Dari lima aspek yang dinilai sebagai indikator kota yang aman, di bawah ini adalah indikator dasarnya:
- Mudah mengakses fasilitas kesehatan yang berkualitas, makanan yang aman, ketersediaan air dan udara yang bersih, layanan kedaruratan yang cepat;
- Terdapat Tim yang mengelola keamanan siber, memiliki sistem keamanan yang kuat sebelum melakukan pengembangan, terdapat tingkat infeksi komputer yang rendah.
- Infrastruktur yang melayani manusia, yang memiliki rencana pengelolaan, trotoar yang ramah,
- Terdapat pengelola yang merencanakan pengelolaan pemantauan dan tindak lanjut pada bencana;
- Terdapat sistem keamanan berbasis masyarakat, masyarakat lebih melihat pada hasil dan bukan pada kebijakan, tingkat kriminal dan kekerasan rendah.
Di antara kota-kota yang berada pada ranking tertinggi atas aspek keamanan pada umumnya berlomba memperbaiki variabel utama di atas.
Apa yang Ada di Kota Teraman?
Wawancara dengan Gubernur Tokyo, Yuriko Koike, yang membawahi Tokyo yang berada pada ranking 1 dari keseluruhan indikator secara berturut turut pada tahun 2015, 2017 dan 2019, menunjukkan beberapa hal menarik.
- Pertama, Tokyo mempersiapkan kotanya untuk mampu melindungi warganya dari bencana gempa yang sifatnya endemik. Pembangunan infrastrukturnya telah dibuat sedemikian rupa dan telah direform untuk mampu merespons bencana, khususnya gempa. Ini dilakukan selama bertahun tahun.
- Kedua, terkait kesamaannya dengan kota lain yang aman, Gubernur mengatakan bahwa Tokyo membangun reservoir bawah tanah karena Tokyo telah mengalami banjir yang memakan banyak korban. Memang biaya reservoir itu besar, namun ini dianggap penting.
- Ketiga, pemasangan kabel kabel diatur sedemikian rupa agar tidak mengancam keselamatan warga ketika ada gempa. Juga ini untuk keindahan Tokyo. Pipa saluran air yang tua diganti agar keamanan Tokyo terjamin.
- Keempat, untuk keamanan masyarakat dan hubungan sosial, Tokyo mengembangan kemampuan diri masyarakat, saling menolong, disamping dukungan publik. Kemampuan warga untuk menolong dirinya sendiri menjadi dasar penting. Dalam kondisi emerjensi, warga berhak mendapatkan alat pertolongan, misalnya rakit ketika banjir, dan toilet sementara yang portable ketika terdapat gempa. Dukungan masyarakat dilakukan dalam bentuk persiapan dan latihan sehingga mereka siap ketika terjadi bencana.
- Kelima, Tokyo memiliki Tokyo My Timeline, yaitu alat pertolongn pertama ketika terjadi banjir. Alat ini menunjukkan timeline atau waktu tentang bagaimana waktu yang tersedia ketika terjadi banjir. Anak kecil meletakkan 'timeline' ini di dalam buku pelajaran atau HP atau 'game'. Materi ini diajarkan di sekolah dan dipahami bersama keluarga. Terdapat pula 'booklet' yang dibagikan kepada mereka yang memerlukan pertolongan ketika ada bencana. Di luar itu, setiap area di Tokyo memiliki perangkat departemen kebakaran yang dikelola dan dipantau kesiapannya. Masyarakat harus tahu lokasinya. Juga, warga harus tahu sumber air ketika terjadi kebakaran. Pelatihan dilakukan sevara regular. Bahkan ada lomba lomba ketrampilannya.
Waduh, rasanya malu untuk membandingkan kondisi Tokyo dan Singapura dengan kondisi di Jakarta. Kita serahkan pada penilaian kita masing masing, dan belajar dari kota yang aman.
Memang, konteks Jakarta perlu dipahami. Rumah yang berdempetan dan lahan sempit. Namun, sebagai contoh, ada baiknya kita amati soal keamanan yang terancam akibat kebakaran di Jakarta.Â
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) DKI Jakarta mencatat terdapat 1.102 kasus kebakaran di tahun 2019.
Pada umumnya, penyebab terbanyak dari kasus kebakaran yang disebabkan oleh listrik sebanyak 677 kasus. Sementara, terdapat 123 kasus karena pembakaran sampah, 107 kasus karena gas, 38 kasus ukarena rokok dan 14 kasus karena lilin. Mayoritas, kebakaran terjadi di Jakarta Timur dan menyusul di Jakarta Selatan.
Kita bisa saja memperpanjang contoh kasus kasus keamanan yang ada di Jakarta. Namun, isu kebakaran ini mungkin salah contoh yang baik.
Kita hampir tidak pernah melihat adanya peringatan melalui media apapun, baik di televisi, koran ataupun media sosial.
Kota Kaya Belum Tentu Aman