Saya tanyakan, apakah ia memiliki banyak sahabat. Ia katakan tidak.
Sungguh menyentuh mendengar mbak Maurin berkata " dua hari ini saya tidak kesepian". Kami memang bertemu dalam dua kesempatan. Peluk mbak Maurin.Â
Baginya, dimahami adalah suatu anugerah.
Ia punya banyak mimpi. Namun, ketika ia bagi mimpinya kepada orang orang 'normal', dia mendapat tanggapan yang kadang kadang membuatnya ciut. Seakan ia terlalu ambisius. Seakan ia lebay. Seakan mimpi adalah bukan miliknya.
Sampai saat ini mbak Maurin masih merasakan 'trauma' ditolak oleh kalangan masyarakat 'normal' di tempat kerja, tempat ia magang. Kebetulan itu adalah lembaga penerintah. Politik kantor membuatnya kapok. Padahal, ke depan ia tentunya akan melakukan banyak kegiatan dengan lingkungannya.
Mbak Maurin saat ini sedang gelisah menanti pengumuman dari LPDP. Ia hendak meneruskan pendidikan S2 nya. Ada ketakutan yang ia sampaikan, yaitu takut proses wawancara LPDP akan dilakukan dengan bias atau diskiriminatif.
Saya menyarankan padanya untuk menempuh S2 di negara yang bisa memberikan layanan kepada orang berkebutuhan khusus, seperti Australia. Namun, mbak Maurin katakan bahwa itu hampir tak mungkin. Keluarga tak mengijinkan gasis bontot kesayangannya pergi sendirian. Apalagi ke Australia.Â
Kalaupun ke Australia, mbak Maurin pasti tidak boleh sendiri. Sementara membawa seseorang untuk turut serta tentu repot.Â
Di situ saya sedih, dan tentu ini mbak Maurin sudah rasakan sejak lama.  Mengapa masyarakat dan lingkungan kita banyak yang belum  dan tidak bisa menghargai mereka yang berkebutuhan khusus seperti apa adanya. Jangankan penyediaan sarana dan prasarana oleh pemerintah, sikap menerimapun kadang sulit didapat.
Pada hari Internasional Perdamaian ini, saya hendak ucapkan selamat kepada Mbak Maurin.
Pada hari ini pula, saya dan mbak Maurin menyepakati sebagai Peluncuran Buku Dear Malaikat Izrail. Kami berdua membuat perayaan kecil dalam peluncuran bukunya.Â