Perkembangan media yang begitu pesat tidak hanya memfasilitasi produksi, diseminasi, dan pertukaran konten saja, namun juga mengakomodasi interaksi dan kolaborasi.Â
Ini tentu memengaruhi bagaimana tata kelola demokrasi dan praktik politik. Media yang semula dianggap non-partisan, kini telah berubah menjadi alat kerja pemerintah, parlemen maupun elit politis untuk berkomunikasi.
Inovasi media yang ada melalui media sosial, aplikasi digital, dan platform berbagi video, blog serta website makin luas dan menjadikan sistem media politik lebih kompleks.
Dan, tentu saja makin banyak media yang menjadi "mulut" dan alat politik dari para elit politik dan lembaga pemerintah, di samping media yang mengejar viral dengan mengungkap skandal skandal kehidupan pribadi politisi, sehingga peran media sebagai "watchdog" bisa dikatakan berakhir.Â
Bahkan, tidak jarang media menyebar berita yang ternyata kurang sesuai atau bahkan 'hoaks'.
Media, bersama kekuasaan dan uang dinilai secara kolaboratif merupakan trinitas dalam politik. Ketika ketiganya berada di tangan yang salah, maka dampaknya dalam merusak demokrasi menjadi besar.
Memang bisa dikatakan bahwa saat ini kita berada pada titik terendah dari peran media yang mendorong proses demokrasi. Pada saat yang sama, isu kebebasan pers memiliki potensi terganggu ketika KUHP direvisi jelang Paripurna DPRRI 2014-2019.
Di Swiss, penutupan media arus utama dicatat dalam beberapa tahun terakhir. Padahal selama ini media yang merupakan bagian dari masyarakat sipil dianggap sebagai darah demokrasi.Â
Ini disampaikan oleh Mark Eisenegger. Matinya media arus utama pada umumnya disebabkan oleh makin kecilnya pendapatan iklan dan berpindahnya iklan ke platform seperti Facebook dan Google. Salah satu contoh korban dari media ini adalah majalah L'Hebdo yang telah selama 35 tahun ada.
Di Amerika, berbagai pandangan berkembang terkait kegagalan media arus utama untuk membuat counterbalance atas ketidakjujuran dari politik yang toksik  di Amerika.Â