Keadilan Perhutanan yang Mati
Keadilan dan penegakan hukum perhutanan disebut mati.Â
Bagaimana tidak?
Di tahun 2009, nenek Minah yang mencuri 3 buah kokoa di suatu perkebunan di Jawa Tengah dihukum penjara 1 bulan 15 hari dan beritanya banyak di media.
Kemudian, Nenek Asyani (63 tahun) diketok palu di tahun 2015 dengan vonis bersalah oleh hakim. Nenek Asyani divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan. Ini karena Nenek Asyani dituduh mencuri 2 pohon kayu jati milik perhutani untuk membuat tempat tidurnya.
Namun Nenek Asyani membantah dengan alasan batang pohon jati itu diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya 5 tahun silam. Memang, ada aturan hukum bahwa masyarakat umum harus punya ijin untuk memiliki pohon jati. Pada haketnya, hutan adalah milik negara.Â
Pohon jati Indonesia adalah milik negara. Ia pun mengucap sumpah yang tidak didengar oleh siapapun. Media tentu menyiarkan dan mencatatnya.
Lalu bagaimana ini akan nampak adil di depan hukum? Pelaku kejahatan luar biasa pembakaran hutan yang mengakibatkan kerugian ratusan triliun sudah tentu tidak boleh disembunyikan identitiasnya.
Di tahun 2015 memang menteri kehutanan Siti Nurbaya sempat mengatakan bahwa pelaku kebakaran hutan tak perlu disebut. Tahun 2017, WALHI menuntut penerintah umumkan korporasi pelaku.Â
Pada September ini, Menteri Kehutanan sudah menyebutkan terdapat empat perusahaan Singapura dan Malaysia di Kalimantan Barat.Â
Juga ia menyebutkan bahwa di Riau terdapat satu perusahaan milik Malaysia yang disegel. Siti Nurbaya juga membeberkan nama-nama perusahan tersebut, yaitu PT Hutan Ketapang Industri milik Singapura di Ketapang, PT Sime Indoagro milik Malaysia, PT Sukses karya sawit Malaysia di Ketapang, dan PT Rafikamajaya abadi di Melawi (CNN.com, 13 Setpmber 2019).Â