Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kisah Kasih Konsultan Politik dan Kliennya, 8 Alasan Saya Tak Percaya Denny Siregar

17 September 2019   14:48 Diperbarui: 10 Oktober 2019   07:15 2810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshoot dari video di IG@dennysiregar

Tulisan Denny Siregar soal 'Kisah Kasih Antara AB, NB, dan BW" rupanya membius banyak kalangan. Bahkan, kawan-kawan saya yang sebagiannya adalah aktivis, feminis, yang bergelar S1, S2 dan bahkan S3 sangat percaya tulisan Denny. 

Ini soal adanya kelompok radikal dari persaudaraan antara AB dan NB dan persahabatan dengan BW, yang dianggap juga raja kecewa. 

Bahkan secara spesifik disebut ada kelompok Taliban di dalam tubuh KPK yang merencanakan sesuatu yang besar untuk Pilpres 2024. Disebutkan ambisi AB. Lalu ketidakberuntungan NB yang menjadi rusak matanya karena jadi korban kekerasan di KPK. Mereka punya kasus IMB reklamasi Jakarta yang 'dirawat' tak disentuh KPK untuk alasan politis. 

Saya memang menerima beberapa kali tulisan Denny Siregar dari kawan kawan. Saya kok tidak kagum ya. Selain tulisannya memang renyah gurih, penuh Ajino Moto. 

Jadi...sepanjang saya bagi tautan petisi ke kawan, saya dapat balasan file yang sama, tulisan Denny Siregar.  Oh Denny..

Ini saya catat ketika saya ajak kawan kawan mendukung petisi yang saya mulai untuk Presiden RI dan DPRRI untuk Membatalkan Ketua KPK Baru yang Bermasalah. 

Jawaban beberapa kawan saya cukup seru (dan lucu lucu). 

"Saya pelajari dulu situasi politik ya". Cieee. 

"Aku hanya berharap NKRI". Duh... jadulnya, kak. 

Ada juga "Ini bukan untuk politik, khan?" Hmmmm...ya iya no. 

Dan, ada yang cerdas, namun gamang " Aku tidak bisa menolak begitu saja realitas bahwa resapan ekstrimisme ada di lembaga-lembaga, termasuk di KPK. Lalu pelemahan KPK didorong banyak pihak dengan gunakan sentimen radikalisme. Tapi....". 

Ada juga yang tak membalas, padahal mereka sahabat yang tahu luar dalam saya. Yang ketika saya ada kesulitan teknis di pekerjaan akan dibantu sebisanya. Menarik ya? !. Saya sesungguhnya menikmati temuan temuan semacam ini sebagai bahan analisis.

Itu tidak menjadi masalah, karena sampai dengan saat ini, bahkan setelah palu diketok oleh DPR RI yang telah bersama pemerintah mrnyetujui revisi UU KPK, dukungan berupa tanda tangan petisi tetap mengalir. Sampai dengan siang ini pukul 13.00, terdapat dukungan sejumlah 2.957 tanda tangan kepada petisi tersebut. 

Terlebih, saya terima dukungan materi (berupa uang) via Change.org untuk penerusan ajakan petisi via Change.org.  kami tak saking kenal, hanya punya kepentingan yang sama, berantas korupsi.

Screen shoot status Change.org untuk petisi terkait revisi UU KPK (Dokumentasi Pribafi)
Screen shoot status Change.org untuk petisi terkait revisi UU KPK (Dokumentasi Pribafi)
Kepada kawan yang ragu, saya biasanya bagi tulisan saya di Kompasiana tentang mengapa saya tidak percaya pada tulisan Denny Siregar. Dan, sambutan kawan-kawan saya cukup menarik . Mereka katakan "wah alasanmu sepele banget, tapi masuk akal ya." Lhaaaaa saya bukan ahli politik. Saya sekedar emak emak yang belajar kenali nyamuk betina yang gigit kaki ibu atau anak saya. 🤣

Baiklah, di bawah ini, argumen saya mengapa saya tidak percaya pada Denny Siregar.

Pertama, bila memang benar terdapat kelompok radikal di dalam tubuh KPK, mestinya sudah dari kemarin KPK diserbu tim anti terorisme, kan? Ini kan aneh. Begitu banyak orang percaya ada Taliban di dalam KPK, tidak ada kan tim khusus yang membongkar KPK untuk alasan radikalisme. Nah, kalau soal adanya penyadapan ruang kerja oleh oknum KPK itu memang sudah kita sering dengar kabarnya. Pimpinan KPK 'dikerjain' timnya. Ngerinya. 

Kedua, inilah komentar Anita Wahid, Putri Gus Dur.

"Secara pribadi saya sendiri melakukan tabayun, datang ke sana (KPK) nanya-nanya. Dan yang saya temukan bukan radikalisme, tetapi hanya orang-orang yang kalau zaman sekarang sebutannya 'hijrah' lah," ungkap Anita. 

"Dan kemudian saya menemukan bahwa KPK sudah melakukan langkah-langkah dengan mendatangi lembaga-lembaga tertentu, seperti datang ke BNPT untuk mempelajari radikalisme, bagaimana mengetahui ciri-ciri dan mengidentifikasi apakah memang ini terjadi di KPK atau tidak," lanjut dia (Anita Wahid, Detik.com, 15 September 2019) 

Keluarga Abdurrahman Wahid memang bekerja pada isu radikalisme, dan mereka tentu akan mencium hal ini bila isu radikalisme yang ditiup benar. Anita mengatakan ia tidak menemukan isu Taliban dan radikalisme. 

Ketiga, Denny Siregar menyebut KPK tutup mata dan telinga soal aroma kolusi penerbitan IMB reklamasi DKI, dan malah KPK sibuk dengan OTT ikan ikan kecil. Menurut saya, justru OTT KPK bandeng besar dan ikan paus yang tidak pandang bulu dan juga adanya kasus sebesar E-KTP dan BLBI, maka KPK 'dikepung.' Juga, AB hanya meneruskan mengurus IMB reklamasi yang sudah dimulai sejak gubernur sebelumnya, bukan?!.

ICW menyebutkan bahwa terdapat minimal 23 anggota DPR yang merupakan tersangka korupsi. Ini tersebar di banyak partai, termasuk PDIP, Golkar, Demokrat, Gerindra dan partai partai lainnya (Jawa Post, 15 September 2019). ICW yang telah lama bekerja di isu anti korupsi dan lakukan studi tentu lebih memahami persoalan ini daripada Denny Siregar yang ada di depan laptopnya.

Keempat, KPK, termasuk pimpinan KPK, juga telah menyampaikan pernah melakukan proses konsultasi untuk 'belajar' tentang apa itu radikalisme dan ciri ciri yang ada di antara kelompok radikal. Ini untuk melindungi KPK dari apa yang dituduhkan beberapa pihak.

Bahkan KPK difasilitasi Imam Prasodjo sebagai moderator dengan mengundang Ali Fauzi, seorang mantan teroris, dan pak Mulyono korban bom Kuningan melakukan diskusi. 

Menurut Imam Prasodjo, ini bukti bahwa KPK terbuka untuk mendengarkan berbagai pihak, termasuk Ali Fauzi yang saat ini menyesali perbuatannya melakukan teror dan anti merah-putih. "Ini yang saya kirim ke orang orang yang menstigma KPK Taliban", begitu kata Imam Prasodjo. Ini disebutkan di FB-nya. 

Imam Prasodjo selaku moderator diskusi dengan ex teroris yang sadar (Foto: Imam Prasodjo FB)
Imam Prasodjo selaku moderator diskusi dengan ex teroris yang sadar (Foto: Imam Prasodjo FB)
Kelima, Mahmud MD adalah ahli bidang hukum dan paham isu radikalisme. Apalagi, ia adalah 'scholar' Islam. Bila memang radikalisme ada di KPK, Mahmud MD tidak akan memberikan saran kepada Jokowi (via media) untuk menunda revisi UU KPK untuk dilakukan pada masa DPR 2019-2024, agar tidak cacat formil. Ia mungkin akan beri rekomendasi 'tangkap Taliban', bila memang itu fakta. 

Soal cacat formil dari revisi UU KPK ini sebetulnya sudah disebut kawan kawan di PSHK dan juga BU Niniek Rahayu dari Ombudsmen, mengingat rencana revisi UU KPK tidak ada di Prolegnas 2019 dan memblok dari proses konsultasi publik. Saya lihatnya saja serasa berada di masa entah berantah. O walah...

PSHK, ICW dan MTI tentu akan juga ikut katakan "gempur KPK" dan  'segera' revisi, bila memang tercium olehnya radikalisme itu. Juga, di kesempatan lain, Mahmud MD mengatakan soal perlunya Presiden untuk bertemu dengan pimpinan KPK 2014-2019. Meski pada saat itu, Mahmud MD tidak melihat relevansi penyerahan mandat pemberantasan korupsi oleh Ketua KPK kepada Presiden.

Keenam, begitu banyak petisi dan deklarasi dibuat oleh guru besar, akademisi, dan civitas academia yang tergabung dalam aksi Aliansi Akademisi Nasional menolak RUU KPK dan upaya pelemahan KPK. Mereka adalah orang orang berpendidikan, punya pemikiran dan analisis, dan cinta negeri. Jumlah mereka yang melakukan deklarasi ribuan. Eh, tapi, maksud saya, itu ga efek ke pak Jokowi. Pak Jokowi sedang alergi dengan orang pinter. 

Mereka tak mudah percaya dengan tiupan berita soal Taliban di dalam tubuh KPK. Bayangkan, deklarasi Profesor, Doktor, dan Akademisi yang digelar oleh lebih dari 30 universitas di Indonesia. 

Tujuh, yang menarik, saya juga dibagi skema sindikasi Taliban di dalam KPK oleh kawan saya yang orang DPR. Kembali lagi, lha tahu ada Taliban di KPK kok cuma dibuat skemanya. Tangkap saja mereka bila terbukti. Itu batin saya. Gitu saja kok repot. 

Skema
Skema
Hal hal seperti di atas adalah hal mendasar. Kurang memberi dasar kuat dalam analisis. 

Sayangnya, kawan dan sahabat saya yang cinta buta jagoannya di Pilpres menjadi galau. Lalu, teorinya berjalan soal banyak hal. Seru juga sih menyaksikan begitu banyak aktivis yang begitu terpelajar, dan melihat proses revisi UU KPK yang tergopoh dan terkesan ceroboh dan pongah itu sebagai 'normal'. Belum lagi lihat 'fit proper test' di jam 1 malam buta. Saya kok merasa dibodoin ya. Apalagi melihat sidang Komisi III. Seperti terbirit teken di penghulu karena penghulu segera pindah gedung lain. Ketika pengukuhan pimpinan KPK, Fahri Hamzah menyebut yang hadir hanya beberapa puluh lalu yang ijin sekian ratus, dan dok dok dok sesuai quorum. Alah mak jan. Apakah ini normal, saudaraku yang sekolahnya sudah hebat hebat? Anda tidak merasakan itu? 

Delapan, seperti tulisan saya sebelumnya, Denny adalah konsultan politik. Ia memang hidup dari analisisnya dan advis politiknya. Di masa yang lalu, mungkin ia bisa dipercaya ketika mengatakan akurasinya soal 212 dan 411. Sebagai konsultan, ia bisa memiliki beberapa klien. Bahkan bisa juga klien dengan partai politik yang berbeda, yang punya kebijakan berbeda, atau malah bertubrukan.  Saya rasa, ia bisa kaya raya untuk menjadi konsultan partai sebesar PDIP, Kantor Kepresidenan atau BAIS untuk kasus seheboh UU KPK. 

Siapa Denny Siregar?

Denny Siregar dalah pegiat di medsos. Tentunya waktunya bisa 20 sampai 24 jam di depan gadget membaca dan melakukan 'riset', membaca gejala dan tren. Bila ingin menemui Denny, bisa dijumpai twitter, FB dan Instagram. Tapi mungkin sulit ditemui di dunia nyata. 

Pada awalnya ia adalah Jurnalis Radio. Besar di Bandung dan 'sempat' kuliah di Surabaya. 

Di masa Pilpres, Denny Siregar nampak sangat rasional. Apa yang ia tulis ringan renyah gurih, kayak keripik Taro. Namun, saya melihat terdapat yang janggal, khas konsultan politik. Biodatanya tak terdapat di manapun. Tak juga di Linked-in.  

Dan keraguan saya pada kredibilitas Denny muncul dalam beberapa hal:

1. Denny tidak obyektif melihat Firli Bahuri. Kita bisa melihat bahasa tubuh dan gaya Firli Bahuri serta sepasukan anggota DPR yang melakukan wawancara 'fit and proper test'. Bagi seorang konsultan politik yang handal, ia tentu punya kemampuan membaca diluar yang tekstual. 

Bahasa tubuh, simbol simbol, prosedur dan proses dan konektivitasnya perlu tahu. Ia bahkan tak menyentuh betapa prosedur revisi UU KPK itu janggal, bergesa, dan menutup konsultasi publik. Undang undang anti terorisme yang berkenaan dengan keamanan negara saja dikonsultasikan. Ini malah ditutup tutupi.  

Ia dengan ringan memproteksi Firli Bahuri dengan memelas bahwa Firli dibunuh karakternya. Di mata saya Firli nampak sudah tahu bakal jadi apa, bahkan sebelum melamar. 

Di sisi lain, dituliskan betapa 'cemen' dan 'cengeng'nya Agus Rahardjo, yang begitu saja kok mundur, tidak professional. Kepada rekan saya yang anggota DPR yang membagi beberapa kisah melalui pesan Whatsapp, saya ucapkan terima kasih atas tulisan itu ya. 

2. Denny memposting 'pembelaan' kepada Jokowi atas cover majalah Tempo yang menggambarkan Jokowi sebagai Pinokio. Bagi saya, bila Denny menghormati Presiden Jokowi, yang mungkin saja adalah kliennya, ia tidak perlu memposting ulang cover majalah Tempo itu. 

Ia sebetulnya bahkan melakukan penyebaran atas cover Jokowi itu.  Kalimatnya ringan tanpa beban. Dan, menurut saya, ia tidak terkesan 'melindungi' kliennya, melainkan menjadikannya obyek diskusi dan bullying lebih lanjut. 

Seperti diketahui, Denny menuntut Tempo untuk meminta maaf. Majalah Tempo menjawab bahwa itu bukan penghinaan, melainkan metafora dari tuntutan rakyat yang tidak dijawab. 

3. Dalam suatu forum di Gresik, Federasi buruh, FSPMI tersinggung dengan pernyataan Denny Siregar yang menyebut kelompok buruh 'garda meta' sebagai pasukan nasi bungkus. Ini tentu merendahkan kelompok buruh. Etika seseorang dapat dilihat bagaimana ia mengahadapi orang dengan status yang dianggap lebih rendah. 

4. Yunarto Wijaya, Diektur Eksekutif Charta Politika Indonesia, pernah memberi teguran keras kepada Denny yang menyalahkan para pengkritik Jokowi terkait kebakaran hutan di Riau. Denny membela secara buta Jokowi yang dikritik para penggiat perhutanan soal masalah kebakaran hutan dan kepulauan Riau. 

Denny bersikukuh bahwa yang salah (hanya) gubernur dan kepala daerah saja. Yunarto mengatakan bahwa cara dan logika yang dipakai Denny membuat image jagoannya semakin jelek. Yunarto menyebut Denny tak paham tata negara. Saya setuju. Toss. 

Yunarto Wijaya adalah konsultan politik yang menurut saya lebih obyektif. Advisnya dan analisisnya dalam. Namun, ia tak pernah 'overly confidence', PD berlebihan. 

Sekali lagi, masyarakat madani dibelah. Kali ini bukan oleh Pilpres atau Pilkada, tetapi oleh ketakutan yang dibuat oleh pemikiran yang tidak realistis, dan dikembangkan oleh orang yang populer, influencer, dianggap keren dalam analisis. 

What Next?

Apa yang terjadi selanjutnya? Sekalipun pemerintah dan DPRRI sudah merayakan disahkannya revisi UU No 30 2001 tentang KPK di gedung DPR tadi pagi, masyarakat sipil tetap harus bersuara. Ada yang tak beres. Sekalipun kita pilih Jokowi dalam Pilpres, bukan berarti kita terima semua kondisi, termasuk janji kampanyenya yang tidak dipenuhi.  

Nah, setuju ga anda dengan usulan Fahri Hamzah bahwa Dewan Pengawas KPK sebaiknya adalah politisi. Monggo.....

Fahri Hamzah yang mendorong dorong revisi UU KPK lalu berkata seakan 'njeblosin Jokowi "Nah inilah yang menurut saya puncaknya, Pak Jokowi merasa KPK adalah gangguan", kata Fahri kepada wartawan (Kompas.com, 17 September 2019). Jahat engga? Sudahlah, dia bukan siapa siapa. Bukan wakil saya. 

UU KPK adalah undang undang yang kritikal. Yang kritikal tentu harus dibincang baik. 

Negara ini dipermalukan dengan segala kebodohan karena korupsi. Polisi minta duit di jalan. Lalu urus ini itu harus sediakan amplop. Kebakaran hutan yang asapnya ke negeri seberang. Jembatan dan jalan yang rusak. Jual beli jabatan.  E-KTP yang lama tak jadi, sementara urusan hak sipil warga ada di sana. BPJS dikorupsi. Apa lagi? Lha itu duit kita lho. DPR dan Presiden itu harus bertanggung jawab pada kita lha wong kita pilih. 

Jangan harap investor luar negeri datang, bila korupsi meraja lela. Padahal itu mimpi Jokowi. Mereka jijay menghadapi koruptor di semua jendela transaksi. Ini negara apa sih?

 Ini negaraku tercinta yang pemimpinnya terjerat kontrak politik DPR yang bakal pensiun dan tak berkuasa lagi di periode depan. Cuci cuci. Bersih bersih. 

Pak Jokowi, saya bukan mencla mencle lho ya. Tapi saya masih berharap Bapak akan berpihak pada kami yang memilihmu, menjagamu. Dan saya memungut harapan yang rontok jatuh berceceran entah di mana....

*)Tulisan ini adalah pengembangan dari apa yang tulis sebelumnya terkait mengapa saya sulit percaya kepada Denny Siregar.

Pustaka : Satu  Dua 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun