Ia sempat bertanya mengapa saya begitu tertarik membicarakan isu perempuan.
Saya ceritakan secara umum kegiatan saya sehari hari dan bagaimana saya tertarik pada isu perempuan. Entah mengapa, segera saja obrolan kami menjadi makin cair.
Saya sempat tanyakan apakah ada hal yang menghalangi atau menghambat tugasnya sebagai perempuan pengemudi taksi online.
Ia menjawab tak ada, "Bahkan, maaf ya bu, saya sering mendapat pujian dalam pemeringkatan setelah penumpang turun. Mereka mengucapkan terima kasih. Kadang kadang bahkan memberi tip. Tetapi saya menjaga penampilan saya. Ini untuk berjaga jaga'.
Saya akhirnya tahu bahwa ia seusia anak perempuan saya, sekitar 27 - 28 tahun. Orangtuanya adalah keturunan Minang, dari pihak ibunya, sementara keturunan Bugis Dayak dari pihak ayahnya. Mereka dulu berasal dari Pontianak.
Ia bercerita bahwa ia baru bergabung dengan perusahaan taksi online selama 3 bulan.
Sebelumnya, ia membantu ayahnya bekerja menjadi pemborong jasa pemasok 200 orang tenaga kerja untuk pembangunan 'peer head' sebagai kelengkapan jalan toll Cilincing Cibitung. Namun, usaha ayahnya pailit.Â
Ayahnya mengeluarkan banyak biaya untuk bisa memasok tenaga kerja karena gaji tenaga kerja harus diberikan tepat waktu. Namun, mereka sering terlambat menerima termin pembayaran dari Waskita Karya. Ini tentu membuat usaha mereka kedodoran. khirnya usaha itu terhenti.
Weda akhirnya harus menjadi pengemudi taksi online agar bisa menghidupi dirinya sendiri.
Kami lalu berbicara soal pendidikannya. Ia sempat kuliah di jurusan media pada fakultas seni dan bahasa di suatu universitas swasta di daerah Jagakarsa di Jakarta. Saya tentu tertarik dengan apa yang ia pelajari dulu.
Ia menerangkan bahwa ia belajar musik dan seni. Ia bisa memainkan semua alat musik, kecuali piano dan saxsophone. Wow ini tentu menarik. Obrolan kami pun berkembang ke soal musik. Jenis lagu yang ia sukai dan bagaimana ia memainkannya.Â