Jantungku yang sudah ada di ujung kaki serasa berhenti, ketika ayahku memanggilku dalam nama lengkapku.
"Kau siap?", tanya Mama yang selalu diam, dalam pelan nyaris tak terdengar. Ada air bening di matanya tergenang.
Akupun dinaikkan ke atas kuda. Mama pasangkan padaku hiasan gading di atas kepala, sambil memintaku rapalkan syair tentang nenek moyang yang ia selalu ulang dan ajarkan padaku.
Sepanjang perjalanan aku merapal. Meski untuk bait bait usang yang hanya kukenal dalam kenangan.
Di belakangku, para hamba berjalan kaki menggandeng empat babi dan menyunggi Pahikung indah yang kubuat untukmu.
Perjalanan sungguh membuat lelah, naik tiga bukit berkelok hingga enam kali menurun.
Ketika kulihat Uma besar beratap tinggi, tahulah aku, kita telah tiba. Banyak perempuan muda dan tua menyambutku dalam puji dan puja juga senyum terkembang.
Dan, para hamba letakkan tenunmu di atas Reti batu kubur, untuk mereka serahkan itu kepada Mamamu dengan disaksikan leluhurmu.
Aku berharap melihatmu dalam balutan tenunmu, namun harus bersabar tanpa tahu kapan berakhirnya upacara panjang. Â
Saat itu tiba tanpa tanda, kamu meraihku.Â
Malam itu bulan temaram memucat, sabana menggelap, bintang kehilangan pijarnya, dan aku terdorong tersesat dalam bau kayu cendana, sirih pinang dan tembakaumu yang menyengat. Malam serupa datang berkali ulang.