September Pahit dan Kelabu
Siapa bilang bulan ini adalah Sweet September? Bukankah September ini adalah bulan yang paling pahit bagi kita semua?
Bagaimana tidak? Pertama, sudah lebih dari dua tahun setengah kasus Novel Baswedan belum ada kejelasan. Bahkan, terbetik kabar bahwa Pansel Pimpinan KPK menolak memasukkan pertanyaan terkait kasus Novel Baswedan dalam wawancara calon pimpinan KPK.
Tim advokasi Novel Baswedan pun menyayangkan keputusan Presiden Jokowi yang masih memberi waktu 3 bulan bagi tim teknis untuk lakukan penyelidikan.Â
Ketua KPK, Pak Agus Rahardjo menyampaikan kekhawatiran karena daftar nama calon pimpinan KPK masih diragukan. Di sisi lain, Presiden seakan tidak bergeming dengan serangkaian protes warga yang perduli pada upaya pemberantasan korupsi.Â
Ketiga, Sidang Paripurna DPR memutuskan bahwa UU KPK disetujui untuk direvisi dan diproses dilakukan dalam dua minggu. Ini dagelan.Â
Tempo bahkan menuliskan telah terjadi konspirasi antara pemerintah (Presiden) dengan partai pemenang Pemilu untuk mematikan KPK.Â
Saya terganggu kalimat presiden Jokowi yang katakan ukuran keberhasilan KPK bukan pada jumlah tersangka tapi skala pendidikan anti korupsi. Wadoooow. Tak heran Kompas.com tanggal 5 September 2019 menulis judul "KPK Dilahirkan oleh Mega, Mati di Tangan Jokowi?"
Adalah Pak Agus Rahardjo, sang Ketua KPK, yang mengatakan 'KPK di Ujung Tanduk'.Â
Bila seseorang dengan kredibilitas seperti Pak Agus mengatakan ini, apakah kita semua tidak deg-degan juga? Ditambah serangkaian demo karyawan dan staf KPK serta masyarakat yang meminta perhatian Presiden.Â
Tengok website resmi KPK. Betapa kelabu dan retaknya KPK saat ini. Bahkan foto penutupan lambang KPK di gedung KPK dengan kain hitam dan dipimpin oleh komisioner KPK, Sitor Situmorang. Ini menunjukkan betapa isunya sangat serius.Â
Tenang Tenang Liar Melemahkan dan bisa Mematikan KPK
Nafsu DPR untuk merevisi UU KPK dan menyelesaikan proses perubahan Undang-Undang KPK itu dalam waktu 2 minggu yang nampak senyap itu sejatinya sangat liar.
Bahkan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebutkan revisi UU KPK menjadi RUU usulan inisiatif DPR untuk segera dibahas bersama pemerintah melanggar Tata Tertib DPR, khususnya terkait Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ayat ini mengatur bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dengan demikian, untuk tahun 2019 penyusunan dan/atau revisi undang undang hanya difokuskan pada rencana undang undang yang terdaftar dalam Prolegnas 2019, termasuk RU yang telah disepakati bersama DPR sebelumnya.
Fajri, Direktur Jaringan Advokasi PSHK menyebutkan telah mendesak Presiden untuk tidak mengirimkan Surat Presiden (Supres), sehingga proses pembahasan tidak dapat dilanjutkan, (Mataraminside.com, 5 September 2019).
Ia mengingatkan bahwa KPK sangat dipercaya dan didukung masyarakat. Bila kepercayaan masyarakat dicederai, akan ada penolakan besar dari kalangan masyarakat. Ini tergambar dari Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan 84 persen dari 1.220 responden yang dilibatkan dalam penelitian terbaru percaya pada KPK.
Terdapat beberapa poin krusial yang diajukan dalam revisi UU KPK, antara lain:
- Pembentukan dewan pengawas KPK dengan kewenangan yang kritikal dan luas, termasuk mengawasi tugas dan wewenang KPK, menetapkan kode etik pimpinan dan staf KPK, memberikan ijin penyadapan, melaksanakan sidang dan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik, melakukan evaluasi kerja pimpinan dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik pegawai dan pimpinan KPK.
- Dewan Pengawas ini dibentuk oleh Presiden. Ini mengancam independensi KPP. Potensi kebocoran informasi terkait penyadapan dan pendindakan yang dilakukan KPK akan besar, selain Dewa Pengawas punya potensi mengintervensi. Penerbitan Surat Penghentian Penyidikan atau yang biasa disebut SP3. Ini membuka peluang tawar menawar politik dalam penyelesaian perkara korupsi.Â
Penuntutan harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan Agung padahal hak untuk menuntut hanya merupakan wewenang Kejaksaan Agung.- Penyelidik hanya boleh dari Kepolisian. Hal itu diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 43A. Selama ini penyelidik KPK merupakan Pegawai-pegawai yang direkrut secara independen sebagai Pegawai tetap dari berbagai keahlian.
Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
KPK Sebagai Bagian dari Reformasi
KPK is among the recipients of Asia's premier prize, the Ramon Magsaysay Award. KPK is being recognized for "its fiercely independent and successful campaign against corruption in Indonesia, combining the uncompromising prosecution of erring powerful officials with farsighted reforms in governance systems and the educative promotion of vigilance, honesty, and active citizenship among all Indonesians."Â (Magsasay Award, 2013)
Indonesia memiliki sejarah korupsi politik yang endemik. Di tahun 1998, ketika 'diselamatkan' oleh IMF, Indonesia diwajibkan untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ini menjadi penting karena reformasi di tubuh sistem penegak hukum masih alot. Reformasi di tubuh Polri, Kejaksaan dan Kehakiman, serta Mahkamah Agung bukanlah sesuatu yang mudah.Â
Dengan semua tantatangan yang ada, KPK mendapatkan reputasi baik di dalam dan di luar negeri sebagai komisi yang bekerja dengan efektif. Hal tersebut menyebabkan posisi Indonesia meningkat di Corruption Perception Index, dari 122 di tahun 2003 menjadi 88 di tahun 2015 dan terus membaik ke ranking 79 ditahun 2018.
Atas prestasinya, KPK mendapatkan penghargaan Magsasay Award 2013.
Atas penghargaan Magsasay Award itu, KPK mempersembahkan hadiah sebesar USD 50.000 itu kepada masyarakat Indonesia, LSM yang bergerak di pemberantasan korupsi dan aktivis serta media Indonesia yang bekerja melawan dan memberantas korupsi bersama KPK.
KPK terus melaksanakan mandate secara independen dan tidak mengecualikan siapapun yang ada pada tersangka.
Kinerja KPK pun terus dapat pujian. Jumlah penetapan tersangka dan jumlah kasus yang ditangani KPK meningkat. Pada tahun 2018 saja telah ditetapkan 261 orang tersangka dengan 57 jumlah kasus.
Sementara, pada tahun tahun sebelumnya, jumlah itu hanya 128 orang tersangka dengan 44 jumlah kasus. Apalagi, kasus sebesar E-KTP yang mengenai Setya Novanto juga ada dalam cakupan kinerja KPK. Ini tentu meningkatkan kredibilitas KPK.
Kemenangan Pemilu dengan Tumbal KPK?
Sebetulnya, apa yang menyebabkan DPR terbirit-birit hendak merevisi UU KPK ?
Pertama, data KPK seperti yang disampaikan oleh Ketua KPK, Pak Agus Rahardjo menunjukkan bahwa kasus korupsi terbanyak dilakukan oleh anggota DPR. Studi ICW juga menyebutkan terdapat 254 anggota DPR dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota periode 2014-2019 yang menjadi tersangka kasus korupsi.
Dari 254 tersangka tersebut. 22 anggota DPR terjerat korupsi, dan 2 pimpinan DPR (Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan) menjadi tersangka korupsi.
Studi ICW juga mencatat bahwa dari 254 tersangka tersebut ada 22 anggota DPR yang terjerat korupsi. Bahkan 3 di antaranya tertangkap di tahun pertama masa jabatan. Juga, dari 22 anggota DPR RI yang ditetapkan tersangka kasus korupsi tersebut, 3 orang di antaranya bahkan jadi tersangka di tahun pertama.
Artinya, kasus korupsi anggota DPR pada periode 2015-2019 lebih buruk dari pada periode sebelumnya.Â
Terdapat dugaan ada upaya untuk menghentikan kasus kasus raksasa yang telah dimulai oleh KPK periode saat ini, antara lain kasus E-KTP dan juga kasus BLBI, yang melibatkan banyak pihak.
Selain soal Peninjauan Kembali (PK ) yang diajukan Setya Novanto yang berdalih karena telah ditemukan novum (bukti atau keadaan baru), kekhilafan hakim, dan putusan yang memuat pertentangan antara satu dengan lain, kasus E-KTP memang menyangkut banyak pihak.
Sebelum ini, KPK sudah menetapkan 11 tersangka kasus e-KTP. Mereka adalah mantan Ketua DPR Setya Novanto, mantan anggota DPR Markus Nari, dua pejabat di Kemendagri, yakni Irman dan Sugiharto, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pihak swasta Andi Agustinus, Made Oka Masagung, serta keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi (CNN Indonesia, 13 Agustus 2019).
Pada tahun 2017 terdapat daftar nama yang panjang yang memasukkan banyak nama yang diduga menerima uang dari E-KTP. Nama nama yang disebut sebut antara lain Gamawan Fauzi (saat itu Menteri Dalam Negeri), Diah Anggraini (saat itu Sekretaris Jenderal Kemendagri) Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP), Anas Urbaningrum, Ganjar Pranowo, dan juga Yasonna Laoly. Ini tentu membuat beberapa partai kebat-kebit.
KPK juga melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI) untuk tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim yang tentu akan membawa beberapa nama penting ke dalam proses pemeriksaan. Laksamana Sukardi yang telah meninggalkan PDIP telah dipanggil KPK sebagai saksi dalam kasus ini.
Sementara itu, dua dari tiga parta utama pemenang pemilu 2019, yaitu PDIP sebesar 19,33% dan Golkar sebesar 12,31% adalah pendukung utama pencalonan Jokowi sebagai Presiden. Tentu terdapat negosiasi-negosiasi yang mengikat kepentingan satu sama lain dalam perhelatan demokrasi 2019 yang lalu.
Saat ini bola soal revisi KPK berada di tangan Presiden. Presiden punya kuasa untuk sepakat atau menolak revisi UU KPK yang menjadi inisiatif DPR. Masyarakat berharap Presiden menolak revisi UU KPK yang menjadi inisiatif DPR. Ini untuk melindungi KPK. Ini melindungi kita dari korupsi yang merajalela.
Adalah sudah terjadi bahwa Presiden menerima 10 nama usulan Pansel pimpinan KPK. Memang terdapat kesimpangsiurang soal di mana posisi Presiden terkait revisi UU KPK.
Di media tertentu dikatakan bahwa Presiden tidak tahu menahu soal revisi UU KPK. Di media yang lain disebutkan bahwa Presiden tidak setuju dengan usulan perubahan UU KPK.
Pada akhirnya, bila Presiden tak mampu melindungi KPK dan tak mampu menghentikan rencana DPR untuk melakukan revisi UU KPK, yang notabene menggembosi kekuatan KPK, bukan tak mungkin pendapat masyarakat tentang adanya tumbal atas kemenangan Pemilu Presiden dan Legislatif. Tumbal itu adalah KPK.
Tentu ini akan mengundang protes masyarakat. Selama reformasi di tubuh aparat penegak hukum tidak berjalan dan masih merupakan hambatan, KPK tetap perlu ada.Â
Pak Jokowi, bila KPK lemah, investor malas datang. Padahal begitu banyak mimpi kita semua. Ngeri membayangkan pembangunan ibu kota baru tanpa KPK yang kuat, lho Pak Jokowi.Â
Saat ini, KPK mendapat dukungan besar dari masyarakat. Bagaimana, pak Jokowi?
 Jangan kecewakan kami, juga saya, pemilihmu dan pendukungmu sejak lama, pak Jokowi.
Pustaka : Satu Dua Tiga Empat Lima EnamÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H