Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Kegenitan Nyamuk Betina dan Malaria Papua

22 September 2019   18:40 Diperbarui: 25 April 2021   07:11 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Malaria Anopheles (Foto: Reuter)

Nyamuk Betina yang Gigit Manusia 
Salah satu komentar Kompasianer Prof Pebrianov pada artikel saya belum lama ini soal politik negeri adalah soal nyamuk betina. Saya katakan bahwa saya hanyalah emak-emak pencari nyamuk betina dan kekhawatiran saya pada politik negeri mungkin tidak ada artinya. Prof Pebrianov menyarankan saya untuk juga memperhatikan nyamuk jantan.

Memang begitulah, karena yang menggigit dan menyerap darah kita adalah nyamuk betina, bukan nyamuk jantan, maka prioritas saya tentu pada nyamuk betina.

Nyamuk betina memang spesial. Mereka membutuhkan protein untuk berkembang biak dan bertelur. Juga, nyamuk perlu energi untuk terbang. Diperkirakan, nyamuk mengebaskan sayapnya sekitar 250 sampai 500 kali per-detik. 

Ilustrasi Malaria Anopheles (Foto: Reuter)
Ilustrasi Malaria Anopheles (Foto: Reuter)
Ilustrasi Nyamukn Malaria Anopheles, Sumber Majalah Hewan.com
Ilustrasi Nyamukn Malaria Anopheles, Sumber Majalah Hewan.com
Sementara, nyamuk jantan memang hanya berperan sebagai pengantin laki-laki dan mengawini nyamuk betina untuk urusan reproduksi.

Terdapat pandangan bahwa nyamuk betina berdengung sementara pejantan lebih banyak diam. Namun ini disanggah oleh beberapa studi yang mengatakan bahwa baik nyamuk betina dan jantan sama sama berdegung karena kepak sayapnya. Hanya saja, nyamuk betina yang menghisap darah. Memang tidak seberisik "buzzer" politik sih, tetapi tetap saja mengganggu.

Nyamuk sendiri melalui siklus hidup bemetamorfosa. Mereka punya kehidupan ganda. Punya kehidupan sebagai larva dan lalu sebagai nyamuk. Larva hidup sebagai koloni di tempat yang kadang-kadang kotor dengan nutrisi buruk, seperti air tergenang. Mereka tumbuh dan berkembang di wilayah semacam ini.

Ketika nyamuk betina menjadi dewasa, ia butuh nutrisi dan protein untuk berkembang biak. Itulah mengapa ia menggigit Anda. Dan, Anda akan gatal-gatal karenanya. Histamin yang ada pada tubuh Anda akan terangsang keluar karena gigitan itu dan karena garukan jari kita. Bentollah kulit kita. Begitu.

Malaria
Sejarah malaria telah ada sejak masa prasejarah. Hampir semua wilayah di dunia terdapat kasus malaria, kecuali wilayah antartika. Sejatinya, malaria adalah kasus dunia. Pada tahun 2017 dicatat terdapat 219 juta kasus malaria di 87 negara. Adapun jumlah kematian karena malaria adalah 435.000 di tahun 2017.

Malaria yang berkembang alamiah adalah karena adanya infeksi berulang dari orang atau manusia dan juga nyamuk anopheles betina yang terkena parasit.

Parasit berkembang biak cepat dan menyerang hati dan berkembang ke sel darah merah. Sel darah merah segera terjangkit dan dirusak parasit. 

Gejala terkena malaria muncul ketika parasite makin berkembang. Setelah 10 sampai 18 hari, ketika nyamuk Anopheles mulai menyedot darah dari manusia lain, dimulailah siklus baru nyamuk Malaria.

Jadi, nyamuk yang berparasit membawa Malaria, selaku vector, dari satu orang ke orang yang lain. Pada peringatan hari Malaria Sedunia 25 April yang lalu, WHO mengusung tema "Zero Malaria Starts with Me", atau "Nol Malaria Dimulai dari Saya".

WHO mengingatkan pentingnya gerakan kampanye tersebut, mengingat setelah lebih dari satu dekade, justru kemajuan tidak terlihat. Bahkan, perkiraan jumlah kematian malaria pada 2017 mencapai angka 435.000 jiwa, tidak berubah dibandingkan tahun sebelumnya. 

Data di bawah ini menampilkan tren kasus Malaria di seluruh Indonesia yang dilaporkan pada 2018. 

Prfil Kesehatan Indonesiq 2018, Kemenkes
Prfil Kesehatan Indonesiq 2018, Kemenkes
Fakta tentang Malaria di Indonesia masih menakutkan (dan terbelakang):
  • Setengah penduduk Indonesia hidup di wilayah rawan malaria. Dari jumlah kota dan kabupaten Indonesia yang berjumlah....., baru 257 yang bebas malaria. Sementara itu, masih terdapat 10,7 juta penduduk yang tinggal di daerah endemis menengah dan tinggi malaria. Daerah tersebut terutama meliputi Papua, Papua Barat, dan NTT.
  • Korban terbanyak adalah perempuan hamil dan anak anak yang tingkat kesehatannya rentan
  • Pada 2017, dari jumlah 514 kabupaten/kota di Indonesia, 266 (52%) di antaranya wilayah bebas malaria, 172 kabupaten/kota (33%) endemis rendah, 37 kabupaten/kota (7%) endemis menengah, dan 39 kabupaten/kota (8%) endemis tinggi.

Secara nasional, program pembagian kelambu dilakukan dengan jumlah untuk seluruh Indonesia sejak tahun 2004 sampai 2017 sebanyak 27,6 juta kelambu.

Kelambu dianggap efektif untuk mencegah malaria adalah tidur, disamping menyemport dinding rumah, dan menggunakan repellent. Sementara upaya selanjutnya adalah pengelolaan lingkungan.

Pemerintah mengklaim sudah 'on the track' dalam upaya mengeliminasi malaria. Tetapi mengapa kita juga mengatakan bahwa selama satu dekade, upaya mengeliminasi Malaria masih belum signifikan. Bukankah artinya, banyak PR kita untuk memahami persoalan yang ada dan memberikan solusi yang tepat?

Malaria Papua dan Komplikasi dengan Penyakit Lain
Mama-mama Papua yang saya pernah temui bercerita "Ibu... di Sumatra kabarnya ada macan. Kami di sini bersyukur takada macan, tapi kami mati dimakan malaria." Itu adalah ucapan yang muncul sekitar 13 tahun yang lalu, kemudian 10 tahun yang lalu, dan 3 tahun yang lalu.

Bicara soal Papua mau tak mau selalu membuat saya seperti dipaksa melihat luka yang sama dan bahkan makin buruk.

Masyarakat sering menyebutnya sebagai Malaria Papua. Mengapa Malaria di Papua ditakuti? Sebetulnya, apa bedanya? Saya membaca artikel Kompasianer Mulyadi Djaja pada April 2018 di sini.

Malaria Papua hanyalah sebutan masyarakat umum, karena ketika Malaria mengenai masyarakat yang tinggal di Papua, biasanya perlu lama untuk sembuh karena akses pada layanan kesehatan tidak semudah mendapatkannya di Jawa.

Kedua jenis malaria ini baik Tropika maupun Tertiana sama bahayanya. Malaria Tropika sifatnya akut, hanya tidak memiliki sifat kambuhan. Sementara Tertiana sifatnya tidak akut, namun akan kambuhan. Sedangkan Malaria mix adalah malaria yang kedua ciri malaria tersebut bersama menyerang satu tubuh penderita.

Terdapat beberapa kasus di perbatasan Indonesia dan Papua Nugini yang membawa korban di antara Satgas Pengaman Perbatasan.

Malaria Tropika sangat berbahaya karena bisa menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah Kapiler. Jika menyerang ke otak maka suplai darah ke otak akan terganggu, dan akibatnya bisa disebut Malaria Otak. Sementara jika menyerang sel pembuluh darah, maka bisa menyerang ke ginjal, dan bisa berakibat fatal mengakibatkan gagal ginjal dan bisa meninggal dunia.

Banyak cerita soal kematian karena Malaria di Digul dan di hutan Papua. Persoalan sosial budaya terkait ke mana masyarakat meminta pertolongan health seeking behavior adalah persoalan.

Ketika terdapat penyakit yang menyebabkan kematian, biasanya masyarakat menghubungkan dengan roh jahat. Untuk itu mereka pergi ke dukun. Tidak mengapa pergi ke dukun namun dipastikan dukun yang memahami ilmu kesehatan dasar. Namun ini sering menyebabkan pasien terlambat ditolong.

Juga Papua memang masih berhutan lebat, sementara masyarakat masih memiliki budaya yang agak sulit untuk merubah pola sanitasi dan kebersihan lingkungan.

Dalam studi kemiskinan di Papua yang kami pada tahun 2006, tim kami yang turun ke lapang mencatat kondisi di wilayah masyarakat suku Arfak di desa Dembek, Kecamatan Ransiki, Kabupaten Manokwar. 

Malaria sering membawa korban nyawa Ibu hamil dan anak anak. Ibu hamil yang rentan dengan anemia makin berat ketika mereka terkena Malaria. Begitu juga, balita.

Suatu saat ketika diwawancara, salah seorang ibu menunjukkan kaki dan tangan yang gemetaran, tanda ia mengidap Malaria. Tubuhnya terlalu kurus untuk seseorang yang hamil 5 bulan.

Ia batuk-batuk sepanjang wawancara, tampaknya ia mengidap TBC. Ia tak mengetahui usianya. Ia tak ingat di usia berapa ia menikah. Ketika menikah, ia menerima tiga ekor babi dan kain kain Timur sebagai mas kawin.

Ketika ditanya apakah suaminya mencintainya, ia mengatakan bahwa ia tak yakin bahwa suaminya mencintainya. Soalnya, ia tidak pernah dibantu apapun oleh sang suami. Ia melakukan semua pekerjaan, baik di kebun sayurnya maupun di dalam rumah. Ia bangun jam 5 pagi dan baru tidur sekitar jam 9 atau 10.

Sepanjang hari ia bekerja. Ia tetap membawa Noken penuh dengan sauran, ubi, pisang dan lain lain di kepala. Itulah sebabnya, anaknya yang pertama meninggal sesudah lahir. Sebagai ibu, ia bekerja terlalu keras. Sementara, ia kekurangan gizi, sehingga air susunya tidak keluar dan anaknya meninggal.

Memang, masyarakat Papua sudah terbiasa dengan Malaria. Namun, bukan berarti masyarakat Papua bisa mudah mengobati dan menyembuhkannya. Ini soal keterlambatan waktu mengobati, karena baik Malaria Tropika, Tertiana dan mix sekalipun, jika penanganannya bisa cepat dan tepat, maka bisa disembuhkan.

Di Papua, Malaria biasanya bersamaan hadirnya dengan penyakit lain, seperti HIV/AIDs dan TBC. Ketiga penyakit ini dinilai oleh kelompok adat sebagai penyebab berkurangnya atau depopulasi masyarakat Papua. Ini juga disebabkan oleh kasus kematian ibu hamil melahirkan dan kematian bayi baru lahir yang tinggi.

Malaria baik Tropika, Tertiana atau mix sekalipun jika penanganan bisa cepat dan tepat, maka malaria akan bisa disembuhkan. Juga, kondisi tubuh dan daya tahan mempengaruhi kondisi ketika terserang malaria.

Banyak di antara masyarakat yang menggunakan obat tradisional yang berasal dari tanaman sekitarnya, misalnya daun sambiloto, batang brotowali, daun pepaya, dan daun pare yang dikonsumsi. Namun tentunya bergantung pada kondisi dan status kesehatan masing-masing. 

Ketika terlambat diobati, malaria sudah menjadi akut ketika pasien dibawa ke dokter.

Jadi, yang menyebabkan urusan penyakit Malaria cukup pelik adalah karena pada umumnya menjangkit pasien bersamaan dengan penyakit lain, seperti HIV/AIDs, TBC atau terjadi pada ibu hamil dan anak anak. 

Saat ini berkembang penelitian untuk vaksin malaria. Tentu hal ini ditinggu tunggu. 

Apa Persiapan yang Diperlukan untuk Bekerja/Melakukan Pekerjaan di Papua
Akhir-akhir ini beberapa kawan menghubungi saya. Mereka menanyakan apa yang mereka perlu siapkan bila akan bekerja di Papua? 

Tentu saya katakan 'pahami Papua'. Ini saya sampaikan karena alasan bekerja untuk proyek semata tak akan cukup bila kita tidak memahami wilayahnya. Papua adalah wilayah istimewa. 

Bagaimanapun, akhirnya saya juga menyampaikan tips soal obat malari bila kawan-kawan hendak bekerja ke Papua. Pertama, tentu hindari jangan sampai digigit nyamuk Malaria. Artinya, hindari mengenakan baju terbuka, khususnya di waktu senja. Kedua, minum obat pencegahan. Profilaksis atau doxycycline seminggu sebelum, selama di sana, dan sebelum dan setelah pulang dari Papua.

Dosis yang disarankan dokter adalah satu kali sehari. Ketiga, gunakan losion anti nyamuk, dan usahakan di suhu ruangan sekitar atau di bawah 20 derajat Celsius. Nyamuk tidak hidup di suhu d bawah 20 derajat celsius. Kelambu bisa menjadi solusi.

Perlu Komitmen Serius untuk Mengeliminasi Malaria dan Membangun Papua. 

Sekelompok penerima beasiswa jangka pendek yang difasilitasi program Australian Award, mengkoordinasikan relawan untuk mengeliminasi malaria di Papua. Gerakan ini dipimpin Dr Victor Eka Nugrahaputra, Kasubdit Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Provinsi Papua. 

Ia bersama alumni program the 2016 Malaria Prevention and Treatment for Infants, Children and Pregnant Women in Eastern Indonesia di the Nossal Institute for Global Health melakukan kerja. Ini istimewa.

Dokter Victor yang lahir di Sidoradjo Jawa Timur ini menjalankan masa bakti di Papua setelah menyelesaikan sekolah kedokterannya di tahun 1995 dan pengabdian wajib selama 3 tahun. Kecintaannya dengan Papua membuatnya telah berdinas di Papua selama lebih dari 20 tahun.

Awalnya ia membuat proyek Kebas Malaria (Keluarga Bebas Malaria). Namun, mentor program pendidikan di Nossal Institute for Global Health mengingatkan dokter Victor untuk membangun jaringan kerja yang terdiri dari para pihak terkait.

Kebas menghubungi program KOMPAK, yaitu kemitraan Indonesia dan Australia untuk mendorong pembangunan desa dan akhirnya menyusun panduan teknis untuk menjalankan Kebas agar lebih efektif. 

Ternyata ini membawa sukses. Program dilaksanakan berbasis keluarga dan memberikan pendidikan kepada 26.200 keluarga melalui kunjungan oleh petugas Puskesma.

Dokter Victor tentu tidak hanya berpikir soal eliminasi malaria di satu wilayah hutan saja. Ia bercita cita untuk menyebarluaskan pengalamannya secara nasional. Program KOMPAK juga berkolaborasi dengan Kabupaten Fakfak, Manokwari Selatan, Jayapura, Nabire dan Asmat untuk tahun 2018 dan tahun ini. Ide ini sangat baik karena program peningkatan kapasitas yang diberikan kepada peserta memiliki tindak lanjut di tingkat lapang.

Di program yang lain, Pak Roy Tjong, salah satu kawan yang punya pengalaman bekerja di Papua saat ini menjadi anggota tim supervisi program Kelambu Massal Kementrian Kesehatan. 

Kerja keras dan kebetlanjutan memang diperlukan untuk bekerja di Papua. Tidak bisa setengah setengah atau kerja di permukaan. Itu pesan pak Roy. Penggunaan kelambu anti nyamuk perlu dilakukan bersamaan dengan pendidikan masyarakat.

Tentu perlu rekomendasi. Untuk pembangunan kesehatan dan pendidikan di Papua, meski sektor ini adalah sektor yang didesentralisasikan, dukungan penuh dari pemerintah nasional adalah kritikal.

Tim nasional yang diberi penugasan untuk memberi fokus secara intensif untuk membangun Papua dalam menyelesaikan isu isu kesehatan dan pendidikan adalah kritikal. Ini termasuk soal malaria, HIV dan TBC.

Dok https://infopublik.id/
Dok https://infopublik.id/
Beberapa saat yang lalu terjadi konflik Papua dengan dampak serius bagi masyarakat, khususnya perempuan dan anak. Upaya eliminasi malaria secara terintegrasi seharusnya menjadi agenda penting pemerintah agar penyelesaian konflik lebih mengedepankan pembangunan manusia, dan bukan dengan pendekatan militer dan dengan pendekatan infrastruktur saja. 

Sudah cukup air mata untuk Papua dan untuk mereka yang masih tertinggal. Mudah-mudahan pak Jokowi melihat hal hal seperti ini di masa pemulihan Papua.

Pada akhirnya, keberhasilan upaya menolong masyarakat Papua memang memerlukan komitmen yang serius. Bukan hanya dana dan sekadar koordinasi pusat dengan daerah yang berisi rapat dan kunjungan serta "monev", tetapi pemikiran serius dengan konsultasi dan upaya pengentasan ketertinggalannya. 

Pola lama sudah kita jalani di masa Orla, sebelum otonomi daerah di masa Orba, sesudah Otsus, dan masing-masing atau semuanya belum menunjukkan keberhasilan. Papua tetaplah provinsi tertinggal dalam semua indikator pembangunan manusia. 

Kita tidak mengulang hal serupa, bukan? Perlu strategi baru dengan pendekatan kemanusiaan dan HAM agar kita bisa membuat Papua tidak lagi berada di urutan paling bawah dalam pembangunan manusianya.

*) Saya belajar bahwa bila kita sedang gemas soal politik, janganlah menulis soal itu karena tulisan kita akan tajam. Tulisan tajam bikin pusing. Kali ini saya coba untuk jujur berbicara soal nyamuk, meski persoalan nyamuk di Papua juga berhubungan dengan politik pembangunan yang tak kalah penting.

Pustaka: Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun