yang menggunakan bukan hanya manusia dan robot tetapi juga metode yang lebih canggih.Â
Sementara kita mengkritik media yang makin lemah untuk mendorong demokrasi, masyarakat sipil yang terlena juga makin tidak peduli dengan substansi dan konten media. Ini tentu tantangan tersendiri.Â
Apakah memang kita terlalu bodoh untuk jadi masyarakat sipil yang punya media yang mendorong demokrasi?
Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H