Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mungkinkah KPK Tumbal dari Negosiasi Politik di Pemerintahan?

8 September 2019   14:53 Diperbarui: 9 September 2019   20:47 1918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tengok website resmi KPK. Betapa kelabu dan retaknya KPK saat ini. Bahkan foto penutupan lambang KPK di gedung KPK dengan kain hitam dan dipimpin oleh komisioner KPK, Sitor Situmorang. Ini menunjukkan betapa isunya sangat serius. 

Tenang Tenang Liar Melemahkan dan bisa Mematikan KPK
Nafsu DPR untuk merevisi UU KPK dan menyelesaikan proses perubahan Undang-Undang KPK itu dalam waktu 2 minggu yang nampak senyap itu sejatinya sangat liar.

Bahkan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebutkan revisi UU KPK menjadi RUU usulan inisiatif DPR untuk segera dibahas bersama pemerintah melanggar Tata Tertib DPR, khususnya terkait Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Ayat ini mengatur bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dengan demikian, untuk tahun 2019 penyusunan dan/atau revisi undang undang hanya difokuskan pada rencana undang undang yang terdaftar dalam Prolegnas 2019, termasuk RU yang telah disepakati bersama DPR sebelumnya.

Fajri, Direktur Jaringan Advokasi PSHK menyebutkan telah mendesak Presiden untuk tidak mengirimkan Surat Presiden (Supres), sehingga proses pembahasan tidak dapat dilanjutkan, (Mataraminside.com, 5 September 2019).

Ia mengingatkan bahwa KPK sangat dipercaya dan didukung masyarakat. Bila kepercayaan masyarakat dicederai, akan ada penolakan besar dari kalangan masyarakat. Ini tergambar dari Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan 84 persen dari 1.220 responden yang dilibatkan dalam penelitian terbaru percaya pada KPK.

Terdapat beberapa poin krusial yang diajukan dalam revisi UU KPK, antara lain:

  • Pembentukan dewan pengawas KPK dengan kewenangan yang kritikal dan luas, termasuk mengawasi tugas dan wewenang KPK, menetapkan kode etik pimpinan dan staf KPK, memberikan ijin penyadapan, melaksanakan sidang dan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik, melakukan evaluasi kerja pimpinan dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik pegawai dan pimpinan KPK.

  • Dewan Pengawas ini dibentuk oleh Presiden. Ini mengancam independensi KPP. Potensi kebocoran informasi terkait penyadapan dan pendindakan yang dilakukan KPK akan besar, selain Dewa Pengawas punya potensi mengintervensi. Penerbitan Surat Penghentian Penyidikan atau yang biasa disebut SP3. Ini membuka peluang tawar menawar politik dalam penyelesaian perkara korupsi. 

  • Penuntutan harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan Agung padahal hak untuk menuntut hanya merupakan wewenang Kejaksaan Agung.
  • Penyelidik hanya boleh dari Kepolisian. Hal itu diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 43A. Selama ini penyelidik KPK merupakan Pegawai-pegawai yang direkrut secara independen sebagai Pegawai tetap dari berbagai keahlian.

  • Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

KPK Sebagai Bagian dari Reformasi

KPK is among the recipients of Asia's premier prize, the Ramon Magsaysay Award. KPK is being recognized for "its fiercely independent and successful campaign against corruption in Indonesia, combining the uncompromising prosecution of erring powerful officials with farsighted reforms in governance systems and the educative promotion of vigilance, honesty, and active citizenship among all Indonesians." (Magsasay Award, 2013)

Indonesia memiliki sejarah korupsi politik yang endemik. Di tahun 1998, ketika 'diselamatkan' oleh IMF, Indonesia diwajibkan untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ini menjadi penting karena reformasi di tubuh sistem penegak hukum masih alot. Reformasi di tubuh Polri, Kejaksaan dan Kehakiman, serta Mahkamah Agung bukanlah sesuatu yang mudah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun