Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mampukah Survei Litbang Kompas Memotret, Ketika Publik Buta Isi UU KPK?

17 September 2019   18:10 Diperbarui: 19 September 2019   16:00 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Survei Litbang Kompas Jelang Revisi UU KPK
Saya bukan siapa siapa. Saya buruh penelitian. Jadi, saya tahulah apa itu penelitian. Walau itu sedikit. 

Ayo kita bicara studi Litbang Kompas. 

Judulnya menohok "44,9% Publik Dukung Revisi UU KPK, 39,9% Menolak". Bagai referendum!

Sayangnya, saya tak temukan tautan hasil survei dari Kompas.com. Sayapun belum menemukan di Kompas.id. Saya hanya dapatkan berita dari media lain, tribunnews.com, kaskus.com, dan ANTARA.com.  Artinya, ini PR besar saya untuk mendapatkan info yang jelas. 

Infografisnya pun saya dapatkan dari koran selain Kompas. Hiks....Susah saya.  

Membaca hasil ini, reaksi saya yang pertama, sebagai warga Republik Indonesia ini adalah:

  • Studi tersebut bisa saja dijadikan legitimasi oleh Komisi 3 DPR dan Pemerintah bahwa revisi UU KPK memang diperlukan. Hasil survei hadir 1 hari sebelum ketok palu. 
  • Survei dilakukan oleh Litbang Kompas. Siapa sih yang tak kenal Kompas? Media yang terkenal seantero Indonesia. Pasti kredibel atau terpercaya. Metodologinya mumpuni. Analisisnya joss! Diseminasi Mak Nyus. Dampak membahana. Dipakai untuk referensi. 
  • Jadi, warga bahagia menerima, bahwa memang revisi UU KPK adalah jalan hidup kita di tahun 2019. Silakan menerima, suka atau tidak. Soal koruptor akan berpesta, itu ya nasib kita.

Bicara Metodologi Secara Umum
Sebelumnya mohon maaf ya, saya pakai istilah umum yang mudah karena ini bukan skripsi, tesis apalagi disertasi. Ini obrolan tentang survei yang diterbitkan satu hari sebelum suatu rencana revisi UU KPK disahkan. Jadi ya jangan dilihat kata perkata untuk menembak bahwa yang saya sampaikan akan terlalu kasar. Tidak mengikuti kaidah penelitian. Boleh japri saya bila ingin mendiskusikan secara metodologis maupun hasil analisisnya. Saya siap.

Secara umum, kita tahu bahwa survei dilakukan untuk jajak pendapat secara cepat. Sampel yang diambil perlu random atau acak, dan mewakili cakupan wilayah survei atau populasi.

Nah, survei sering disebut studi kuantitatif, karena analisis dilakukan dengan cara menghitung frekuensi terbanyak dan memetakan pola kecenderungan. Survei diajukan dengan pilihan jawaban yang telah terstruktur.

Temuannya biasanya umum, dan media atau koran seperti Kompas biasanya mengadakannya melalui telpon atau link website, semacam calling survey dan E-survei lah. 

Sah! Tak ada yang salah!

Nah, validitas hasil analisis bisa dipengaruhi beberapa hal, antara lain tergantung dari bagaimana responden paham dengan subyek penelitian. Ini dia! Apakah responden paham objek penelitian.

Kalau kita lihat video yang direkam berbagai media melalui youtube, banyak sekali warga tak paham apa itu revisi UU KPK. Lha kok orang di jalan, kawan-kawan saya saja menganggap itu barang pelik, susah dipahami, ga mudeng, terlalu politis, ruwet dan pusing.

Ini juga saya pahami dari reaksi kawan kawan yang saya "bagi" petisi soal revisi UU KPK dan menolak berpartisipasi. Jadi, dalam hal petisi yang saya inisiasi, mereka yang paham yang tertarik ikut petisi.

Walah kok orang di jalan dan keluarga. Ntar nih anggota legislatif yang menang perlu 1 tahun penuh untuk belajar dan  tahu apa itu hak legislatif, juga ketika itu gunakan hak inisiatif. 

Hal ini ada dalam banyak studi, termasuk studi yang saya pernah lakukan ketika mengevaluasi suatu program terkait partisipasi perempuan dalam politik. Bukan hanya anggota legislatif perempuan tetapi juga anghota legislatif laki laki tidak paham tentang peran peran legislatif yang 3 buah ( hak budget, hak membuat legislasi atau hak inisiatif, dan hak pengawasan).

Itulah perlunya kita menggali lebih jauh dan mengajukan pertanyaan yang lebih dalam. 

Jadi, saya pikir, kalaupun kita mau bikin survei, mungkin perlu dipertimbangkan random sampling yang purposif. Artinya, kita menyasar kepada mereka yang paham UU KPK, usulan revisinya. Kalau rumit, ya jangan pakai survei doang. Survei ga mampu jelaskan itu. 

Data untuk Pelengkap Survei
Sekali lagi, saya sulit dapatkan link dari laporan lengkap survei Litbang Kompas ini sehingga saya perlu berhati hati mengomentari.  Namun saya berani dengan cepat mengatakan sesuatu, ketika menemukan temuan yang tampak melompat, yang mestinya perlu ditindaklanjuti dengan pertanyaan menukik untuk mendapatkan informasi lain. 

Bahkan, saya tidak dapatkan tipologi responden. Perempuan, laki laki, dari urban, rural, di kota mana saja. Kapan dilakukan survei, Itu penting sekali dalam suatu studi. 

Okaylah. 

Karena Survei tidak bisa menjawab, kita perlu gali data lain. Ini untuk menggali lebih dalam, memvalidasi serta melihat pada temuan konsistensi temuan. Ini penting karena ini dibaca warga Indonesia. Jangan sampai ini temuan survei dibaca secara hitam putih sebagai informasi yang sepotong sepotong. 

Mengapa tidak lakukan 'focus group discussions' (FGD) dengan stakeholders. Kita bisa ajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan survei Litbang Kompas. Lalu ajukan petanyaan pertanyaan terkait 7 aspek yang hendak dirubah DPR. Juga boleh diskusikan Supres. Jadi, substansinya dibahas. 

Lha wong mengusulkan Undang undang saja ada Naskah Akademis kok. Kalau kita hanya pakai survei, saya kuatir kita tidak terbantu apapun. Bahkan salah salah, kita menjerumskan orang yang tidak paham filosofi survei, dan obyek bahasannya. 

Satu hal lagi, survei dilakukan di masa genting revisi UU KPK yang mendapat begitu banyak penolakan. Jangan sampai, temuan survei yang kaya dari Litbang Kompas hanya diterima sepotong, sebatas dari apa yang dipahami dari media sosial. 

Hasil Survei Litbang Kompas

Nah, di survey Litbang Kompas, terdapat pertanyaan utama, yaitu "Sejak ada KPK, pemberantasan korupsi di Indonesia lebih baik, lebih buruk, atau sama saja".

  • Tanggapan pihak yang menjawab perlu revisi UU KPJ mengatakan bahwa a) kondisi lebih baik (39,5%), lebih buruk (60%) dan sama saja (59,7%).
  • Tanggapan responden yang menjawab tidak perlu revisi mengatakan a) Lebih baik (45,3%), b) lebih buruk (35%) dan c) sama saja (27,1%).
  • Selanjutnya, tanggapan responden yang menjawab sama saja, mengatakan a) lebih baik (59,7%), b) lebih burukk (27,2%), dan sama saja (13,2% ).

Juga, survei menangkap informasi tentang pandangan publik tentang Dewan Pengawas.  Mayoritas responden juga menyatakan setuju terhadap poin-poin revisi UU KPK yang selama ini menjadi polemik. 

Misalnya, 64,7 persen mayoritas publik setuju pembentukan Dewan Pengawas KPK, 55,5 persen perlu ada Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) di KPK.

Nah ini membuat saya ragu. Benarkah responden tahu apa peran Dewan Pengawas?  Dewan Pengawas ini masuk ke detil operasional kerja KPK lho. 

Sementara itu, terdapat hal hal yang menarik terkait padangan 48,5 persen masyarakat setuju proses penyadapan KPK dilakukan tanpa izin dan 62,1 persen setuju KPK bisa merekrut penyidik sendiri, tidak harus dari kepolisian. Padahal ini adalah justru kondisi pada saat sebelum revisi UU KPK. Apakah ini merupakan pandangan mereka yang setuju atau tidak setuju pada revisi UU KPK? Terdapat beberapa aspek konsistensi yang perlu dicek ulang. 

Temuan temuan itu 'seakan' menggunakan asumsi bahwa responden tahu dan paham UU KPK. Aduh mak, saya capai mengulang soal ini. 


Satu hal yang mungkin merupakan PR kita bersama adalah mencari tahu apakah responden tahu pemahaman bersama terkait  a) apa itu korupsi. Samakah persepsi kita?; b) seberapa paham UU KPK yang ada sekarang, c) Apa itu revisi UU KPK? Apa substentang tansinya apa?, d) Mana yang setuju dan mana yang tidak.

Memang perlu detil. Kalau hanya bergantung pada jawaban setuju, tidak setuju dan tidak tahu saja, saya rasa itu berisiko. 

Banyak pihak tidak memahami substansi UU KPK yang lama, dan tidak paham pula 7 aspek yang direkomendasikan DPR untuk direvisi. Bahkan, Surpres yang disampaikan Presiden Jokowi saja ditemukan merespons hal yang tidak diusulkan oleh DPR. Ini dicatat oleh ICW dan MTI. 

Lha keluarga saya dan sahabat saya yang terpelajar dan sekolah S2 saja tidak paham apa itu UU KPK, isinya apa, dan mengapa kok diributkan.

Apa yang membuat Survei tak mampu potret situasi sebenarnya?

Tidak selamanya survei mampu menjelaskan situasi yang ada.

Survei tidak menjelaskan apa adanya ketika:

  • Responden ingin nampak seakan tahu masalah dan memberikan jawaban yang dikehendaki publik. Apalagi bila itu merupakan pandangan orang atau lembaga yang menjadi idolanya. Jokowi memenangkan Pilpres. Idolanya banyak. Kalau Jokowi sudah bertekad revisi UU KPK, idola mau bilang apa? 
  • Responden tak mau menjawab hal yang sensitif. Revisi UU KPK ini memang sangat sensitif. Kita melihat begitu banyak demo, juga ada isu radikalisme di dalam tubuh KPK, pimpinan KPK mundur. Ini isu sensitif
  • Responden ingin menjawab sesuatu yang mereka asumsikan lembaga peneliti ingin jawabannya
  • Responden tidak tahu subyek yang diteliti. Ini kental sekali nampak dalam banyak media. 

Mohon lihat pada pustaka untuk sumber acuan saya. 

Apa Lagi yang Mestinya Bisa Dilakukan Litbang Kompas?

Selain menerangkan kekuatan survei, yaitu bisa menjawab cepat serangkaian jajak pendapat, Litbang Kompas semestinya memberikan penjelasan apa kekurangannya. Bahwa ini gambaran umum.  Mungkin perlu studi lain untuk bisa menerangkan.  Dan lain lain. 

Selanjutnya, Litbang Kompas bisa membandingkan dengan temuan umum di antar warga. Bisa dilihat dari mereka yang demo pro revisi. Lha video menunjukkan bahwa mereka tak paham.

Kita bisa cek juga: 

  • Studi lain sebagai acuan konteks yang telah ada. Indeks Persepsi Korupsi atau CPI dipakai di banyak negara dan memotret persepsi masyarakat tentang adanya korupsi di negara masing masing. Indeks yang naik atau turun akan menggambarkan situasi dan pola umum. CPI sendiri disusun berdasar laporan laporan studi yang ada. Juga, adakah studi lain yang dibuat lembaga lembaga yang bergerak di isu anti korupsi? Baca laporan ICW. Juga Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Juga buka laporan PSHK. 
  • Lalu, sebetulnya Litbang Kompas bisa menggunakan informasi, deklarasi dari civitas academia dan guru besar dan dosen itu bukan informasi penting, yang secara kualitatif bisa diambil kesimpulannya. Lha itu informasinya panjang. Mereka juga tanda tangan. Jangan jangan kalau kita hidung secara kuantitatif, jumlah sampel yang deklarasi lebih banyak dari yang diikutsertakan dalam survei Litbang Kompas.
  • Nah, saya malah memiliki data yang bisa dipergunakan untuk melengkapi. Saya tidak bisa tampilkan semua, mengingat perlunya waktu. Namun, saya bisa membuat analisis dari tanggapan mereka yang membuat petisi dan menjawab alasan mengapa mereka membuat petisi. Kalau ada waktu saya akan buat tabulasi dari informasi itu. Jawaban jawaban itu ada yang cukup jelas dan mengelaborasi, dan ada pula yang hanya merupakan pengulangan. Namun, setidaknya, kita bisa memiliki beberapa argumentasi pembanding. Apalagi ini dilakukan sebagai pertanyaan terbuka, sehingga jawabannya lebih luas dan beragam pula. 

Berikut adalah sebagian jawaban atas pertanyaan "mengapa melakukan petisi" 

KPK terancam

Indonesia butuh KPK yang efektif dan independen

Kami bersama KPK

Pemimpin bermasalah malah dipercayakan. Bodoh sekali. Sementara, karyawan dan pimpinan KPK menolak

Banyak undang undang bertentangan dengan keadaan yang ada

KPK harus tetap independen dan tak terasuki kepentingan politik siapapun

Teman teman semua, kita semua sepakat saya kira bahwa KPK harus dikuatkan. Jika merevisi UU KPK adalah bagian dari upaya itu

Revisi UU KPK nyata nyatanya dipercepat tanpa adanya urgensi utk revisi uu kpk. Ini adalah indikasi adanya kepentingan koruptor di balik revisi uu kpk

Peduli terhadap penindakan pelaku korupsi secara komprehensip

Saya kecewa

Berikan KPK kewenangan yang tepat untuk memberantas korupsi

Seharusnya kita bersyukur dg adanya KPK agar semua permasalahan yang ada di Indonesia yang menyangkut korupsi/koruptor akan tuntas dan Indonesia terbebas dar namanya koruptor

Indonesia butuh manusia jujur, karena sudh terlalu banyak manusia yang (merasa) pitar dan hobi membodohkan

Panjang umur perlawanan!Tolong perkuat KPK

Tolak pemimpin bersifat koruptor

Saya perduli akan wewenang KPK yg rasa rasanya dilemahkan


Dari sekitar 3.000 tanda tangan, terdapat 67 penanda tangan yang menjawab mengapa mereka melakukan petisi. 

Saya sampaikan sedikit screenshoot ya. 

Sumber : Petidi Change.org
Sumber : Petidi Change.org
Sumber : Petidi Change.Org
Sumber : Petidi Change.Org
Sejujurnya, saya ingin sekali Litbang Kompas bertemu dengan para peneliti politik dan sosial dan juga akademia, untuk memberikan komentar dan sekaligus mengecek validitas temuannya.

 Jangan sampai, revisi UU KPK dilakukan cepat tergesa, survei terkait isu juga cepat tergesa, kemudian seakan validasi juga harus cepat diberikan untuk menjustifikasi pada keputusan cepat, dan berharap masyarakat puas. 

Saya sangat kuatir dengan hal ini. 

Angka temuan survei itu benar adanya. Ini Litbang Kompas lho. Analisisnya tidak bisa hitam putih. Ya atau tidak. Ini perlu analisis mendalam.

Saya harus haturkan mohon maaf kepada Kompasiana yang merupakan anak dari Kompas, bahwa Survei ini mungkin informatif, tapi tidak memberikan pendidikan yang memadai bagi masyarakat yang masih buta hukum, buta undang undang dan tak kenal apa itu korupsi. Jangan jangan , polisi yang meminta duit karena kita kena tilang bukan dianggap korupsi dan suap. Cilaka!

Di manapun di dunia, lembaga survei bisa jadi alat politik. Apakah lembaga survei milik universitas, perusahaan, ataupun negara. Hasil studi itu tentu tergantung pada konteks, metodologi, analisis dan presentasinya serta persepsi. Bila konteks kita tinggalkan, metodologi tidak ditata baik, analisa sepotong, dan presentasi tidak kita dapatkan, lalu kami publik harus bilang apa? 

Media, Litbang, Universitas, dan Peneliti seyogyanya memberikan temuan yang disertai penjelasan konteks di mana studi dilakukan. Ketika studi dilakukan di lingkungan yang tidak paham isunya, cara kita menilai hasil studi juga berbeda. 

Cara Baca Logika Sebab Akibat dari Hasil Survei 

Saya ingat tentang temuan survey tentang bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan. Ketika terdapat lembaga yang mensurvei, tentu kasus kekerasan terhadap perempuan yang dulunya tidak diketahui sekarang jadi diketahui publik. Lalu, orang kadang katakan bahwa ada kekerasan yang meningkat, yang sebetulnya karena pendataan yang lebih baik dan penegakan hukum yang meningkat. Oleh karenanya, cara baca dari data atau angka kekeradan adalah "reported cases", kasus yang dilaporkan. 

Akan salah bila saya katakan bahwa sejak ada Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat. Ini salah baca.  

Padahal, jumlah kasus yang dilaporkan meningkat karena makin banyak perempuan sadar dan melaporkan kasusnya. Pendataan yang lebih bagus menampilkan cakupan data kekerasan  lebih baik. 

Yang tak kalah pentingnya adalah tindak lanjut dan penegakan hukumnya. 

Ini bisa kita pakai dalam melihat kasus korupsi dan kinerja KPK. Studi yang saya paparkan pada beberapa artikel terdahulu menunjukkan bahwa KPK memiliki ketuntasan dalam membawa kasus ke penegakan hukum. 

Adalah salah besar menyandingkan info grafis tanpa penjelasan terkait adanya kasus korupsi yang makin banyak setelah ada KPK. Ini cilaka banget. Coba baca Infografis itu. Saya ngeri membacanya. Bukan ngeri pada hasilnya. Ngeri pada dampak dari cara baca yang salah. Kita membodohi masyarakat dengan infogafis yang tidak berbunyi dengan jelas. 

Seperti juga kekerasan terhadap perempuan, kasus korupsi itu seperti the tip of ice berg, puncak gunung es. Yang tampak di permukasn kecil. Di dalamnya ada persoalan dengan skala lebih besar 

Aduuuuh, kalau mau dituntaskan, kita mungkin gilo kejer kejer melihat kasus korupsi. 

Komnas Perempuan meluncurkan Catahu 'Catatan Akhir Tahun' setiap tahunnya, sebagai bagian dari akuntabilitas lembaga. Laporan itu mrmberi pemahaman tentang isu terkini, skala kekerasan dan tantangan yang ada. 

Ini juga ada di KPK. Itu adalah laporan tentan dinamika dan perembangan serta tren korupsi, Berikut tantangannya. Kita saat ini sering terkaget bahwa kasus korupsi banyak dan berbentuk baru dengan skala besar dan mengerikan. Ini dilaporkan dalam Laporan Tahunan PK setiap Tahun.

Karena ada KPK yang efektif, maka kita tahu temuan itu. Namun, orang yang tak paham mengatakan bahwa korupsi makin buruk. Kalaupun bila makin buruk apakah penyebabnya adalah karena KPK. 

Jangan jangan lembaga penegak hukum tak lakukan mandat berantas korupsi. Jangan jangan KPK itu sendirian karena lembaga lain tetap tari telanjang lakukan praktek korupsi dengan terang terangan. 

Apalagi bila ini dipakai DPR Komisi 3 dan pemerintah untuk melegitimasi perubahan UU sepenting UU KPK. 

Saya prihatin bahwa informasi yang ada di koran soal Survei ini langsung dikaitkan dengan pernyataan Komisi 3. Media turut berkontribusi 'njlomprongke', mendorong agar revisi UU KPK terjadi. 

Kita, yang ada di media warga, juga di media arus utama, bertanggung jawab dalam proses transparansi dan akntabilitas di negeri ini. 

Beberapa hari di 2-3 minggu ini, saya melakukan dosa besar kepada rekan rekan Kompasianer, karena saya begitu ingin menuliskan pandangan. Sementara karena saya juga bekerja, saya kehilangan waktu untuk blog walking ke sahabat sahabat saya. Mohon maaf untuk itu. Maafkan saya, kawan kawan. 

Saya gemas dengan apa yang ada soal KPK dan hal terkait korupsi. 

Sayapun ikhlas ditelpon oleh orang yang tidak saya kenal, dengan nomor yang saya tidak kenal pula, pada pagi, siang dan malam. Setiap hari sejak saya memulai petisi ini via Change.org. . Saya ingat ingat, saya tidak punya hutang kartu kredit, kok saya dihubungi dengan cara aneh. Satu kali kring lalu ditinggal. Begitu terus. Ya sudah, itu risiko manusia. 

Apakah karena saya cerewet? Mungkin iya. 

Saya begini karena saya cinta yang mendalam kepada pak Jokowi. Cinta yang terlalu dalam, mungkin. Tetapi gayung tak bersambut. 

Pak Jokowi luar biasa cuek. Bahkan, belakangan nampak arogan dan sombong. Padahal saya tidak minta sepeda. Padahal, kita janjian waktu Pilpres bahwa Bapak mau pikirkan saya dan kami semua. Khususnya, Bapak janji perkuat KPK. 

Kata orang saya tidak bawel, tapi jadi cerewet dan menyebalkan begini. Gara gara Bapak. 

Saya begini karena Bapak! Saya terpaksa bicara.

Pustaka : Litbang Kompas, Survei yang bisa Salah, Kapasitas Legislasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun