Pertemuan Tokoh Bangsa dengan Presiden
Pertemuan antara tokoh bangsa, yang terdiri dari para budayawan dan wakil masyarakat sipil senior Indonesia memberi harapan pada kembalinya demokrasi.Â
Memang tidak banyak media menyebutkan siapa saja tokoh bangsa yang hadir di Istana untuk memenuhi undangan Presiden Jokowi.
Saya melihat wajah Ibu Prof Dr Saparinah Sadli, Ibu Zumrotin, Pak Ismid Hadad, Bu Tri Mumpuni, Pak Emil Salim, Pater Magnis Suseno, Pak Mahmud MD, Pak Quraish Shihab, Christin Hakim, Panigoro, Butet Kartaradjasa dan beberapa tokoh lain. Mereka adalah tokoh tokoh yang saya hormati.Apa yang ditunggu tunggu akhirnya keluar dari mulut Presiden Jokowi.
Setelah Presiden Jokowi berbicara, pak Mahmud MD merangkum dengan lebih jelas tentang apa hasil diskusi siang tadi.
Pertama, menunda pengesahan revisi undang undang yang masih bermasalah. Kedua, Presiden Jokowi akan mempertimbangkan menerbitkan Perppu UU KPK.
Pak Mahmud MD menyampaikan bahwa terdapat 3 opsi terkait revisi UU KPK.
Opsi pertama adalah 'legislatif review' atau uji materi. Yang hasil dari revisi UU KPK yang terakhir dibahas kembali lalu diajukan menjadi revisi UU yang berikutnya.
Opsi kedua adalah 'judicial review', yakni mengajukan gugatan ke mahkamah konstitusi terhadap sebagai isi dari revisi UU KPK yang bermasalah maupun seluruhnya.
Dan Opsi ketiga yang kuat disuarakan lebih bagus mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang.Â
Memang, pada awalnya penjelasan Presiden Jokowi terkesan tidak segamblang kalimat pak Mahmud MD. Seperti dituliskan oleh CNN.Indonesia, "Soal UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali diberikan pada kita, utamanya masukan itu berupa penerbitan Perppu. Tentu akan kita hitung, setelah kita putuskan, akan kami sampaikan,"ujar Jokowi kepada wartawan usai pertemuan tersebut pada Kamis petang".
Dalam 'press conference, wartawan mempertanyakan kembali ketegasan Jokowi perihal jawaban atas usulan para tokoh mengenai penerbitan Perppu itu
Namun ia kembali pada jawaban yang pertama "Itu kan tadi sudah saya jawab akan kita pertimbangkan, terutama dari sisi politiknya," kata Jokowi. "Tadi sudah saya sampaikan secepat cepatnya, sesingkat singkatnya [akan diberi keputusan]," demikian disampaikan Presiden.Â
Dalam diskusi tersebut, beberapa hal dibicarakan terkait kebakaran hutan, konflik Papua dan revisi perundang undangan yang masih perlu mendapat perhatian. Secara khusus persoalan revisi UU KPK tampaknya menjadi fokus utama.
Presiden VS Istana.
Saya sempat mencatat pernyataan Presiden yang menggunakan kalimat agak membingungkan. " Tentu akan kita hitung, setelah kita putuskan, akan kami sampaikan," ujar Jokowi kepada wartawan usai pertemuan tersebut.
Ini bisa terjadi karena Presiden memang sedang 'mengkalkulasi'. Atau, Â ia adalah seseorang yang tak pandai berkata kata.
Saya melihat bahwa Presiden punya beban berat terkait ketidak-berpihakannya pada KPK dan tuntutan masyarakat atas upaya pemberantasan korupsi. Pelajaran mahal bagi Presiden.Â
Pak Mahmud kepada wartawan mengatakan "Presiden juga sudah menampung, pada saatnya yang memutuskan istana,". Sebetulnya, ini menjadi makin nampak bahwa Jokowi sebagai Presiden tidaklah independen.
Mengapa pak Mahmud MD menyebutkan seakan terdapat perbedaan antara sikap 'Presiden' yang tadi bertemu para tokoh dengan keputusan 'Istana'.
Artinya, Presiden memiliki penasehat yang kemudian mereka merupakan representasi 'Istana'. Tentu wajah wajah para jenderal dan juga Menkumham yang begitu aktif dalam perdebatan revisi UU KPK ada di depan mata.Â
Presiden adalah pemimpin yang berkuasa. Sudah semestinya ia memiliki pertimbangan, dengan semua kebijaksanaan terkait kepentingan masyarakat luas. Itu yang kita harapkan.
Sementara, terdapat kesan bahwa penasehat Presiden yang mewakili pengambjlan keputusan di 'Istana' adalah 'batu sandungan' untuk proses demokrasi ke depan.Â
DI mata rakyat dan dunia, ini keputusan yang akuntabilitasnya ada di Presiden.Â
Demokrasi Sedang Diuji
Ingat narasi Taliban yang ditiupkan ke tubuh KPK oleh beberapa pihak yang dianggap dalam lingkaran istana? Denny Siregar yang dianggap sebagai 'buzzer' pihak istana secara berulang ulang menayangkan videonya melalui postingannya di media sosial.Â
Ini tentu membangun opini publik. Ketidakpercayaan saya pada Denny Siregar memang saya tulis dalam artikel pada tautan ini. Saya tidak terkejut ketika tagar terpopler adalah #tangkapDennySiregar.Â
Juga wakil presiden JK menyatakan perlunya merevisi UU KPK untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, mengingat banyak pejabat takut untuk 'bergerak' dalam mengimplementasikan pembangunan dan mencairkan dana pembangunan.
