Ibu Kota RI Baru Ala Silicon Valley
Pak Jokowi menghendaki ibu kota RI yang baru, Samboja, di Kutai Kartanegara, Kaltim mengambil model Silicon Valley yang mendasarkan pada teknologi dan perusahaan dan ekonomi kreatif, selain menjadikannya kota pemerintahan (Bloomberg, 4 September 2019).
Memang Silicon Valley adalah kota yang istimewa.
Silicon Valley adalah pusat teknologi dan inovasi di Amerika. Kota ini terletak di bagian selatan San Francisco, California. Terdapat sekitar 2.000 perusahaan yang berbasis teknologi yang merupakan keuntungan kompetitif dari kota ini.
Silicon Valley adalah pusat perangkat lunak, media sosial dan perangkat ‘fiber optic’, robotik dan juga peralatan pendukung kesehatan.
Terdapat beberapa hal yang menjadi kekuatan Silicon Valley, antara lain semangat bekerjasama di antara perusahaan lokal di sana, dan jaringan professional.
Kota ini sangat heterogen dan terdiri dari berbagai bangsa. Bangsa India dan Cina profesional merupakan kelompok terbanyak. Mereka berbagi mimpi dan tujuan untuk maju.
Di kota ini terdapat Universitas Stanford yang tersohor, di samping universitas terkenal lain seperti University of California at Berkeley, San Jose State, dan community colleges.
Pak Jokowi mengatakan bahwa Ibu Kota baru RI akan dikelilingi sektor manufaktur yang dilengkapi perangkat digital. Kota ini diharapkan menjadi kota yang efisien, kota urban yang digerakkan oleh teknologi dan sistem yang baik untuk menyelenggarakan layanan publik.
Lalu, apa yang perlu kita pelajari dari kota kota dunia, selain Silicon Valley?
Ini penting karena kota Samboja diharapkan akan jadi wilayah urban yang berkembang. Kitapun tak ingin mengulang kesalahan kita seperti kita memiliki dan membangun Jakarta. Juga kita tidak ingin kita melakukan kesalahan sehingga Kalimantan punah peradabannya.
Indeks Kota Aman dan Manusia yang Dimanusiakan
Suatu Index Kota Aman 2019 atau Safe City Index 2019 terbitan the Economist Intelligence Unit, yang disponsori oleh NEC Corporation telah diluncurkan pada bulan Agustus yang lalu. Tilik laman dari website mereka yang menarik ada di sini.
Laporan disusun berdasar indeks komposit, yang merangking 60 kota urban dengan mempertimbangkan 57 indikator, mencakup keamanan digital, keamanan kesehatan, keamanan di infrastruktur, dan keamanan pribadi.
“In any city where you can often see a woman walking alone at night, you can bet that is a safe city.” (Badiane, Safe Cities Index 2019)
Walau tampak sepele, rasanya benar. Bila seorang perempuan berjalan sendirian dengan aman tanpa gangguan di tengah malam, ini juga bisa digunakan sebagai indikator bahwa kota itu adalah aman.
Secara luas, kota semacam ini tentunya juga tersedia infrastruktur yang nyaman dan aman bagi perempuan untuk berjalan. Selain itu, aman berarti tidak ada kekerasan yang mengancam perempuan itu.
Juga, aman di sini adalah ketika aspek lingkungan dari kota terjaga baik. Lingkungan di sini terkait bagaimana tanaman, hutan di sekitar kota terjaga, di samping juga terbebas dari polusi kota.
Indikator indikator di atas hanyalah sebagian dari serangkaian indikator yang dipakai untuk mengukur rasa aman tersebut.
Temuan dari indeks didukung berbagai studi dan wawancara mendalam, dilakukan oleh para ahli di lapang. Nama peneliti ada pada lapotan tersebut.
Secara keseluruhan, Tokyo terpilih (lagi) menjadi kota pada ranking teratas sebagai kota yang paling aman. Selanjutnya, Singapura menduduki ranking ke 2, diikuti Osaka, Sydney, Seoul, Melbourne, lalu Amsterdam dan Kopenhagen, juga Toronto dan Washington DC.
Terpilihnya Tokyo, Singapura, dan Osaka pada ranking tertinggi sebagai kota aman (teraman) adalah karena ketiganya memiliki kekuatan dalam hal keamanan dalam berbagai hal.
Adalah menarik melihat bahwa Tokyo, Singapura, Toronto dan London adalah yang termasuk 10 kota yang paling aman secara digital. Perhitungan ini dianggap penting karena warga negara juga bergeser menjadi warga net. Masyarakat lebih terhubung dan keamanan digital menjadi salah satu indikator.
Satu hal yang penting untuk dipahami adalah adanya sisi resiliensi kota sebagai bagian dari kota aman. Ijjasz-Vasquez dari Bank Dunia mengatakan bahwa resiliensi kota aman adalah kemampuan rumah tangga, komunitas dan kota untuk merespons dan bangun dari suatu kondisi perubahan (Safe Cities Index 2019). Indikator resiliensi tersebut adalah terdiri dari kemampuan merespons pada adanya ancaman berganda, misalnya bencana alam dan teror dan juga ancaman kota yang lain.
Saat ini 56% penduduk dunia (dan juga Indonesia) hidup di perkotaan. Data ini konsisten dengan UN Population. Angka penduduk urban ini diperkirakan akan meningkat menjadi 68% di tahun 2050.
Manusia hidup di kota tempat mereka melakukan pekerjaan, bisnis, dan menciptakan ekonomi. Kontribusi perkotaan menjadi lebih besar dari pada area perdesaan.
Bahkan, angka dari New Climate Initiative mengestimasikan bahwa 85% pendapatan kotor dunia disumbangkan oleh perkotaan dan menyumbang sekitar 71-75% emisi gas rumah kaca.
Artinya, keberhasilan dan kegagalan kota menjadi tempat yang aman bagi manusia menjadi penting dipertimbangkan. Ini disertakan dalam laporan di atas.
Apa Kabar Jakarta?
Secara keseluruhan, Jakarta berada pada ranking buntut di posisi 53, masuk dalam 10 kota paling tidak aman.
- Dalam hal keamanan digital, Jakarta berada pada ranking 55.
- Dalam hal keamanan kesehatan, Jakarta terletak di ranking 53.
- Untuk keamanan infrastruktur, Jakarta terletak di ranking 49.
- Sementara, untuk keamanan pribadi Jakarta berada pada ranking 43.
Pentingnya Memiliki Kerangka Modal Dasar yang Benar
Laporan Index Kota Aman ini membuat kesimpulan bahwa meletakkan dasar yang benar adalah modal terbesar dari kota yang masuk kategori kota yang aman.
"All happy families are alike: each unhappy family is unhappy in its own way." (Leo Tolstoi)
Jadi, makna apa yang dikatakan oleh Leo Tolstoi adalah bahwa hal yang baik dari suatu keluarga bahagia sudah diketahui umum. Untuk menjadi keluarga tidak bahagia, isunya bisa macam-macam. Begitu juga pada kondisi kota menjadi aman atau tidak.
Dari lima aspek yang dinilai sebagai indikator kota yang aman, di bawah ini adalah indikator dasarnya:
- Mudah mengakses fasilitas kesehatan yang berkualitas, makanan yang aman, ketersediaan air dan udara yang bersih, layanan kedaruratan yang cepat;
- Terdapat Tim yang mengelola keamanan siber, memiliki sistem keamanan yang kuat sebelum melakukan pengembangan, terdapat tingkat infeksi komputer yang rendah.
- Infrastruktur yang melayani manusia, yang memiliki rencana pengelolaan, trotoar yang ramah,
- Terdapat pengelola yang merencanakan pengelolaan pemantauan dan tindak lanjut pada bencana;
- Terdapat sistem keamanan berbasis masyarakat, masyarakat lebih melihat pada hasil dan bukan pada kebijakan, tingkat kriminal dan kekerasan rendah.
Di antara kota-kota yang berada pada ranking tertinggi atas aspek keamanan pada umumnya berlomba memperbaiki variabel utama di atas.
Apa yang Ada di Kota Teraman?
Wawancara dengan Gubernur Tokyo, Yuriko Koike, yang membawahi Tokyo yang berada pada ranking 1 dari keseluruhan indikator secara berturut turut pada tahun 2015, 2017 dan 2019, menunjukkan beberapa hal menarik.
- Pertama, Tokyo mempersiapkan kotanya untuk mampu melindungi warganya dari bencana gempa yang sifatnya endemik. Pembangunan infrastrukturnya telah dibuat sedemikian rupa dan telah direform untuk mampu merespons bencana, khususnya gempa. Ini dilakukan selama bertahun tahun.
- Kedua, terkait kesamaannya dengan kota lain yang aman, Gubernur mengatakan bahwa Tokyo membangun reservoir bawah tanah karena Tokyo telah mengalami banjir yang memakan banyak korban. Memang biaya reservoir itu besar, namun ini dianggap penting.
- Ketiga, pemasangan kabel kabel diatur sedemikian rupa agar tidak mengancam keselamatan warga ketika ada gempa. Juga ini untuk keindahan Tokyo. Pipa saluran air yang tua diganti agar keamanan Tokyo terjamin.
- Keempat, untuk keamanan masyarakat dan hubungan sosial, Tokyo mengembangan kemampuan diri masyarakat, saling menolong, disamping dukungan publik. Kemampuan warga untuk menolong dirinya sendiri menjadi dasar penting. Dalam kondisi emerjensi, warga berhak mendapatkan alat pertolongan, misalnya rakit ketika banjir, dan toilet sementara yang portable ketika terdapat gempa. Dukungan masyarakat dilakukan dalam bentuk persiapan dan latihan sehingga mereka siap ketika terjadi bencana.
- Kelima, Tokyo memiliki Tokyo My Timeline, yaitu alat pertolongn pertama ketika terjadi banjir. Alat ini menunjukkan timeline atau waktu tentang bagaimana waktu yang tersedia ketika terjadi banjir. Anak kecil meletakkan 'timeline' ini di dalam buku pelajaran atau HP atau 'game'. Materi ini diajarkan di sekolah dan dipahami bersama keluarga. Terdapat pula 'booklet' yang dibagikan kepada mereka yang memerlukan pertolongan ketika ada bencana. Di luar itu, setiap area di Tokyo memiliki perangkat departemen kebakaran yang dikelola dan dipantau kesiapannya. Masyarakat harus tahu lokasinya. Juga, warga harus tahu sumber air ketika terjadi kebakaran. Pelatihan dilakukan sevara regular. Bahkan ada lomba lomba ketrampilannya.
Waduh, rasanya malu untuk membandingkan kondisi Tokyo dan Singapura dengan kondisi di Jakarta. Kita serahkan pada penilaian kita masing masing, dan belajar dari kota yang aman.
Memang, konteks Jakarta perlu dipahami. Rumah yang berdempetan dan lahan sempit. Namun, sebagai contoh, ada baiknya kita amati soal keamanan yang terancam akibat kebakaran di Jakarta.
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) DKI Jakarta mencatat terdapat 1.102 kasus kebakaran di tahun 2019.
Pada umumnya, penyebab terbanyak dari kasus kebakaran yang disebabkan oleh listrik sebanyak 677 kasus. Sementara, terdapat 123 kasus karena pembakaran sampah, 107 kasus karena gas, 38 kasus ukarena rokok dan 14 kasus karena lilin. Mayoritas, kebakaran terjadi di Jakarta Timur dan menyusul di Jakarta Selatan.
Kita bisa saja memperpanjang contoh kasus kasus keamanan yang ada di Jakarta. Namun, isu kebakaran ini mungkin salah contoh yang baik.
Kita hampir tidak pernah melihat adanya peringatan melalui media apapun, baik di televisi, koran ataupun media sosial.
Kota Kaya Belum Tentu Aman
Mungkin kita akan ngeles "Ah, kota kota itu kota kaya. Kita kan tidak". Kalimat itu mungkin hanya benar dalam beberapa hal, tetapi salah dalam banyak hal. Kota di negara berpendapatan tinggi memang ada di atas rata rate.
Namun, hubungannya bertautan. Misalnya, kita yang aman akan memberi manfaat pada tingkat investasi yang mendorong peningkatan pendapatan. Bukan sebaliknya, bahwa karena kita kaya maka kita aman.
Keamanan Keseluruhan yang Tak Dapat Dipisah-pisahkan
Terlepas dari kota kota yang berada di posisi teratas dan terbawah dalam hal keamanan, dapat diambil kesimpulan bahwa variable variable itu tidak bisa dipisah pisahkan. Variabel keamanan di atas sangt relevan bahwa ketika berbicara dalam konteks kota manapun, besar atau kecil.
Juga, kota yang lebih transparen adalah lebih aman. Kita bisa pahami ini. Ketika korupsi dapat dibendung, alokasi anggaran pembangunan bisa optimal memperbaiki kondisi kesejahteraan dan keamanan kesehatan dan infrastruktur.
Laporan itu menyimpulkan bahwa keamanan kota adalah urusan yang bagaikan melakukan 'lari marathon', bukan lari 100 m. Demikian, laporan Indeks Kota Aman ini menuliskan. Pembangunan berkelanjutan menjadi kuncinya.
Pembangunan Ibu Kota Baru RI yang Aman dalam Konteks Kalimantan
Apa yang disebutkan dalam indeks kota yang aman di atas memang disusun berdasar indikator aman dari kota urban. Tentunya, beberapa aspek lain perlu menjadi perhatian ketika pembangunan Semboja.
Aspek keamanan lingkungan dalam konteks hutan Kalimantan sebagai paru-paru dunia dan juga perlindungan kepada bangsa asli dan adat Kalimantan beserta flora dan fauna aslinya perlu dijaga.
Mengingat ibu kota yang baru akan dibangun seperti mimpi Silicon Valley, banyak hal perlu menjadi pertimbangan, antara lain:
- Menjaga kekayaan dan keragaman hayati;
- Menjaga keberadaan masyarakat beserta seluruh kekayaan dan pengetahuan, termasuk pengetahuan asli yang ada;
- Menjaga dan memastikan perlindungan atas hak masyarakat adat;
- Mendorong percepatan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, khususnya dari kalangan bangsa Kalimantan;
- Memastikan agar bangsa Kalimantan adalah warga yang paling mendapat manfaat dari perpindahan ibu kota;
- Mendorong pengembangan lembaga pendidikan beserta SDM warga Kalimantan.
- Melibatkan para ahli yang memahami sosial dan budaya serta alam lingkungan Kalimantan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H