Dadaku berdegup cepat, kulitku pun ikut berdenyut. Diakah laki lakiku?
Dan di pekat malam, angin sabana mengejek gerakku yang berkali terhenti karena tanganku penat menata gulungan helai benang yang kusut menggelang.Â
Kupercepat kerjaku, kuserasikan gerak irama yang makin cepat, Â tak ijinkan beri barang sedikit waktu untuk aku paham apa itu kata dan rasa rindu.
"Besok ayah akan jemput delapan babi. Empat untuk hidangan. Dan empat jadi kawan Pahikungnya", ayah berkata bagai memberi pengumuman padaku.Â
Kurang sepekan waktuku, ketika kutepati janji. Akhirnya tenun Pahikung indigo biru itu bisa kuletakkan di atas nampan rotan beranyaman. Â
Dengan rasa dan harapan yang tak kupahami, tenun indah itu kusentuh dengan jari jariku.Â
Akupun hanyut dalam lamunan siang yang panjang.Â
Kau akan menjemputku, Waramba, dan aku akan jadi belahan jiwamu.Â
Banyak laki laki berdatangan minggu lalu dan kemarin, berkata berkalimat lebar panjang.
Mereka duduk melingkar mengunyah sirih pinang, memecah bincang dengan suara gumam ketika derap kaki kuda dan kerbau datang bergemuruh membawa terbang debu. Â
Empat kuda dan delapan kerbau, betina jantan sudah kuhitung. Tiada bercacat, sama gagah, sama cantik, sama tinggi. "Mahal belis untukmu. Tinggi hargamu", kata Ayah dengan senyum mengembang.Â