Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Taksi Online Menyoal Demokrasi Khakhistokrasi dan Kleptokrasi

26 September 2019   08:32 Diperbarui: 26 September 2019   13:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kleptokrasi (diambil dari Radioidola.com)

Saya ucapkan terimakasih dan berucap untuk sukses hidup mas Rahim.

Junta Militer di dalam Demokrasi Dunia 

Ini mengingatkan akan tulisan saya di awal tahun 2019 tentang kembalinya junta militer yang muncul dalam bentuk baru di banyak belahan dunia.

Di awal tahun 2019, ada berita menarik tentang Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Varnavadi, kakak perempuan Raja Thailand atau putri tertua dari mendiang King Bhumibol Adulyadej yang mengumumkan perlawanannya pada junta militer yang telah berkuasa selama 5 tahun melalui suatu kudeta di 2015.

Perlawanan Ubolratana pada junta militer ini ia sampaikan melalui keinginannya untuk turut serta dalam Pemilu yang diadakan pada 24 Maret 2019. Namun, akhirnya pencalonannya dibatalkan oleh sang kakak, sang raja Thailand, King Vajiralongkorn, yang diduga sebelumnya sempat memberi dukungan.

 Ubolratana yang saat ini berusia 64 tahun telah meninggalkan status putri raja sejak menikah dengan seorang laki laki berkebangsaan Amerika pada tahun 1970an. Selanjutnya, Ubolratana lebih dikenal sebagai aktivis anti narkoba yang melakukan kampanye melalui medsos. Di bulan Pebruari, ia mengumumkan bahwa ia akan berada pada partai 'Thai Raksa Chart Party" yang sebelumnya berasosiasi dengan perdana menteri terakhir, Thaksin Shinawatra.

Sang raja yang berkuasa mengatakan bahwa keterlibatan anggota kerajaan dalam dunia politik adalah melawan tradisi. Penolakan oleh Raja Thailand akan menghentikan keinginan saudara perempuannya bermain di politik dan membuatnya didiskualifikasi oleh Komisi Pemilu.

Saya kebetulan berada di Bangkok ketika pengumuman atas hasil pemilu Thailand yang memberikan kemenangan pada sipil yang berada pada posisi pertama, mengalahkan Prayut Chan-o-cha, pemimpin kudeta militer pada 2014. Komentar kawan kawan warga Thailand memang membuat saya melihat realitas perubahan yang menarik (yang juga mengkhawatirkan) di banyak negara. 

Jadi, walaupun sipil yang memimpin, Thailand menjadi lebih mirip negara yang dipimpin otoritarian. Kelompok HAM dan pakar-pakar IT Thailand meminta parlemen untuk mengubah Undang-Undang Keamanan Siber (Cybersecurity) yang menurut mereka memiliki kekuasaan tidak terbatas kepada pemerintah untuk memantau jaringan internet masyarakat. 

Rancangan Undang-undang itu diloloskan oleh parlemen tanpa oposisi di bulan Februari ketika Thailand masih dibawah kekuasaan junta militer.

Undang undang Keamanan Siber itu dinilai penggiat HAM sebagai alat pemerintah untuk membungkam pembela HAM. Ubolratana yang telah mencoba untuk turut Pemilu pada Maret ini merupakan satu bentuk dari perlawanan perempuan kepada melawan kekuasaan Junta militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun