Media memuat berita tentang kelompok yang membuat demo dan berkontak fisik di depan KPK sejak Jumat dan juga dilanjutkan di hari Sabtu kemarin. Pendemo tidak paham akan apa yang mereka perjuangkan. Pada artikel saya terdahulu, saya menyebut mereka peserta karnaval tinimbang pendemo.
Mediapun mulai membuka cerita bahwa banyak di antara pendemo pro-revisi UU KPK tidak paham substansi usulan revisi UU KPK (CNN Indonesia, 15 September 2019).Â
Mengerikan ketika kita melihat realita dibelahnya masyarakat sipil menjadi masyarakat sipil yang paham isu dan masyarakat sipil yang hanya dimobilisasi untuk mengikuti karnaval yang berbau pesan damai. Juga demo berbau kekerasan untuk mendorong agenda penting soal KPK, yang mereka tidak pahami atau tak mau mereka pahami.
Pada saat ini, masyarakat sipil yang membela KPK adalah masyarakat sipil yang punya pemahaman baik dan rasional (saja). Ini artinya memang hanya selapis tipis dari masyarakat sipil Indonesia.
Bahkan, terdapat beberapa upaya untuk menundukkan upaya membangun suara di beberapa universitas, misalnya di UNDIP. Pengakuan ini diberikan oleh seorang kawan yang menolak revisi UU KPK.Â
Mungkin, beberapa pihak berpikir bahwa kebanggan kita pada KPK tidak bisa lagi berlangsung lama. Saat ini, KPK berjalan tanpa pembela. Organisasi Non-Pemerintah seperti ICW dan MTI, walaupun terus bergerak, mungkin sedikit kelelahan dan kehabisan energi.
Para guru besar yang menulis penolakan adanya revisi UU KPK mungkin sedang sakit hati tidak diperdulikan Jokowi. Begitu juga aksi aksi dari kalangan academia dan juga kelompok profesional.
Semua kelompok profesional yang jadi bagian dari masyarakat sipil mungkin sedikit dari jumlah bila dibandingkan dengan masyarakat yang berdemonstrasi ke Monas untuk urusan lain.
Masuk akal bila kita makin khawatir dengan situasi masyarakat sipil kita. Ini mungkin menjadi bagian dari pergeseran kekuatan masyarakat sipil di seluruh dunia. Laporan 'State of Civil Society Report 2019'Â menggambarkan situasinya. Â
Di satu sisi terdapat roh keji yang berbagi agenda yang sama di antara pemegang kuasa pilar demokrasi, para incumbent presidents melakukan apapun untuk mempertahankan kekuasaan, korporasi besar dengan agenda penguasaan aset, dan kelompok ektrim yang terus melawan prinsip hak asasi dan keadilan sosial.
Mereka memperkuat kepentingan kepentingannya, menyerang kelompok yang selama marjinal dan tereksklusi, dan pada umumnya tidak mempercayai perubahan iklim.