Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Selamat Jalan Pak Habibie, Selamat Jalan KPK!

12 September 2019   19:23 Diperbarui: 13 September 2019   07:54 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profesor Doktor, Eng, Burchanudin Jusuf Habibie telah meninggalkan kita kemarin, 11 September 2019. Dan, kitapun menaikkan bendera setengah tiang untuk 3 hari ke depan.

Sungguh kehilangan yang besar. Kita menjadi saksi atas semua jasa almarhum.

Telah begitu banyak tulisan dan ucapan duka serta obituari yang ditujukan atas kepergian pak Habibie. Semua itu mengingatkan kita akan cinta penuh dan utuh pak Habibie kepada keluarga dan kepada bangsa dan tanah air Indonesia.

Hari ini kitapun berduka membaca kabar bahwa Surat Presiden Jokowi kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang persetujuan membahas revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK telah disampaikan kepada DPRRI. (Kompas.com, 11 September 2019). 

Masyarakat Sipil yang prihatin pada kepuyusan pemerintah ( Foto : CNN Indonesia)
Masyarakat Sipil yang prihatin pada kepuyusan pemerintah ( Foto : CNN Indonesia)
Menteri Sekretaris Negara Pratikno pun memastikan Presiden Jokowi sudah meneken Surpres bernomor R-42/Pres/09/2019. Dalam Surpres dijelaskan bahwa Presiden mengugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membahas revisi Uu KPK bersama DPR (Tempo, 12 September 2019). Selanjutnya, revisi UU KPK ini akan dibawa ke rapat Badan Musyawarah atau Bamus sebelum dibacakan di rapat paripurna, untuk selanjutnya bisa dibahas oleh DPR.

Tempo menulis bahwa ini bak lonceng kematian bagi komisi antirasuah kita. Negosiasi antara pemerintah dan DPRRI akan terjadi. Sejumlah perubahan berpotensi untuk mengebiri kemandirian dan kinerja KPK. Kemandirian KPK serta kinerjanya akan terpangkas. Seberapakah pemberantasan korupsi akan meredup.

Sebetulnya, kemungkinan adanya persetujuan pemerintah untuk melakukan pembahasan revisi Undang Undang KPK telah nampak sejak beberapa hari yang lalu. Wakil Presiden JK telah menginformasikan persetujuan pada rencana revisi tersebut.

Draf revisi Undang Undang KPK mencakup empat aspek, yaitu pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK. 

Sayangnya, keempat aspek tersebut berpotensi membuat posisi KPK melemah dan dikebiri. Apalagi, daftar Capim KPK yang dipilih Pansel masih memuat persoalan. Ini membuat banyak penolakan diarahkan pada revisi undang udang KPK dan juga usulan nama Capim yang disampaikan Pansel (dan disetujui Presiden).

Sementara, fraksi 3 DPR mengatakan bahwa mereka hanya akan memilih Capim yang menyetujui revisi undang undang KPK. 

Dari perbincangan dengan kawan kawan Perempuan Anti Korupsi melalui grup di Facebook, Surpres tampaknya berisi tanggapan yang isinya, antara lain 1) Disetujuinya pembentukan Dewan Pengawas yang pemilihannya ada dalam kewenangan Presiden dan dipilih berdasar Pansel yang ditunjuk Presiden. Prosesnya seperti pemilihan Pansel Capim, 2) Keberadaan Penyelidik dan Penyidik KPK tetap dimungkinkan, dan 3) Penyebutan KPK sebagai Lembaga Negara. 

Mengingat relasi kuasa DPR yang tidak setara dengan pemerintah, saya kuatir DPR lebih punya kekuatan untuk menentukan substansi revisi. Ini tentu mengkhawatirkan. 

Melihat penolakan begitu banyak kalangan pada revisi Undang undang KPK, seyogyanya pemerintah transparans pada apa yang diperjuangkan dan dinegosiasikan. Masyarakat adalah pembayar pajak yang berhak tahu atas masa depan uang rakyat yang dititipkan kepada pemerintah.

Beberapa media, termasuk Kompas.com melihat ini sebagai preseden buruk karena Presiden Jokowi telah berjanji memperkuat posisi KPK pada kampanye Pemilu 2014 dan 2019.

Sementara itu, elit politisi berbicara tanpa konsep yang jelas tentang urgensi revisi undang undang. Alasan bahwa undang undang sudah "tua" karena berumur 17 tahun terlalu lemah. Juga, salah satu pimpinan DPR katakan bahwa KPK terlalu kuat dan perlu dilemahkan agar lembaga penegak hukum punya peran. Padahal, undang undang yang ada saat inilah yang melindungi KPK untuk berkinerja baik. Ini diakui Transparecy International. Bahkan mekanisme kerja KPK hendak ditiru negara lain. 

Begitu banyak Undang undang yang yang jauh "lebih tua", seperti KUHP dan Undang undang Perkawinan dan tetap berjalan tanpa revisi, padahal begitu banyak studi yang menunjukkan ketidakadilan keduanya. 

Persoalan KPK tak hanya soal revisi undang undangnya. Isu soal capim KPK pilihan pansel punya masalah dan sudah dilakukan "fit and proper test". Potensi adanya reaksi penolakan masyarakat pada hasil hasil pemilihan capim KPK cukup tinggi.  

Komisioner dan staf KPK pada dasarnya menolak adanya calon dari aparat penegak hukum karena potensi konflik kepentingan yang terjadi. Apalagi, bila calon tersebut memiliki catatan kasus seperti calon dari Kepolisian, Firli Bahuri.

Hari ini, kedukaan kita lengkap sudah. Hari inipun, saya menjadi teramat emosional. 

Apalagi, Habibie yang melahirkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Undang undang ini adalah landasan hukum yang mengawali  upaya mewujudkan 'good governance' untuk terjadi di dalam pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang dilakukan melalui pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), atau lembaga Ombudsman. Memang, pada akhirnya, KPKPN resmi dibubarkan pada 2004 dan melebur ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Adalah Megawati yang menggunakan acuan undang undang Nomor 28 tahun 1999 untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2002 melalui Undang undang RzI no 30 tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ini dilakukan karena melihat institusi kejaksaan dan kepolisian saat itu terlalu kotor, sehingga dianggap tidak mampu untuk menangkap koruptor.

Saya ingat kembali ucapan Habibie yang tidak menyesali peristiwa penolakan MPRRI pada pidato pertanggungjawabannya pada tahun 1999. Namun, beliau heran pada sepak terjang para politisi. 

Apakah kita memang perlu mempertimbangkan anggota DPRRI yang dipilih dengan melalui begitu banyak konflik yang membelah rakyat, dan digaji dengan uang pajak rakyat?  Apalagi bila kitapun tahu bahwa daftar tersangka korupsi yang terpanjang di KPK adalah dari kalangan anggota DPR. 

Mengerikan membayangkan bahwa kepergian Habibie seakan juga diikuti oleh kepergiaan KPK. Apakah ucapan duka perlu kita layangkan pula pada berpulangnya KPK kepada sang ibu yang melahirkannya, Ibu Megawati, yang saat ini menjadi Ketua PDIP, partai pemenang pemilu 2019. 

Selamat Jalan, pak Habibie. Selamat jalan, KPK. Duka ini tak terhingga. 

Pustaka : Satu dan Dua 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun