"Forever Now"
Minggu ini saya ikut bersedih ketika mendengar curhatan dari sahabat terdekat saya yang anaknya harus tinggal di luar kota karena alasan sekolah ke perguruan tinggi.
Ia sudah mulai merasakan kesedihan dan kesepian bahkan sejak ia membantu mengepak barang anaknya, mengantar belanja keperluannya, dan bahkan mengantar sang anak ke tempat barunya.
Saya turut larut dalam sedih itu, karena saya jadi ingat masa masa anak saya lulus SMA dan harus pindah ke Singapura untuk mengambil pendidikan S1 nya. Keputusan anak saya untuk memilih sekolah di Singapura sebetulnya sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk jarak yang relatif dekat dengan Jakarta, yaitu penerbangan yang hanya 1 jam 45 menit, dibandingkan bila ia sekolah ke Universitas Leeds di Inggris yang telah pula menerimanya. Saya hormati keputusan anak saya, terutama karena ia memahami kondisi saya yang baru saja menjalani operasi yang "cukup serius" karena isu kesehatan. Jadi, ini adalah pilihan sekolah atas banyak pertimbangan.
Anak saya adalah anak tunggal. Ketika ia ada di rumahpun sebetulnya rumah sepi. Apalagi ketika ia kuliah di luar kota. Rumah menjadi luar biasa sepi.
Saya sempat merasa disorientasi karena merasa kehilangan.
Ketika saya melepasnya di bandara, saya merasa bingung hendak lakukan apa setelahnya. Mata basah sulit dicegah. Ada kesedihan yang berkepanjangan.
Dari bandara saya tidak langsung pulang ke rumah. Saya sengaja naik bus DAMRI dan memilih rute terjauh, agar bisa berputar kota Jakarta. Entahlah, untuk membunuh waktu, atau karena saya bingung mau apa.
Padahal semasa anak saya masih kecil, saya sering meninggalkanya untuk waktu yang lama, 6 sampai 12 bulan, untuk bekerja di luar kota atau luar negeri. Namun, rasa itu berbeda dibandingkan ketika anak saya yang meninggalkan saya untuk belajar.
Ada rasa bangga ia telah memasuki bangku kuliah, tentu, tetapi juga tertinggal rasa kesepian luar biasa.
Rasa yang sedih muncul pula ketika ia harus meninggalkan kami lagi untuk program S2 nya ke London, setelah ia mendapatkan bea siswa dari pemerintah. Namun kali itu, saya sudah jauh lebih baik dalam menerima dan menyikapinya.
Ini mengingatkan saya pada video "Forever Now" ciptaan Michael Buble. Video ini viral tiga minggu terakhir di bulan Agustus ini.
Video ini menunjukkan situasi kamar anak. Yang dimulai dari situasi ketika sang anak adalah bayi baru lahir. Kamar yang semula kosong kemudian diisi barang barang keperluan bayi. Sementara sang anak terus berkembang, isi kamarpun berubah. Ketika anak menjelang remaja, isi kamar berubah menjadi kamar anak remaja. Isi kamar berbeda karena kegiatan sang anak berubah.
Namun, ketika sang anak lulus SMA, sang anak meninggalkan rumah untuk sekolah di luar kota. Barang barang dipak ke dalam kardus, dan kamar menjadi kosong.
Ini menyentuh hati para orang tua yang mulai ditinggalkan anak anak mereka yang bersekolah di tingkat universitas di luar kota pada pergantian tahun belajar ini.
Sebetulnya video tersebut telah diunggah pada bulan Maret 2019. Namun karena tahun ajaran baru dimulai pada bulan Agustus, maka banyak orang tua yang memutar kembali video di youtube itu dan ini menjadi diskusi di berbagai kanal media sosial.
Forever Now (Michael Buble)
I just met you (Aku bertemu kamu)
It seems like yesterday (Rasanya seperti baru kemarin)
You opened up your eyes (Kau buka matamu)
And I recognized your face (Dan aku mengenali wajahmu)
You know that you're the one that we've been waiting for (Kamu tahu kan, bahwa kamu adalah yang telah kami tunggu)
We're gonna keep you safe (Kami akan menjagamu agar tetap aman)
First time I held you in my arms (Pertama kali ketika aku memegangmu di tanganku)
I knew I'd love you all the way (Aku tahu bahwa aku akan mencintaimu selamanya)
I tuck you in at night (Aku mengintipmu di maam hari)
Another day has passed (Satu hari lagi lewat)
Every week goes by a little faster than the last (Tiap minggu berlalu dan makin lama makin cepat dari sebelumnya)
It wasn't so long ago (Rasanya tidak lama )
We walked together and you held my hand (Kita berjalan bersama dank au gandeng tanganku)
And now you're getting too big to want to (dan kamu sekarang terlalu besar untuk mau melakukannya)
But I hope you'll always understand (Namun aku berharap kamu selalu memahami)
That I'm always gonna lift you up (Bahwa aku akan selalu akan mengangkatmu ke atas)
And I'm never gonna let you down (Dan aku tak akan menurunkanmu ke bawah)
No matter what you do (Apapun yang kau lakukan)
I'm forever proud of you (Aku akan selalu bangga padamu)
I'll love you forever now (Aku akan mencintaimu selalu)
Through your ears I hear it (Melalui telingamu, aku mendengarnya)
Through your eyes I see (Melalui mataku, aku melihatnya)
A world full of magic (Dunia yang penuh dengan keajaiban(
Full of possibilities (Penuh dengan kemungkinan)
You know as well as anybody how tough this life can be (Kamupun tahu seperti juga yang lain bahwa hidup akan begitu berat)
But you've...(Namun kamu telah alami)
Anak Lebih Dewasa dan Sekolah Lebih Tinggi
Beberapa bulan ini memang masa yang sibuk bagi orang tua. Setelah anda sibuk membantu mencari sekolah bagi anak anda yang SMA untuk mendapatkan sekolah di perguruan tinggi, lalu andapun sibuk mempersiapkan kepindahan anak ke luar kota.
Di Indonesia saja jumlah mahasiswa/mahasiswi yang terdaftar pada perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia cukup tinggi. Pada tahun 2017 saja, BPS mencatat angka 6.924.511 orang terdaftar di perguruan tinggi, sementara 2.211.668 orang di antaranya terdaftar di perguruan tinggi negeri (PTN).
Angka ini meningkat di tahun 2018, mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi adalah 6.951.124, sementara mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi negeri (PTN) adalah 2.492.103 orang.
Juga, Indonesia adalah negara pada ranking ke 22 di dunia sebagai pengirim pelajar ke luar negeri. Namun, jumlah siswa Indonesia belajar di luar negeri masih kurang lebih 1 persen dari total seluruh siswa yang belajar di luar negeri dari seluruh dunia. Peringkat ini di bawah Malaysia dan Vietnam. Artinya, lebih banyak lagi orang tua ditinggal anaknya untuk belajar. Indonesia menduduki peringkat ke 22 di dunia sebagai negara terbanyak mengirimkan siswa belajar keluar negeri. Artinya, begitu banyak orang tua yang mungkin alami 'Empty Nest syndrome' ini.
Empty Nest Syndrome
Rasa kesepian ditinggalkan anak yang pindah ke luar kota sering disebut sindrom sarang yang kosong atau 'empty nest syndrome'. Sindrom ini bukan merupakan gejala klinis, namun rasa kesepian yang dialami orang tua ini mempengaruhi perasaan orang tua.
Bukan berarti orang tua tidak mau melepas anaknya untuk pergi sekolah keluar kota, tetapi perasaan kosong ini adalah masa transisi antara masa ketika anak anak masih kecil dan ada di dalam rumah untuk kemudian harus pergi jauh.
Perasaan mulai kehilangan terjadi ketika kita mempersiapkan keperluan anak, mencari tempat tinggal atau kos baru, membantu mengidentifikasi alat transportasi dari tempat tinggal ke tempat belajar, memastikan keamanan di perjalanannya maupun ketika harus pulang kuliah di malam hari dan lain lain. Dan, perasaan itu muncul hampir di semua orang tua, apakah mereka punya karir ataupun tidak, baik di kalangan ibu maupun ayah. Jadi, ayahpun bisa kesepian karenanya. Ayahpun bisa meneteskan air mata karena rasa itu.
Tips untuk Orang Tua Agar Bertahan Ketika Ditinggalkan Anak ke Luar Kota
Sedih tentu adalah peristiwa yang normal atas perubahan yang alamiah ini. Tentu kita perlu siasat agar kita bisa beraktivitas normal kembali. Di bawah ini adalah beberapa tips.
- Pahami bahwa anda tidak kehilangan anak anda. Anak anda saat ini memasuki jenjang pendidikan universitas, artinya anda telah secara benar mengantarkannya ke dunia pendidikan yang lebih baik, lebih tinggi. Nikmati masa masa kedewasaan anak anda. Gantilah perasaan kehilangan dengan perasaan keberhasilan.
Rekognisi perubahan yang terjadi pada diri anak anda. Masa pendidikan di pergutuan tinggi adalah masa di mana anak anda mulai menunjukkan identitas diri. Jarak yang jauh dari rumah tentu akan membangun kebiasaan baru bagi anak anda. Hargai perubahan itu.
Tenanglah, jangan tunjukkan bahwa ada stress atau kuatir. Stres anda akan menular dan ini tidak baik dampaknya bagi anak anda yang sedang bersemangat menapak ke fase baru dalam hidupnya. Juga, anda tak perlu lakukan hal drastis seperti merubah kamar anak menjadi ruang untuk fungsi lain. Atau, tidak perlu anda (biasanya ibu) pindah ke kota tempat anak belajar agar bisa sering berdekatan. Banyak kawan saya akhirnya menyewa rumah agar sang ibu bisa menjaganya. Ada plus minus dari keputusan ini, dan anda perlu melihatnya dengan bijak.
Jangan pernah katakan kepada anak anda “Wah kamu bisa bebas menentukan hidupmu. Dan ini adalah tahun suksesmu”. Kalimat semacam ini bisa membuat anak semau gue atau malah memberi tuntutan diri, yang bisa jadi malah menyebabkan stress bagi anak.
Adanya teknologi masa kini telah membantu meringankan rasa kosong perpisahan itu karena komunikasi melalui 'whatsapp', video call ataupun email bisa dilakukan. Namun demikian, bicarakan dan rencanakan dengan anak anda tentang kapan bisa berkomunikasi, dengan media apa dan sebagainya. Kita perlu pula menghargai proses kedewasaan anak dan menahan diri untuk tidak menelpon setiap saat. Ini tentu akan membuat anak mereka terganggu, terlebih karena mereka juga memiliki kegiatan baru. Juga, kita perlu memberikan kepercayaan kepada mereka. Saya sering iri melihat kawan saya yang bisa menelpon anaknya yang di luar kota setiap saat. Namun, ketika saya pernah sampaikan ke anak saya, anak saya katakan itu sangat mengganggu karena sang anak menjadi seakan punya kewajiban melapor setiap saat.
Tak ada salahnya menyampaikan kepada anak anda bahwa anda kangen pada mereka, namun anda tak perlu membuat anak anda merasa bersalah karena kepergian mereka.
Buatlah hari anda sibuk dengan kegiatan bermanfaat. Selain melakukan pekerjaan rutin anda seperti biasa, temukan kegiatan baru agar waktu ada dapat dimanfaatkan lebih baik. Berbicara dengan sesama orang tua yang alami perpisahan dengan anak akan memberi ruang untuk berbagi karena mereka memahami perasaan anda.
Ini adalah saat yang sedih namun juga kebangaan atas capaian mengantar anak ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Ini merupakan kesempatan yang luas bagi anak anda untuk memulai hidup mereka, jauh dari keluarga.
Berbahagialah. Anak anda sedang merenda masa depan di lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Pustaka : Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H