Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Apakah 1 Muharam adalah Hijrah dari Korupsi atau Sekadar Tanggal Merah Saja?

3 September 2019   20:07 Diperbarui: 4 September 2019   16:28 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berhenti Mengayomi Koruptor (Foto: ICW)

Korupsi Kecil Dianggap Biasa, Korupsi Besar Makin Canggih 
Minggu yang lalu, dalam perjalanan menuju bandara untuk menemui seorang sahabat, Wiwik Harwiki, yang hendak melakukan research fellowship di Barcelona, tiba tiba mobil taksi online saya diberhentikan polisi. 

Saya menduga, pengemudi melanggar aturan lalu lintas karena berpindah jalur dengan mendadak. Pengemudi memang sudah saya amati sering lakukan pelanggaran sejak mobil belum memasuki toll bandara.

Saya mengamati percakapan antara pengemudi dengan polisi. Saya menunggu apa yang terjadi, khususnya terkait kesepakatan tilang ke pengadilan.

Dan terjadilah. Uang Rp 50.000 berpindah ke tangan polisi untuk 'damai'. Saya menegur pengemudi dan mengatakan akan melaporkan ke perusahaan taksi 'online' itu. Jawaban pengemudi cukup membuat kesal "Biar saja". Tentu, saya 'rated' buruk pengemudi itu. 

Hal serupa terjadi di Bundaran HI sekitar sebulan yang lalu. Gantian pengemudi taksi 'online' dari mobil yang saya tumpangi yang menunggu apa yang terjadi dengan mobil di depan kami yang sedang diberhentikan seorang polisi. 

"Lima Puluh Ribu tuh, Bu", kata sang pengemudi. Saya bertanya "Wah, ini kan Bundaran HI, masa polisi berani juga?". Si pengemudi menjawab "Makanya Jokowi punya banyak musuh dalam selimut, bu. Yang begini ini kan diberantas. Tapi buktinya susah".

Rasanya patah hati saya.  Nyesek di dada.

Apa yang saya baca soal reformasi di tubuh polisi ternyata masih jauh dari harapan. Padahal sejak lama, bahkan setelah reformasi di tahun 1998, upaya untuk mendorong reformasi dan demokratisasi di tubuh lembaga tersebut sudah dimulai. Duh, kok ya sulit betul ya.

Ini soal korupsi kecil 'petty corruption'. Belum lagi soal korupsi yang kakap, yang terus terjadi dan sedang gencar diincar KPK.

Kekecewaan Masyarakat pada Pansel Capim KPK

Jokowi Harus Berani (Change.org)
Jokowi Harus Berani (Change.org)

Saat ini kita sedang menanti dengan deg degan pemilihan pimpinan KPK. Begitu banyak isu yang muncul, termasuk mereka yang ada dalam daftar 20 nama calon pimpinan KPK yang ternyata punya persoalan kondite dalam hal korupsi.

Sore inipun saya menerima ajakan Kurnia Ramadhana dari ICW melalui 'change.org' untuk bergabung dalam petisi agar Presiden Jokowi mencoret nama calon pimpinan KPK bermasalah. Sore tadi pendukung Kurnia Ramadhana yang memulai petisi ini telah mencapai 92.287 orang. Tautan itu ada di http://chng.it/gsTnykfHfd. 

Apa jadinya kalau orang punya rekam jejak buruk terpilih jadi pemimpin KPK? Keluhan akan kurang beraninya Pansel KPK dalam memilih calon menjadi kritik tajam. 

Pansel Capim KPK telah memberikan daftar 10 nama calon pimpinan KPK kepada Presiden Jokowi, setelah proses pencalonan yang menuai kritik, meski Panel menyebut semua proses dilakukan secaraprofesional.

Sebetulnya, memang penunjukkan Pansel yang kurang greget dibandingkan dengan Pansel sebelumnya. Ini saya lihat dari bagaimana Presiden Jokowi mengumumkan Pansel kali ini, dan bagaimana tanggapan Presiden pada daftar calon pimpinan KPK. 

Sebetulnya, ketika pembacaan Visi Indonesia dan pada Laporan Pertanggungjawaban Presiden pada 16 Agustus 2019 pun, ada rasa yang mengganjal terkait upaya pencegahan dan penghapusan korupsi. Rasa itu adalah rasa 'dingin'. Tidak terasa semangat untuk gempur korupsi. 

Di periode sebelumnya, pemilihan atas 9 Pansel Capim KPK yang kebetulan terdiri dari 9 perempuan menghasilkan calon pimpinan KPK yang mendapat sambutan baik masyarakat. Kesembilan nama yang dipilih Presiden Jokowi itu memiliki latar belakang beragam, mulai dari aktivis, dosen, hingga pejabat.

Mereka adalah Destry Damayanti (ekonom), Enny Nurbaningsih (ahli bidang hukum), Prof. Dr Harkristuti Harkrisnowo (ahli bidang hukum), Betti S. Alisjahbana (ahli IT dan manajemen), Yenti Garnasih (ahli bidang hukum), Supra Wimbarti (ahli psikhologi), Natalia Subagyo (ahli pemerintahan), Diani Sadiawati (ahli di bidang hukum), dan Meuthia Gani-Rochman (ahli bidang sosiologi).

Pada kali ini, terdapat beberapa nama anggota Pansel yang masih bertugas yaitu, Prof. Dr Harkristuti Harkrisnowo (ahli bidang hukum), Yenti Garnasih (ahli bidang hukum, dan Diani Sadiawati (ahli di bidang hukum. Sementara Pansel calon pimpinan KPK 2019 -- 2024 termasuk antara lain Hendardi.

Tepatnya 2 September 2019 kemarin, Pansel Calon Pimpinan KPK telah menyampakan 10 nama calon. Mereka adalah Alexander Marwata (Komisioner KPK), Firli Bahuri (Anggota Polri(, I Nyoman Wara ( Auditor BPK), Johanis Tanak (Jaksa), Lili Pintauli Siregar (Advokat), Luthfi Jayadi Kurniawan (Dosen), Nawawi Pomolango (Hakim), Nurul Ghufron (Dosen), Roby Arya B (PNS Sekretariat Kabinet), dan Sigit Danang Joyo (PNS Kementerian Keuangan).

Memang penolakan aparatbpenegak hukum untuk menjadi pimpinan KPK mencuat. Terdapat sedikitnya 500 pegawai KPK yang disebut menolak capim KPK dari Kepolisian, Irjen Firli Bahuri. Ini terkait dengan beberapa hal, termasuk kemandirian POLRI yang perlu terus ditegakkan. Pengalaman menunjukkan bahwa adanya aparat POLRI di dalam tubuh KPK membuat gerak KPK tersendat.

Hendardi selaku wakil Pansel mengatakan kepada Kompas bahwa semua calon memiliki catatan sehingga sulit bagi Pansel untuk menggeser salah satu calon hanya karena ada yang menolak (Kompas.com 3 September 2019). 

Ancaman Pada Pimpinan KPK
Pada tahun 2018 KPK menangani 454 kasus dengan 1.078 tersangka. Jumlah ini adalah terendah sejak 2015.  Dari kasus kasus yang ada, terdapat kasus yang dianggap kelas kakap oleh KPK yaitu 'E KTP'. 

Walaupun jumlah kasus korupsi yang disidangkan lebih sedikit dari tahun sebelumnya,  peringkat CPI Indonesia yang diterbitkan oleh Transparency International menunjukkan perbaikan dari ranking 96 menjadi ranking 89.  

Kita saksikan beberapa OTT pejabat, termasuk Kepala Daerah, pada beberapa hari terakhir ini. 

Prestasi KPK ini tentu menjadikan koruptor makin berang. Beberapa tahun belakangan ini, ancaman pada keselamatan pimpinan KPK meningkat. Bom Molotov dan bom pipa dilempar ke halaman rumah pak Syarif dan pak Agus Rahardjo. Persoalan kekerasan yang menimpa Komisioner KPK Novel Baswedan juga sampai saat ini masih belum terselesaikan.

Ancaman pada keselamatan pimpinan dan komisioner KPK yang terus meningkat tentu mengancam keberlangsungan KPK yang tegas, independen dan produktif menyelesaikan kasus korupsi yang terus merajalela.

Adalah menyakitkan mendengar salah satu anggota DPR Komisi 3 yang mengomentari keheranannya mengapa KPK dibela. Komisi III DPR curiga ada anggaran khusus untuk LSM. (Detik.com 2 September 2019).  

O walah, kok sangat 'cupet' (sempit) pemikiran itu. Dewan yang terhormat, kami pembayar pajak kelas teri ini muak mendapati bahwa uang kami dipergunakan untuk bancakan kalian yang korupsi. Jadi, kami ini tidak menerima uang atau dana dari KPK. Kami bahkan mendanai diri kami sendiri untuk menyuarakan ini.

Mampukah Kita Hijrah dari Korupsi? 
Umat Islam baru saja merayakan Tahun Baru Islam 1440 Hijriyah atau 1 Muharram yang jatuh pada hari Minggu tanggal 1 September 2019 yang lalu. Tentu sejarah tahun baru Islam ini sudah kita ketahui, khususnya terkait persitiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari kota Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.

Prof Quraish Shihab pernah menyampaikan bahwa "Hijrah itu meninggalkan yang buruk menuju yang baik,". Juga, "Hijrah adalah ungkapan cinta tanah air yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Bagi bangsa Indonesia hijrah harus dimaknai untuk lebih mencintai tanah air demi menciptakan negeri yang adil, damai, dan sejahtera".

Saya sendiri bukanlah orang yang ahli dalam agama Islam. Itu sudah pasti. Apa yang saya tuliskan di bawah ini lebih merupakan pertanyaan sebagai bahan refleksi saya dan kita bersama terkait makna hijrah.

Karena hijrah adalah momentum bagi kita, seluruh masyarakat muslim di Indonesia untuk terus melakukan evaluasi diri menuju umat dan sekaligus warga negara yang lebih baik, kita tentu boleh memaknai hijrah bukan hanya terkait perpindahan secara fisik, termasuk perpindahan ibukota, misalnya, tetapi juga perpindahan nilai nilai, cara berpikir dan keputusan untuk menerapkan nilai nilai luhur pada perbuatan kita.

Hijrah pada nilai-nilai luhur ini bisa merupakan nilai, karakter, cara pikir, dan keputusan untuk menerapkannya pada perbuatan kita. 

Kita pertimbangkan adanya hijrah dari sifat dan nilai yang menghalalkan larangan Allah, termasuk dalam hal penguasaan harta orang lain dan harta negara, untuk kemudian menjadi lebih jujur, amanah dan bertanggung jawab.

Hijrah di sini tentu bukan hanya hijrah di antara para koruptor, tetapi juga hijrah di antara para politisi di DPRRI dan DPRD, hijrah di antara pejabat pemerintah dan pimpinan negara tertinggi, hijrah di antara para penegak hukum, hijrah di antara pegawai negeri dan pegawai swasta, serta hijrah di antara warga masyarakat. 

Hijrah untuk bertekad sama sama meninggalkan korupsi.

Tentu kita tak ingin peringatan Hijrah 1 Muharam ini hanyalah menjadi ritual dan seremonial pada pidato Presiden dan pejabat serta sekedar tanggalan yang merah saja. Bagaimana menurut anda?

Pustaka : Satu Dua Tiga 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun