Siang hariku hanyalah terik yang panas melelahkan, ketika aku bersama para hamba mengangsu air di balik bukit dan menyungginya pulang. Sementara, anak anak perempuan turun naik bukit sabana menghalau puluhan kerbaumu.Â
Dalam matahari yang hampir turun petang, kami semua, perempuan perempuan terhuyung penat berjalan pulang.
Kusiapkan makan malam untuk tigapuluh satu orang anak, yang aku selalu gagal ingat semua namanya. Kata perempuan perempuan itu, mereka adalah anak anak dan cucumu.Â
Setahun berlalu dan aku masih di Uma besar, tanpa aku pernah lihat tenun Pahikung buatanku kau kenakan. Â
Aku bertanya kepada Mamaku yang mampir ke Uma minggu lalu "Di mana kain yang kutenun dengan namanya?"
"Entahlah. Tenun itu milik keluarga barumu. Mungkin ada di ayah mertuamu, mungkin jadi milik lokamu", jawab mama pelan.
Aku bertanya lagi kepada Mama "Lalu, di mana sapi sapi dan kuda kuda yang katanya diberikan kepadaku?"
Mama menjawab pelan "Sapi sapi dan kuda kuda itu milik kakekmu. Milik pamanmu. Milik kakak laki lakimu. Milik lokamu"
Aku terhenyak tak rela. Aku berlari cepat kearah perempuan perempuan di Uma besar. Kutanya di mana kain Pahikung yang kutenun dengan namamu. Perempuan perempuan itu berkata, "Lupakan tenunmu. Lupakan seperti kami lupakan tenun yang kami buat untuknya, sebelum kau datang".
Gemetar aku mencari tahu, dan tak seorangpun tunjukkan iba. "Salahkah bila kuterus menaut harap rindu pada Pahikung yang kutenun untukmu, wahai Waramba, mempelaiku? Ataukah aku harus seperti perempuan perempuan yang membuang semua akal ingatan, dan tepekur ikuti gerak matahari dan bulan?".
Kata perempuan perempuan itu padaku, "Engkau hanyalah perempuan. Pada akhirnya kau adalah hamba. Engkau adalah Ata. Seperti kami juga!. Kain tenunmu itu hanya satu dari begitu banyak tenun lain yang diterima Waramba. Ia adalah raja. Kita adalah miliknya. Sekarang, jangan tanya lagi, kembalilah kau bekerja".