Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mas Joko, Ada Puisi dari Bulak Sumur, dan Mengapa Saya Sulit Percaya Tulisan Denny Siregar

16 September 2019   06:22 Diperbarui: 17 September 2019   01:07 1688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari Deklarasi Civitas Akademia UGM 15 September 2019 ( Foto : Civitas Akademia UGM)

"Hari ini masyarakat akan mengenangnya sebagai hari pembunuhan KPK dan pengkhianatan kepercayaan terhadap aspirasi publik oleh DPR,” (Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sigit Riyanto, Kompas 16 September 2019)

Puisi dari Bulak Sumur 

Soal puisi memang area kelemahan saya. Saya tidak mampu membuat puisi yang bernas dan bernilai puitik. Itu bukan rahasia lagi.  

Namun, kemarin siang saya menerima tautan puisi dari Bulak Sumur yang dibagi sahabat yang saya percaya melalui WA saya dan saya sedih juga membaca puisiyang ternyata ditulis para Guru Besar UGM itu.

Berikut adalah puisi dengan judul Mas Joko, Kami Mengandalkanmu...!. 

Puisi dari Bulak Sumur pada Deklarasi 15 Sep 2019 ( Foto Civitas Akadrmia UGM)
Puisi dari Bulak Sumur pada Deklarasi 15 Sep 2019 ( Foto Civitas Akadrmia UGM)

Puisi itupun masih terdapat salah ketik. Ini mungkin karena dibuat dengan spontan untuk dibacakan dalam cara deklarasi Dosen dan Civitas akademika UGM menolak RUU KPK diwarnai dengan pembacaan puisi oleh Guru Besar Fakultas Fisipol UGM, Prof. Wahyudi Kumorotomo.

Puisi itu sederhana. Tidak sehebat puisi mas Mim dan mas Syahrul Chelsy atau Uda Zaldy dan Ayah Tuah serta Mas S Aji dan pak guru Ropingi, tetapi membuat saya 'nggregel'. Dalam bahasa Jawa, 'nggregel' adalah haru dan trenyuh serta memelas. 

Saya merasa "melas" melihat para guru besar, academia dan civitas yang 'dicuekin' DPR dan Presiden. Padahal saya tahu, Jokowi bukan orang yang 'EGP'. 

Puisi itu adalah harapan luar biasa dari civitas akademi yang melibatkan guru besar ilmu sosial politik. Tentu tidak main main. Segala pemikiran matang ada dalam deklarasi itu. Ini bukan hanya sekedar deklarasi untuk santapan rohani media sosial.

Foto dari Deklarasi Civitas Akademia UGM 15 September 2019 ( Foto : Civitas Akademia UGM)
Foto dari Deklarasi Civitas Akademia UGM 15 September 2019 ( Foto : Civitas Akademia UGM)

Civitas akademi UGM terus mengatakan dan meyakinkan bahwa, mereka melakukan ini semua untuk mendukung Jokowi. Untuk berada di belakang Jokowi.

Karena foto dan puisi itu pulalah, saya melanjutkan upaya menyebarkan petisi yang saya mulai  ini http://chng.it/pPrTGcnm

Pada Sabtu 14 September 2019, saya hanya berdiam diri dan tidak membagi petisi itu karena saya sedikit putus asa. 

Tetapi kemarin, 15 September 2019, dalam 6 jam, terdapat lebih dari 300 tanda tangan saya dapatkan untuk mendukung petisi itu. Saya tak harus mundur atau ciut. Saya teruskan. Masih ada waktu. 

Kemudian, saya membandingkan dengan tulisan Denny Siregar yang cukup banyak saya terima melalui WA saya. Tulisan Denny Siregar soal 'Kisah Kasih Antara AB, NB, dan BW" yang saya terima dari cukup banyak kawan, saat ini dipercaya banyak pihak, khususnya masyarakat sipil. 

Sebagian dari mereka bingung. Sebagian lain tidak percaya dengan gerakan 'tolak revisi UU KPK'. Sebagian lagi bahkan turut serta mendukung rencana revisi UU KPK.

Tanggapan tanggapan itu saya terima ketika saya membagi tautan petisi yang saya mulai melalui change.org. Tentu saya tidak bisa memaksakan advokasi saya.

 Saya sulit percaya pada tulisan Denny Siregar.

