Media sosial menguasai pandangan warga, sehingga media arus utama kalah telak untuk membawa berita yang  bertanggung jawab. Apakah kitapun sedang alami ini?
Fokus pada Viral dan Media Sosial yang Merontokkan Demokrasi
Studi menunjukkan bahwa politisi dan aktor politik menggunakan skandal sebagai alat politik (Jenssen & Fladmoe, 2012). Mereka yang sedang berkuasa juga dapat menggunakan strategi komunikasi untuk membentuk dan mengkerangkakan skandal.Â
Politisi kemudian menggunakan secara sengaja dan provokatif pernyataan-pernyataan yang dapat memengaruhi agenda politik (Wodak, 2015).Â
Studi lain menggarisbawahi skandalisasi yang dapat memengaruhi perilaku masyarakat, yang pada akhirnya bisa menjatuhkan lawan politik atau menjatuhkan suatu pemerintahan (von Sikorski, Knoll, & Matthes, 2017).Â
Biasanya, skandalisasi memunculkan persepsi dan kepercayaan masyarakat akan situasi demokrasi (Bowler & Karp, 2004).
Skandal tentu akan viral dan ini disukai media dab pembacanya.Â
Studi "2019 Global Inventory Of Organised Social Media Manipulation" yang dilakukan oleh Universitas Oxford mengamati pengorganisasian media sosial oleh pemerintah dan partai politik selama tiga tahun.Â
Studi itu melihat tren propaganda dan penggunaan alat kapasitas, strategi dan sumber daya untuk tujuan politik di 70 negara, termasuk Indonesia.
Metode penelitian menggunakan kajian pustaka, analisis konten, studi kasus, dan wawancara. Di bawah ini adalah temuan kuncinya.
Terdapat bukti bahwa 48 dari 70 negara di 2018 dan 28 negara di 2017 menggunakan kampanye manipulatif melalu medsos. Medsos dipakai oleh banyak rezim otoritarian.Â
Di 26 negara, komputasi propaganda sebagai dipakai sebagai alat untuk mengkontrol informasi melalu tekanan pada HAM, pendiskreditan politik lawan, dan pembelokkan opini;