Adalah organisasi masyarakat yang bergerak di bidang anti korupsi, MTI dan ICW yang terus melakukan pembelaan kepada KPK. Saya melihat Najwa Shihab yang memberikan investigasi melalui beberapa episode program televisi yang ia asuh. Juga, putri putri Gus Dur melakukan investigasi atas narasi Taliban yang tidak pas. Campur aduk rasanya melihat peristiwa yang terjadi beberapa minggu ini.
Tentu, janji Presiden untuk mempertimbangkan adanya Perppu adalah yang kita semua inginkan. Inilah yang lebih dari 2.000 dosen usulkan. Inilah yang adik adik mahasiswa perjuangkan. Ini yang ribuan orang buat petisinya.Â
Saya gembira bahwa masih banyak mahasiswa Indonesia yang memiliki nalar baik untuk melihat persoalan yang ada dengan lebih jernih. Mereka memprotes pada hasil revisi UU KPK yang telah disahkan oleh DPRRI.
Dan KPK pun membagi analisis terkait 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa (24/9/2019) lalu.
Ke-26 poin tersebut menunjukkan potensi melemahkan KPK lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Gelombang demonstrasi terus terjadi di banyak kota besar. Korban mahasiswa yang meninggal dan terluka telah mengotori demokrasi kita. Adalah tugas pemerintah dan parlemen untuk membangun, memberi contoh dan menjaga demokrasi yang sehat dan bersih.Â
Demonstrasi besar besaran di kalangan mahasiswa dan sebagian masyarakat sipil terjadi karena ruang dialog ditutup. Sementara, protes melalui deklarasi dan pernyataan tidak diindahkan. Ini mengakibatkan banyak korban di kalangan mahasiswa dan juga sebagian kecil dari petugas keamanan dan POLRI.
Presidenpun dalam konprensi pers mengingatkan agar mahasiswa tidak demonstrasi lagi, dan mahasiswa kembali belajar.Â
Menristek yang membawahi pendidikan tinggi memerintahkan semua Rektor universitas di Indonesia untuk melarang demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswanya dan memberi sanksi kepada dosen yang menyetujui mahasiswa yang hendak melakukan demonstrasi.
Ini sebetulnya mengherankan, karena bisa saja Rektor memberikan 'ancaman' akademis untuk mencegah mahasiswa melakukan demonstrasi. Meski Ini akan menimbulkan reaksi.Â
Di sisi lain, hak berkumpul dan mengemukakan pendapat adalah hak semua warga Indonesia yang dijamin konstitusi. Demo itu hak konstitusional, dijamin di pasal 28 UUD Tahun 1945 dan UU No 9 Tahun 1998.
Segala bentuk larangan terhadap demo dapat dianggap menghalangi kebebasan menyampaikan pendapat di tempat umum, dapat diancam pidana 1 tahun. Tindakan tersebut bisa masuk dalam kategori tindakan represif ganti dengan pendekatan persuasif dan akomodatif.Â
Demonstrasi adalah proses demokrasi yang sehat.Yang perlu dihindari, sebenarnya, adalah kelompok anarkis yang menunggangi demonstrasi para mahasiswa Indonesia. Ini juga ditegaskan ibu Ninik Rahayu, Komisioner Ombudsman.Â
Mahasiswa tentu tidak akan ke jalan berdemonstrasi bila tidak ada persoalan yang teramat penting, yang selama ini tidak bisa didialogkan.
Dan, implementasi atau realisasi dari janji Presiden untuk mempertimbangkan diterbitkannya Perppu merupakan keputusan politik yang sangat penting bagi demokrasi Indonesia.Â
Adalah mengerikan membayangkan seandainya Presiden Jokowi akan tetap bersikukuh menolak menerbitkan Perppu. Ini terjadi karena Jokowi sebanyak dua kali 'kekeuh' mengatakan tidak akan menebitkan Perppu.Â
Dan bila ini terjadi, saya kuatir reaksi publik menjadi lebih tidak terkendali. Kekuatiran akan berkuasanya (kembali) kelompok militer, dengan sejuta alasan untuk melegitimasi, termasuk soal taliban di KPK, radikalisme yang meraja lela, konflik Papua, demonstrasi mahasiswa yang membawa kerusuhan dan lain lain persoalan keamanan, mengkhawatirkan. Semoga Jokowi belajar dari kondisi dan tren di beberapa negara tetangga dan di negara berkembang terkait hal semacam ini.Â
Kita sudah melihat pertumpahan darah terjadi karena sikap petugas keamanan yang 'ditugasi' untuk bersikap represif.Â
Gelombang demonstrasi yang jelas tujuannya dikhawatirkan oleh kelompok yang memanfaatkan situai.Â
Menunggu Keputusan Presiden
Saat ini publik menanti keputusan Presiden.Â
Tugas masyarakat sipil belum selesai. Komitmen Presiden untuk memberikan keputusan yang terbaik bukan hanya untuk menjawab tuntutan politik, tetapi mewakili hati nurani yang bekerja untuk menyelamatkan bangsa ini dari kejahatan koruptor.Â
Jangan ada darah tumpah lagi.Â
Semoga Tuhan sadarkan elit politik Indonesia bahwa kita telah membayar mahal perbuatan para koruptor yang melakukan permainan politik yang kotor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H