"Secara pribadi saya sendiri melakukan tabayun, datang ke sana (KPK) nanya-nanya. Dan yang saya temukan bukan radikalisme, tetapi hanya orang-orang yang kalau zaman sekarang sebutannya 'hijrah' lah," ungkap Anita. "Dan kemudian saya menemukan bahwa KPK sudah melakukan langkah-langkah dengan mendatangi lembaga-lembaga tertentu, seperti datang ke BNPT untuk mempelajari radikalisme, bagaimana mengetahui ciri-ciri dan mengidentifikasi apakah memang ini terjadi di KPK atau tidak," lanjut dia (Anita Wahid, Detik.com, 15 September 2019) 

Tulisan Denny Siregar melengkapi, tetapi tidak terlalu membantu. Itu menurut saya. Saya makin yakin dengan kalimat sahabat saya yang mengatakan bahwa  informasi Denny bisa saya lihat dari perspektif berbeda yang melengkapi. Bukan dari urusan benar salahnya. 

Ada beberapa hal yang menyebabkan saya berpikir ulang ketika membaca tulisan Denny Siregar.

Pertama, keterkaitan persaudaraan antara AB dan NB sangat mungkin terjadi. Namun, bukan dalam konteks untuk berkonspirasi melemahkan KPK untuk melindungi suatu konspirasi atas pelemahan KPK. Juga, Denny Siregar menggambarkan, baik NB adalah orang kecewa karena ia harus terluka akibat investigasinya atas kasus besar. 

Keluarga Abdurrahman Wahid yang memang bekerja pada isu radikalisme tentu akan mencium hal ini bila isu radikalisme yang ditiup benar. Tak kurang, Anita Wahid melakukan kunjungan dan 'tabayun' dengan beberapa pejabat dan staf di KPK dan menemukan bahwa isu Taliban tidak ada. Yang terjadi adalah terdapat staf yang 'hijrah'.

Kedua, Denny Siregar menyebut KPK tutup mata dan telinga soal aroma kolusi penerbitan IMB reklamasi DKI, dan malah KPK sibuk dengan OTT ikan ikan kecil. Menurut saya, justru OTT KPK yang tidak pandang bulu dan juga adanya kasus sebesar E-KTP dan BLBI, maka KPK 'dikepung.'. 

ICW menyebutkan bahwa terdapat minimal 23 anggota DPR yang merupakan tersangka korupsi. Ini tersebar di banyak partai, termasuk  (Jawa Post, 15 September 2019). ICW yang telah lama bekerja di isu anti korupsi tentu lebih memahami persoalan ini daripada Denny Siregar.

Ketiga, KPK, termasuk pimpinan KPK, juga telah menyampaikan pernah melakukan proses konsultasi untuk 'belajar' tentang apa itu radikalisme dan ciri ciri yang ada di antara kelompok radikal. Ini untuk melindungi KPK dari apa yang dituduhkan beberapa pihak.

Keempat, Mahmud MD adalah orang yang ahli bidang hukum dan paham isu radikalisme. Apalagi, ia adalah 'scholar' Islam. Bila memang radikalisme ada di KPK, Mahmud MD tidak akan mengatakan ke media bahwa sebaiknya revisi UU KPK dilakukan pada masa DPR 2019-2024 agar tidak cacat formil. 

Ini sebetulnya sudah disebut kawan kawan di PSHK, mengingat rencana revisi UU KPK tiak ada di Prolegnas 2019. Ia tentu akan juga ikut katakan 'segera' revisi, bila memang tercium olehnya radikalisme itu. Juga, di kesempatan lain, Mahmud MD mengatakan soal perlunya Presiden untuk bertemu dengan pimpinan KPK 2014-2019. Meski pada saat itu, Mahmud MD tidak melihat relevansi penyerahan mandat pemberantasan korupsi kepada Presiden.  

Kelima, begitu banyak petisi dan deklarasi dibuat oleh guru besar, akademisi, dan civitas academia yang tergabung dalam aksi Aliansi Akademisi Nasional menolak RUU KPK dan upaya pelemahan KPK. Mereka adalah orang orang yang berpikir dan cinta negeri. 

Bayangkan, Profesor, Doktor, dan Akademisi adalah orang orang yang mau berlelah memikirkan negeri, meski pemerintah belum memberikan balas jasa yang memadai atau 'setimpal' dan sering menemukan kekecewaan atas tindakan pemerintah. Padahal kita dikatakan hendak melakukan 'lompatan' melalui SDM yang tangguh di masa yang akan datang.

Enam, logika lainnya, bila memang ada kelompok radikal di dalam tubuh KPK, mestinya sudah dari kemarin KPK diserbu tim anti terorisme, kan? Ini kan aneh. Begitu banyak orang percaya ada Taliban di dalam KPK, lha kok berani demo atau lewat di depan kantor KPK. Tidak takut akan terjadi sesuatu? Sedihnya, pandangan adanya Taliban di dalam tubuh KPK itu dipercaya oleh kawan kawan saya yang bertitel S1, S2 dan S3. Lengkap sudah. 

Tujuh, seperti tulisan saya sebelumnya, Denny adalah konsultan politik. Ia memang hidup dari analisisnya dan advis politiknya. Di masa yang lalu, mungkin ia bisa dipercaya ketika mengatakan akurasinya soal 212 dan 411. 

Saya rasa, ia bisa kaya raya untuk menjadi konsultan BAIS, bila isu yang ia tulis terakhir itu memiliki kebenaran. Saya melihat Denny mempertaruhkan nama dan masa depannya atas tulisannya yang terakhir.

Saat ini makin sedikit individu atau lembaga yang memilki kredibilitas dan dipercaya masyarakat. Dan, individu, kelompok dan lembaga pada 5 kelompok di atas, adalah sedikit dari mereka yang masyarakat waras masih percaya. 

Boleh saya dengar pendapat anda, mana yang anda percaya?   Civitas Akademia, putri Gusdur, Mahmud MD, dan KPK tinimbang DPR? Harus saya sampaikan bahwa saya tidak punya rasa percaya pada DPR sedikitpun. Seujung kukupun saya tidak percaya. 

Saya kira RPJMN 2019-2024 perlu serius memasukkan pembangunan politik yang sehat dan profesional. Mengerikan sekali situasi politik kita. Pembayar pajak perlu ketat memantau gerak elit politik. Jangan pernah mau duit pajak kita diacak acak. 

Body Language Never Lies

Satu hal lagi, entah mengapa, di kepala saya terkelebat bahasa tubuh para anggota DPR Fraksi III yang hadir pada saat fit and proper test capim KPK. Juga bahasa tubuh Firli yang terpilih jadi ketua KPK. Masih sempat mereka cekikikan dan ketawa ketiwi, padahal mereka adalah yang mungkin mendengungkan pula soal bahaya Taliban di tubuh KPK. 

Kalau memang ada Taliban di tubuh KPK, tentu ada bahasa tubuh tentang perlunya kondisi emerjensi. Lha wong ada Taliban di KPK kok mukanya seperti sedang bancakan. Itu dilakukan di malam buta, dini hari. Saya memang percaya bahasa tubuh. Bahasa tubuh sulit untuk mengelabuhi. Sudahlah, saya sudah tidak percaya DPR kok masih mendiskusikan mereka. 

Yang saya sedih adalah melihat bahasa tubuh pak Jokowi. Lelah. Kerepotan. Keteteran. Bahkan, beberapa saat terakhir, ada kecenderungan pak Jokowi tidak berhati hati. Pertemuannya yang dianggap bukan dengan orang Papua yang tepat, serta Surpres yang memuat poin yang salah karena menegosiasi sesuatu yang justru tidak ada pada draf revisi UU KPK. Kurang tidur bisa bikin kita salah langkah lho. Ini sering kita alami, khan? Kurang tidur membuat kita jadi seperi zomby. 

Khusus, untuk pak Jokowi, saya tetap mengirim doa. Semoga Bapak diberi kekuatan. Semoga Allah memberikan terang di hati Bapak. 

Bapak adalah manusia terpilih. Sebagai Presiden, Bapak memiliki kekuatan besar. Kekuatan besar itu adalah dukungan masyarakat. Bapak memiliki kesempatan memilih yang terbaik untuk rakyat, dan bukan malah bergandengan tangan dengan DPR yang tidak bisa dipercaya. 

Sudahlah, apalah artinya saya. Seorang pekerja yang bukan ahli radikalisme. Juga bukan ahli politik. Juga bukan pula ahli bahasa tubuh. Juga bukan orang yang punya akses untuk mempengaruhi Bapak. 

Saya hanya warga Indonesia biasa, yang terluka karena dikhinati, yang ogah uang bayaran pajak dan BPJS dipersembahkan untuk rayahan koruptor Indonesia yang terhormat. 

Pustaka :  Satu Dua Tiga Empat Lima Enam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun