Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dampak Politik Pendidikan Indonesia: Rentan di Tingkat Dasar, Jago Kandang di Tingkat Tinggi

19 Agustus 2019   17:23 Diperbarui: 21 Agustus 2019   00:51 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Malu Menjadi Dosen Indonesia?

Minggu yang lalu, sahabat saya, seorang dosen membagi artikel yang ditulis Sulardi berjudul "Aku Malu Menjadi Dosen di Indonesia" yang saya juga temukan di sini. Tulisan itu segera meramaikan jagad maya pendidikan Indonesia melalu twitter.

Tulisan itu tentu merupakan refleksi atas pengalaman penulisnya menjalani tugas sebagai dosen selama puluhan tahun. Ia membagi keresahan soal tantangan menjadi dosen untuk menempuh jenjang pendidikan S3 dan profesor, bagaimana menghadapi tantangan teknis maupun prosedural untuk menulis dan mejadikan jurnalnya jurnal berupatasi dan terindex scoopus. 

Pada saat yang sama, ia gundah karena begitu mudahnya berbagai universitas negeri dan swasta memberikan gelar profesor kehormatan kepada pejabat publik, baik DPR dan menteri. Di akhir tulisan, ia mengemukakan pula rasa malunya bahwa ia dan dosen Indonesia akan terjajah dengan rencana kehadiran rektor asing.

Apa yang disampaikan dalam artikel Sulardi hanyalah sebagian dari 'uneg uneg' atas pendidikan tinggi di Indonesia.

Di twitter, terdapat pula kegundahan dosen yang mengatakan "Saya bisa gila lama lama jadi dosen. Please lah ya para mahasiswa akuntansi, apalagi yang tugas akhir (skripsi/thesis /disertasi), bantulah para dosen pembimbingmu tetap waras yaa. a thread..jeritan hati dospem...emang cuma mahasiswa doang yang bisa stress ngadepin dospem " (Ersa, Tri Wahyuni, 27 april 2019).  

Suatu artikel di bombastis.com pada 30 April 2019 " Terlihat nyantai, menjadi dosen ternyata tidak seenak yang dilihat", yang menuliskan tentang ketidak enakan jadi dosen, terutama ketika saatnya memberikan nilai. Bila nilai mahasiswa jelek, dosen menjadi bulan bulanan.  Juga di artikel tersebut menyebut soal 'kekuatan' mahasiswa untuk 'nyuekin' dosen. Menjadi dosen juga dinilai mempunyai beban bersar tetapi tidak seimbang dengan timbal baliknya. 

Saya pernah menjadi dosen di beberapa universitas di Indonesia di awal awal sampai akhir tahun 1990an dan memahami pandangan di atas. 

Indonesia yang menjadi rumah lebih dari 4.000 lembaga pendidikan tinggi yang terdiri dari universitas, akademi, politeknis dan institute. Data yang dirilis Global Business Guide Indonesia (GBG Indonesia) menunjukkan bahwa sekitar 90% dari lembaga itu didanai oleh swasta, sementara selebihnya dikelola oleh pemerintah. Pertumbuhan siswa lembaga pendidikan tinggi adalah sekitar 2% setahun. Ini adalah daya serap pendidikan tinggi untuk menampung lulusan pendidikan dasar (GBG Indonesia). 

Sementara itu, 40% dari 6,9 juta mahasiswa dan 234.000 tim pengajar di pendidikan tinggi ada di lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah.

Data dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi yang diliris oleh Majalah Tempo pada Mei 2015 mencatat bahwa terdapat 235 universitas di seluruh negeri yang operasionalnya di'suspended' karena dinilai gagal memenuhi standar pendidikan yang diterapkan. Dinilai bahwa banyak lembaga pendidikan tersebut kurang mengindahkan upaya pemenuhan kualitas, dan dinilai hanya mengejar alasan keuntungan saja (GBG Indonesia)

Hal di atas menyebabkan sekitar 10.000 orang siswa Indonesia memilih untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri.

Ada Apa dengan Sistem Pendidikan Indonesia?

Beberapa tulisan, termasuk laporan "Beyond access: Making Indonesia's education system work" yang diterbitkan oleh  Lowy Institute yag berbasis di Sydney mengemukakan kekurangan dari sistem pendidikan di Indonesia. Laporan itu memberikan catatan penting tetang kegagalan politik dan kekuasaan tinimbang soal pendanaan yang menjadi isu utama di pendidikan Indonesia.

Beberapa tulisan lain mempersalahkan dominasi politik, swasta dan elit birokrasi di masa Suharto yang bergulir ke masa kini dianggap merupakan persoalan.

Dalam hal pendidikan dasar, memang Indonesia telah membuat partisipasi sekolah anak anak Indonesia meningkat sampai di tahun terakhir dari pendidikan dasarnya. Juga, tingkat melek hurup mencapai 95% serta melek hurup di antara anak muda mencapai 99,67% (UNESCO, 2018). Namun, beberapa ahli pendidikan mengatakan bahwa sistem pendidikan kita tidak mampu mendidik.

Di tahun 2002, reformasi mendorong agar dana pendidikan dialokasikan sebesar 20% dari anggaran pembangunan. Ini merupakan kemajuan karena di tahun 1995 alokasi anggaran hanya mencapa kurang dari 1% dari PDB kita.

Namun demikian, kinerja pendidikan anak Indonesia memiliki isu. Hasil tes dari Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh OECD pda 2015 menunjkukkan hasil bahwa di 3 bidang utama untuk sains, matematika dan membaca, posisi Indonesia da di bawah rata rata dari negara OECD. Juga, tes menunjukkan bahwa 42% dari anak Indonesia berada di bawah standard minimum dari 3 aspek yang diukur itu, dan jauh dibandingkan dengan hasil tes untuk Malaysia, Vietnam dan Thailand.

Tak urung Jack Ma, bos Alibaba yang juga penasehat pemerintah RI untuk e-commerce mengatakan bahwa ia mengusulkan berdirinya lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga berketrampilan tinggi yang kenal teknologi. Ia memberikan contoh bahwa suatu perusahaan milik Cina yang membuka investasi di Sulawesi hanya mendata adanya 9 orang Indonesia yang mendaftar pada 500 posisi yang diiklankan.

Isu di atas dipahami petinggi negeri. Pada pidatonya minggu yang lalu, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa APBN 2020 akan mengalokasikan dana sebesar 20% dari belanja negara yang mencapai Rp 2.528,8 triliun, atau meningkat sekitar 29,6% dari realisasi anggaran tahun 2015. Harapannya, anggaran pendidikan yang meningkat tersebut, diharapkan tidak ada lagi anak Indonesia yang tertinggal.

Presiden Jokowi mengingkatkan soal aspek yang harus terus dibangun, mulai dari pendidikan usia dini dan pendidikan dasar yang perlu meningkatkan kemampuan literasi, matematika, dan sains, sehingga menjadi pijakan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan anak di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.  Di sini, aspek akzes dan kualitas dicakip. 

Juga pak Jokowi menyebut bahwa kita akan merancang pendidikan dan pelatihan yang sesuai kebutuhan industri. Artinya, aspek relevansi menjadi pertimbangan. Pak Jokowi menyebut bahwa pemerintah juga hendak mencetak calon calon pemikir, penemu dan entrepreneur di masa depan.

Pak Jokowi juga menekankan pada optimalisasi dana BOS dan Program Indonesia Pintar (PIP). Setelah pemenuhan pendidikan dasasr 12 tahun, beasiswa akan diberikan kepada siswa agar mereka bisa mengakses pendidikan lebih tinggi.

Nah, dengan prosentasi anggaran sektor pendidikan terhadap APBN dan PDB RI yang telah memenuhi konstitusi, sistem pendidikan masih dinilai oleh laporan Lowy Institute sebagai berbeban berat namun masih lemah dari persaingan di dunia international.

Laporan Lowy mencatat beberapa hal yang sektor pendidikan di Indonesia perlu mempertimbangkan, antara lain :

  • Sekolah dan universitas Indonesia masih digerogoti korupsi, kualitas pengajaran yang masih rendah dan tingkat absentisme 'mangkir';
  • Kualitas penelitian dan pengajaran pada sistem pendidikan tinggi, meskipun di sekolah terbaik di Indonesia, pada umumnya masih terkategori kurang secara relative kepada standar global dan bahkan standar negara tetangga di Asia. Misalnya, untuk lembaga pendidikan tinggi yang sebaik Universitas Indonesia, di tahun 2018 masih berada pada ranking 277 pada QS World University Ranking 2018. Juga lulusan doktor masih berasio 1 dibanding 10 tenaga kerja akademis di universitas;
  • Juga, dinilai masih rendah insentif di kalangan elit politik untuk merubah sistem pendidikan. Yang terjadi adalah tambal sulam dengan proses yang mengakumulasi sumberdaya, masih melanggengkan KKN, memobilisasi dukungan politis, dan memainkan kuasa politik.
  • Pemilihan tim dan pengambil keputusan di sekolah dan di lingkungan akademis bertendensi dibuat berdasar pada kesetiaan, pertemanan, dan kekeluargaan tinimbang prestasi.
  • Peran masyarakat sipil yang diwakili oleh asosiasi orang tua, murid, dan pengajar yang didorong sejak masa reformasi sulit diwujudkan.

Oleh karenanya, memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia bukan hanya meningkatkan dan memobilisasi sumber daya serta melatih guru dan pengajar, tetapi merubah secara fundamental hubungan dan relasi kuasa dari politik dan sosial yang menjadi karakter sistem politik dan ekonomi dan sistem pendidikan.

Apa itu Politik Pendidikan

Politik pendidikan adalah konsep yang mengacu pada konteks sosial dan politik yang ada pada sistem pendidikan. Politik dan kuasa yang melatari pendidikan Indonesia inilah yang menjadi isu besar.  Sisem Pendidikan Indonesia sangat dipengaruhi oleh keputusan sosial politik yang terjadi di negeri ini. Keputusan keputusan politik dan kekuasaan yang dibuat pemerintah, eksekutif dan legislatif ini kemudian mempengaruhi bukan hanya pada kurikulum silabus dan buku buku acuan belajarnya, tetapi juga pada bagaimana pengelolaan SDM pendidikan, pada akhirnya terefleksikan pada ideologi dan produk yang secara dominan dihasilkan oleh pendidikan. 

Unchendu (2004) mencatat adanya tautan politik dan kekuasaan pada pendidikan yang kompleks di antara kelompok kelompok stakeholders, politisi, pendidik, birokrat, peneliti dan mereka yang memfasilitasi proses pencitaaan pengetahuan.

Studi " The Politics of Education in South East Asia: A Comparative Study on Decentralization Policy in Primary Education in Indonesia and Thailand"  ditulis oleh Mouliza Kristhopher Donna Sweinstani. Studi tersebut membandingkan bagaimana politik dan kekuasaan mempengaruhi sistem pendidikan di Indonesia dan Thailand. Dalam hal ini, aspek politik dan kekuasaan yang dilihat adalah soal otonomi daerah. 

Otoda telah membuat transfer kekuasaan dari pusat sepenuhnya diberikan kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten kota tetapi juga memberikan otonomi kepada sekolah melalui Schools Based Management. Namun demikian, wewenang pengambilan keputusan tetap ada pada pemda tingkat kabupaten dan kota. Kesenjangan kapasitas SDM di masing masing kabupaten/kota serta sumber daya pendanaan yang ada juga mempengaruhi bagaimana pengelolaan sektor pendidikan ini dilakukan.

Dalam hal yang lain, memang banyak keputusan di sektor pendidikan berkait dengan aspek politik dan kekuasaan yang ada di banyak lini hidup sektor ini. Pemilihan kepala sekolah, pemilihan rektor, penetapan sistem penerimaan murid baru, beban kerja pendidik, pemilihan SDM perguruan tinggi untuk pelatihan, dan kesempatan melakukan penelitihan adalah hanya sebagian saja dari begitu banyak aspek yang perlu mendapat perhatian. 

Apa yang Perlu Dipertimbangkan untuk Perbaikan ke Depan?

 1. Pendidikan Dasar 

  • kerusakan lebih dari separuh bangunan dan infrastruktur sekolah di Indonesia, sejak SD sampai SMA yang terjadi cukup serius yang tidak menjadi fokus perjuangan elit politis di eksekutif dan legislative adalah indikasi yang yang perlu dilihat lebih serius. Rusaknyanya bangunan sekolah adalah faktor akses yang akan mempengaruhi implementasi dan proses pembelajaran dan kualitas pendidikan. Ini telah pernah saya unggah pada artikel ini ;
  • persoalan kekurangan guru karena pensiun dan ganjalan pengupahan pada guru honorer perlu dianalisis secara sistematis agar pengadaan dan kompetensi dan kapasitas SDM dapat direncanakan dengan baik;

2. Pendidikan Tinggi

  • mendorong lebih banyak pengajar untuk dapat memperoleh pendidikan jenjang S2 dan S3. Ini tentu perlu dimulai dari proses rekrutmen yang sesuai dan juga beasiswa serta insentif kepada pengajar berdasarkan meritokrasi. Tanpa reformasi penerimaan dan pengambangan SDM universitas, impor rektor hanya akan menyisakan persoalan terkait kesenjangan pengupahan antara staf akademis impor dengan nasional. Ini akan menjadi preseden buruk;
  • terbatasnya penelitian di kalangan akademis. Pada 2017, LIPI merilis penelitian tentang rendahnya produktivitas penelitian di Indonesia, baik yang diproduksi oleh LIPI maupun universitas. Rendahnya produktivitas penelitian ini mestinya bisa dibongkar dengan upaya mengadakan kerjasama penelitian dan teknologi dengan universitas di tingkat global. Ini akan mendorong upaya perbaikan ketrampilan dan kemampuan penelitian para peneliti;
  • pemerintah perlu mendukung dan mensubsidi (atau gratis) pelatihan bahasa Inggris bagi dosen sehingga proses peningkatan kapasitas dosen dapat berjalan lebih cepat. Banyak keluhan para dosen yang masih memiliki persoalan dengan bahasa Inggrisnya sehingga penulisan jurnal internasional maupun program kerjasama riset dengan lembaga pendidikan luar negeri menjadi hambatan. Ini khususnya terjadi di universitas di luar Jakarta. 

3. Masyarakat Umum

Secara umum, masyarakat umum dinilai merasa 'baik baik' saja dan cepat puas dengan apa yang mereka miliki. Terdapat kesombongan diri dan juga di tingkat nasional, seakan SDM Indonesia telah cukup baik. Kesombongan ini menjadikan kita kurang mau berpkir keras dan mengupayakan kerja terbaik. Rasa cepat puas dan kesombongan ini tentu saja menjadikan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki jadi ajeg. Sementara perubahan yang cepat di dunia kerja menjadikan pengetahuan dan apa yang kita proteksi tak ada artinya.  

Pada umumnya SDM tidak akan melakukan peningkatan kapasitas, kecuali bila dikirim untuk pelatihan yang dibayar lembaga tempat bekerja atau mendapatkan bea siswa dari lembaga eksternal. Ini tentu juga menjadi penghambat. 

Memang pelatihan yang ada masih relatif mahal di kalangan masyarakat. Penetapan harga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah. Dukungan dan subsidi mungkin perlu menjadi pertimbangan agar SDM makin meningkat. 

Isu Sektor Pendidikan yang Diselimuti?

Saya melihat isu sistem dan situsi sektor pendidikan di Indonesia cukup serius, namun sering ditutupi seakan tidak ada masalah, atau seakan masalahnya lebih ringan. Namun, berpura pura semua baik tentu akan terus terefleksi pada kinerja pendidikan dan kualitas dan produktivitas SDM di sektor tenaga kerja kita. 

Apa yang disampaikan di atas hanyalah gambaran kecil saja dari kondisi yang ada. Perbaikan sistem pendidikan tentu perlu memasukkan pembelajaran atas berbagai studi dan analisis atas sektor pendidikan yang telah dilakukan di Indonesia maupun di luar Indonesia. Jangan sampai kita jadi katak dalam tempurung tetapi hendak melompati capaian jauh dari batas tempurung itu. 

Pustaka: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima; Enam; Tujuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun